Topic
Home / Narasi Islam / Wanita / Bekerja Adalah Standar Kebahagiaan Perempuan, Benarkah?

Bekerja Adalah Standar Kebahagiaan Perempuan, Benarkah?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (sinarharian.com.my)
Ilustrasi. (sinarharian.com.my)

dakwatuna.com – Perempuan adalah makhluk mulia nan terhormat. Kemuliaan perempuan salah satunya terlihat dari fitrah dia yang mengandung, melahirkan, menyusui dan merawat bayi yang lahir dari rahimnya. Dengan jalan inilah kuantitas manusia mengalami pertambahan sehingga semakin banyak anak keturunan Nabi Adam As. Semakin baik perawatan dan pendidikan yang diberikan oleh ibu khususnya dan orang tua pada umumnya maka semakin berkualitas pula generasi yang ada.

Luar biasanya lagi seorang wanita adalah bahwa sepanjang kehidupan seorang anak, kasih sayang ibu tidak pernah surut meski anak yang dilahirkannya telah tumbuh dewasa bahkan berumah tangga sendiri. Demikian pula kasih sayang seorang ayah kepada anak-anaknya. Segala bentuk pegorbanaan rela diberikan oleh kaum perempuan untuk membesarkan buah hatinya. Pengorbanaan yang tidak melihat batas waktu dan ruang. Dua puluh empat jam non stop bunda memberikan kasih sayang untuk sang buah hati. Namun bagaimana ketika fitrah ini mulai tidak disenangi oleh kaum hawa?

Pergeseran Peran Perempuan

Peralihan gaya hidup dan cara pandang kehidupan saat ini sedang terjadi. Ajaran kapitalisme merasuk dalam tatanan kehidupan dunia. Hidup dimaknai dengan dunia oriented semata. Kebahagiaan dimaknai dengan harta yang berlimpah. Hari-hari adalah untuk mengumpulkan pundi-pundi emas. Akhirnya semua disibukkan dengan dunia dan dibuat capek dengan dunia. Padahal kepuasan manusia terhadap dunia tidak ada titik berhentinya, kecuali bila ajal menjemput.

Kapitalisme mengajarkan bahwa mulianya wanita bila bisa menghasilkan materi sendiri. Kontribusi perempuan bagi bangsa adalah dengan ia bekerja. Sehingga perempuan tidak membebani keluarga dan Negara. Wanita akan memiliki status sosial yang tinggi bila ia bekerja. Demikian bebetapa ide kapitalisme.. Dan ide ini terus disebarkan oleh para penggiat gender. Walhasil, ditahun 2015 jumlah wanita Indonesia yang bekerja mencapai 45,56% dari keseluruhan jumlah yang ada. (www.media-release.info, 19/3/2015). Dan angka ini akan terus meningkat seiring dengan menguatnya animo bahwa wanita mulia adalah wanita yang go public. Akhirnya bursa kerja jadi rebutan antara kaum hawa dan kaum Adam. Persaingan semakin terlihat jelas. Hampir diseluruh lini kehidupan ada wanita yang mengisinya. Mulai dari kondektur, petugas pom bensin, pengayuh becak, hingga jabatan tertinggi sebagai presiden.

Peran perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga tergeser. Wanita yang tidak bekerja dipandang sebelah mata. Sosok ibu rumah tangga dianggap wanita tiada daya dan membebani keluarga. Padahal dedikasi tertinggi telah mereka berikan kepada keluarga. Sehingga waktu untuk mengurus rumah tidak terkurangi. Waktu untuk mendidik anak-anak tidak tercuri. Dan waktu untuk mengabdikan diri kepada suami juga tidak berkurang. Dan waktu untuk beribadahpun tidak terlupakan. Tetapi memang ironis bila ada para ibu rumah tangga yang tidak memanfaatkan waktu senggang mereka untuk hal yang bermanfaat dan produktif.

Wanita Bekerja Itu Boleh

Sejatinya wanita bekerja tidaklah haram bila pekerjaan yang digelutinya adalah pekerjaan yang halal dan menjadikan wanita tersebut tetap bisa menjaga kehormatan dan ketaatannya pada agama. Bahkan sebuah kebanggaan ketika seorang wanita bisa menorehkan kecerdasannya, keahliannya untuk umat. Bukankah orang yang paling baik adalah mereka yang banyak manfaatnya bagi orang lain?

Namun akan lain lagi ceritanya bila bekerja itu dijadikan sebagai orientasi utama dan pertama. Karena fitrah hakiki seorang wanita bukanlah sebagai tulang punggung alias pekerja. Tapi sebagai al umm warabatull bait (ibu dan manajer rumah tangga). Dengan demikian ketika dia bekerja bukan untuk memenuhi keinginannya kapitalisme tapi untuk membagikan ilmu yang ia miliki tanpa meninggalkan/mengabaikan tugas pokok dia sebagai ibu bagi anak-anaknya dan istri bagi suaminya. Demikian pula pekerjaan itu tidak menjadikan dia abai/lalai dari tugas dia terhadap Rabb dan diennya.

Apabila bekerja itu malah menjadikan semua tugas domestic berantakan, pengabdian kepada Allah terlalaikan maka meninggalkan pekerjaan itu harus dipilih atau mencari tempat aktualiasi diri yang lainnya. Karena mulianya perempuan bukan karena dia bekerja. Bukan pula karena banyak harta yang dimilikinya. Sungguh salah, apa yang diajarkan oleh kapitalisme, dimana kebahagiaan dan kemuliaan distandarkan pada materi. Padahal faktanya yang kaya tidak banyak. Lantas benarkah bila sedikit harta tidak bahagia? Benarkah yang sedikit harta itu hina? Kenyataannya tidak! Banyak orang kaya yang keluarganya berantakan. Banyak orang sederhana yang dimuliakan dan kehadirannya member manfaat kepada banyak manusia.

Kebahagiaan Hakiki Perempuan

Kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan yang distandarkan sebagaimana Allah mendefinisikan kemulian itu sendiri. Allah SWT berfirman:

“… Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti” (Adz Dzariyat: 13).

Orang yang bertakwa itulah yang mulia dan bahagia. Kemuliaan yang demikianlah yang bisa diraih oleh siapapun tanpa membedakan ras, bangsa, warna kulit, harta ataupun unsur lainnya. Hamba Allah siapapun dia bisa meraih derajat mulia jika ia bertakwa. Menjalankan apa-apa yang diperintahkan Allah baik di kala berat maupun ringan. Meninggalkan larangan Allah meski ia menyukainya. Inilah kebahagiaan hakiki bagi seorang muslimah. Bisa menaati Allah dalam situasi dan kondisi apapun. Semoga kita bisa meraih gelar takwa ini dan istiqamah dalam mentaatinya. Aamiin. Wallahua’lam bi showab. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis adalah pribadi yang menyukai dunia pendidikan. Bentuk kecintaannya dengan pendidikan diwujudkannya dengan menjadi tenaga pengajar di lembaga formal maupun non formal. Selain di dunia pendidikan penulis juga menyukai kegiatan keislaman. Artinya bergerak bersama dengan lainnya untuk membangun dan memuliakan agama dan umat ini. Virus cinta Islam harus disebarkan sehingga umat ini menjadi umat terbaik. Inilah statemen yang menjadi pemicu untuk berbagi kebaikan lewat tulisan.

Lihat Juga

Bersyukurlah, Maka Hidupmu Akan Bahagia

Figure
Organization