Topic
Home / Berita / Perjalanan / The Journey Pangandaran-Qatar: Dunia Tak Selebar Daun Kelor

The Journey Pangandaran-Qatar: Dunia Tak Selebar Daun Kelor

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
daun kelor (nyata.co.id)
daun kelor (nyata.co.id)

dakwatuna.com – Mentari kian bergulir ke arah Barat. Sinarnya berusaha menerobos sela-sela dedaunan pepohonan hutan yang rimbun. Awan mulai bergulung di sebelah Selatan. Hitam pekat. Sekilas kilat berkelabat. Bis tiga perempat yang dikendaraiku semakin menggila mengejar setoran. Angin yang masuk dari kaca jendela dan pintu kondektur bercampur debu memukul-memukul wajah para penumpang. Pepohonan seakan berlarian ke belakang. Jembatan kereta api Sumber terlihat di seberang kanan jalan. Bis itu kini telah melewati Putrapinggan dan memasuki hutan Emplak. Samping kiri-kanan terlihat pohon jati berjajar. Pohon akasia, mahoni, dan beraneka pohon langka juga menjadi saksi bisu ratusan tahun sejarah kolonial Belanda dan Jepang. Kini pohon-pohon tersebut kokoh menjulang tinggi mencakar langit.

Jalan mulai meliuk-liuk mengular. Sopir bis terkadang kurang memperhatikan kenyamanan penumpang. Main tancap gas saja yang penting ngejar setoran. Bunyi klakson bersahutan ketika bis mulai menyalip beberapa truk yang boyot.

‘’Tancap terus jabrig! Suit,,,,suit,,,,suit,,,,Bagi-bagi jalan,,,!’’ Teriak kondektur sambil bergelayut di pintu.

Tiiiiit,,,,,Tiiiiit,,,,,,,Tiiiiit.

Bunyi klakson bagaikan terompet pesta taun baru. Aku berpegangan erat ke besi dekat jendela. Asap rokok tambah menyesakkan. Suara bayi menangis meraung-raung. Ada juga beberapa penumpang yang latah.

‘’Ey siah,,,,kohkol,,,,eh kohkol,,,,,’’ Teriak seorang ibu-ibu tambun sambil berpegangan ke jok depan.

Mobil oleng ke kiri.

‘’Supiiiiir jangan kenceng-kenceng!’’ Ibu-ibu tambun itu menjerit.

Tiiiiit,,,,,Tiiiiit,,,,Tiiiiit.

‘’Eh,,,,tumpah ke sawah,,,,,eh ,,,,,kohkol,,,,’’

Sopir semakin sengaja membunyikan klakson melihat ulah ibu-ibu latah itu. Terkadang si ibu menjerit-menjerit dengan makian jorok. Kondektur menyeringai tertawa geli melihat kelakuan si ibu tadi. Aku melihat pemandangan di jendela mobil. Titik air hujan mulai berjatuhan satu-persatu. Gerimis menjadi-jadi. Hujan lebat tidak tertahankan.

Di tikungan tajam, bis berusaha untuk mendahului sebuah kol buntung di lajur kanan. Tanpa disangka dari arah berlawanan sebuah bis PATAS jurusan Jakarta-Pangandaran muncul dengan lampu menyala. Sopir nekad dengan menancap gas. Semua penumpang berteriak histeris.

‘’Aaaaw……..!!!!’’

‘’Astagfirullahal azhiiiim,,,Gustiiiiiii,,,,,’’

Dalam hitungan beberapa detik bis terhindar dari kecelakaan maut itu. Si sopir cekatan banting kemudi ke sebelah kiri secepat kilat. Semua mengusap dada merasa lega. Suasana di dalam bis jadi hening. Tangan-tangan kondektur menari-nari menghitung penghasilan hari ini. Hujan semakin membuncah. Bagaikan air bah dicurahkan dari langit membasahi bumi. Lebat.

Hawa dingin mulai terasa menggerogoti badanku. Bis melaju terus melewati Kalipucang, Tunggilis dan Padaherang. Aku menyilangkan tangan sedari tadi. Lamunanku terngiang ketika sebulan lalu aku bertandang mendatangi pacarku yang sedang kuliah di Kebidanan di kampusnya Cilolohan. Meti nama bidan itu. Tinggi badan hampir sama denganku, molek semampai. Berkulit kuning langsat, bermata sendu, ada tahi lalat di dagunya yang agak cadok. Di bawah pohon matowa, Meti menatapku pekat.

‘’Kalau boleh tau, Aa berapa gaji jadi tenaga Sukarelawan di Puskesmas?’’

‘’Kenapa emangnya? Penting ya?’’

‘’Kata Mamah, Aa kalau mau serius sama Meti harus cari kerja dulu yang mapan. Nggak mungkin kita bertahan hidup kalau hanya mengandalkan penghasilan dari kerja honorer.’’ Meti menunduk tak kuasa melihat tatapanku yang berkobar membara.

Gadis Rancah itu menunduk sambil melipat-lipat ujung bajunya.’’Aa marah ya? Kok diam aja?’’

‘’Aa itu yang mau nikah sama ibumu? Atau sama Meti? Kenapa orang tua selalu ikut campur dalam masalah ini?’’ Aku tatap tajam kedua bola matanya.

‘’Kok marah Aa? Bukannya ikut campur, ya wajar dong. Orang tua mana yang mau anaknya sengsara? Pastinya ingin anak kandungnya bahagia. Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan orang tua. Mau dikasih makan apa ntar Meti kalau Aa kerja hanya menjadi tenaga honorer?’’ Meti memberanikan diri menatap balik sorot mataku.

‘’Kalau ada dua pemuda, yang satu miskin nggak punya apa-apa meminangmu tapi punya cinta. Terus yang kedua kaya raya tapi hanya punya nafsu, mana yang akan Neng pilih?’’

‘’Aa pasti udah tau jawabannya yang mana kan?’’ Meti balik menatap.

‘’Mmmmh,,,,,pasti yang kaya raya kan? Emang dengan harta benda bisa ngejamin kebahagiaan rumah tangga?’’

‘’Bukan itu. Tolong jangan salah faham! Harta bisa sebagai salah satu penjamin kebahagiaan. Tentunya tanpa harta, kita juga pasti nggak bakalan bisa kuliah di perguruan tinggi bonafid ini kan?’’ Meti memegangi pergelangan tanganku.

‘’Neng, jangan mengharap Aa! Sudahlah. Kalau ada orang yang pantas buatmu dan srek bagi orang tuamu, ambilah dia jadi pendamping hidupmu!’’ Aku menarik napas dalam.

‘’Aa jangan salah faham. Meti mencintaimu. Sungguh.’’

‘’Kalau Meti mencintai Aa sepenuh hati, tentunya mau menerima apa adanya. Dalam kondisi suka duka. Dalam situasi miskin dan berkecukupan. Tampaknya kita sudah beda haluan deh. Sudahlah. Rampungkan kuliahmu. Aa nggak akan datang lagi ke sini. Kita udahan saja!’’

‘’Kalau itu udah menjadi keputusan Aa, mau gimana lagi? Bukankah ridha Allah itu ada dalam ridha orang tua.’’ Meti tanpa ada nada penyesalan sekali pun.

‘’Kita mungkin nggak jodoh. Semoga Neng mendapat suami yang bertanggung jawab, mapan, dan bukan tenaga honorer seperti Aa.’’ Aku membalikan tubuh.

‘’Aaaa…..’’ Jawabannya lirih.

Meti memegangi tanganku erat. Ku tendang batu bata yang teronggok di bawah pohon.

‘’Aduuuuh!’’ Aku merintih kesakitan.

‘’Kenapa Aa?’’

‘’Nggak apa-apa……’’Jawabku meringis.

‘Sialan! Wanita jaman sekarang sudah terpengaruh sinetron-sinetron. Hidup gelamor dan berpaham kebendaan. Cewek matre loe! Ke laut aje! Dunia tak selebar daun kelor. Selagi di pasar banyak dijual rok, berarti masih banyak perempuan. Ngapain aku harus sakit hati dengan dia. Emang di muka bumi ini hanya ada si Meti? Masih banyak perempuan yang bisa nerimaku dengan tulus. Sep! Cari kerja yang mapan!’ suara hatiku riuh berkecamuk.

Hatinya perih.

Aku berjalan tertatih-tatih meninggalkan Meti. Jari kakiku terasa senat-senut selepas menendang batu bata. Meti hanya diam mematung. Seakan tak percaya dengan kejadian itu. Lamunanku buyar tatkala kernet bis teriak-teriak.

‘’Banjarsari,,,,,Banjarsari,,,,,,!’’

***

Doha, 21 Maret 2013.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Laki-laki Ciamis yang berdomisili di Doha, Qatar.

Lihat Juga

Qatar Kepada AS: Palestina Menanti Solusi Politik Yang Adil

Figure
Organization