Topic
Home / Berita / Perjalanan / The Journey Pangandaran-Qatar: Karang Salam

The Journey Pangandaran-Qatar: Karang Salam

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Doha Qatar (biggsity.com)
Doha Qatar (biggsity.com)

dakwatuna.com – Matahari kian memanggang. Udara pantai terasa semakin gerah. Di dalam Puskesmas Pangandaran hiruk-pikuk petugas kesehatan terlihat melayani para pasien. Sebagian ada yang jaga parmacy, ada yang di ruang Kedaruratan, di layanan Rawat Inap, dan di Rawat Jalan (Balai Pengobatan). Bangunan tua itu semakin menyeramkan. Apalagi di dekat mushala, dapur umum dan ruang X-Ray, hawa aneh terasa dingin jika berdiri di sana.

Perawat-perawat muda nan cantik berlenggak-lenggok. Rika si jelita berhidung mancung yang selalu menebar pesona. Bola matanya besar, bulu matanya lentik, berkulit putih, berperawakan bohai membuatku degdegan kalau beradu tatap. Tapi, ah sialan! Sebentar lagi Rika menuju ke pelaminan. Cincin tunangan di jari manis kanannya membuatku geram. Apalagi, seminggu ke belakang Rika sengaja memperkenalkan calon suaminya, Andi, yang menjemput dia pakai Tiger ke Puskesmas waktu mau pulang. Tanda lampu merah artinya.

‘Selalu aja kalau makhluk cantik cepat laku. Kenapa aku nggak kenal dia lebih awal.’ Celotehku di dalam hati.

Indah si centil bolak-balik melempar senyum ke diriku yang kebetulan berada di ruang Balai Pengobatan.

‘’Sibuk nih ye…?’’ Indah mengerdipkan mata kanannya nongol di balik pintu Balai Pengobatan.

‘’Bantuin ngepel dong! He he he he….’’ Kubalas dengan cibiran lidah.

‘’Enak aja, emangnya aku tukang ngepel!’’ Indah melengos sambil cemberut.

Ada juga teman pekerja Sukarelawan yang lain; Desi si gembrot yang selalu riang. Yani yang suka ngedumel. Cicin si kurus tinggi yang super heboh. Yati yang pemalu. Nani yang selalu empati kadang simpati terhadap kawannya. Wita yang stereo, kalau ketawa bisa terdengar se-Puskesmas. Kuswaya yang lelah menjadi perawat. Yuda yang pantang menyerah bertaun-taun menjadi tenaga volunteer dengan harapan diangkat jadi Pegawai Negeri. Salim yang menyesal kenapa dia menjadi perawat, padahal orang tuanya kaya raya. Belum lagi perawat-perawat Senior yang pada kompak. Pak Yadi, Pah Uhin, Mas Parjo, Kang Ujang, Aa Eman, Teh Okta, Teh Ira, Teh Iin, Teh Hernalis, Teh Mimin, Uwak Ijah juru masak Puskesmas, sopir Ambulance Mang Dede, dan petugas kebersihan: Didi dan Maman.

Selang berapa lama ada seorang laki-laki masuk berseragam PNS kecoklatan. Berbadan sedang, berkulit sawo matang, dan berambut ikal. Di lengan kanannya terlihat emblim Kab.Ciamis dan sebelah kirinya emblim Bakti Husada.

‘’Halo…’’ Sapanya.

‘’Kamu anak baru ya? Sukwan juga?’’ Aku mengasongkan telapak tangan kananku.

‘’Hehehe….Bukan. Saya Dokter Karang Sudama.’’ Jawabnya.

‘’Ups….maaf. Kirain senasib sama saya. Oh dokter ya? Baru penugasan dok? Saya Asep.’’

‘’Iya, saya dokter kontrak di sini.’’ Dokter muda itu membalas jabat tanganku.

‘’Asalnya dari mana Dok?’’

‘’Denpasar, Bali.’’ Dengan logat Bali dia menjawab.

‘’Wah, jauh amat dok?’’

‘’Yah, namanya cari sesuap nasi…..’’

‘’OK, kalau gitu silahkan dokter yang jaga Balai Pengobatan. Saya di Emergency.’’ Aku beranjak dari kursi pemeriksaan.

‘’Nggak apa-apa. Santai aja.’’ Imbuhnya.

***

SEMBURAT bola api raksasa itu semakin bergulir ke arah Barat. Sesekali saja awan tipis menghiasi cakrawala nan biru. Kanvas raksasa kebiruan itu ditaburi kepakan burung-burung yang migrasi dari Cagar Alam ke hutan-hutan terdekat. Emplak salah satu hutan lindungnya. Hawa pantai yang panas mencabik-cabik wajahku. Angin semilir menggoyangkan nyiur yang melambai-lambai. Pohon ketapang yang banyak berjejer sepanjang jalan kota Pangandaran menjadi landmark khusus. Saking banyaknya pohon itu, ada nama tempat bernama Katapang Doyong (ketapang miring). Bau ikan laut semakin menusuk ketika langkahku menuju terminal Karang Salam. Kurang lebih satu kilometer berjalan kaki dari Puskesmas Pangandaran.

Debu-debu beterbangan tertiup angin. Asap kendaraan L300, angkot, dan bus-bus antar provinsi menyesakkan. Sampah-sampah plastik berserakan di sepanjang trotoar. Pedagang kaki lima lesu menanti para pembeli. Para penumpang berpenghasilan menengah ke bawah berjejer duduk menanti bis di bangku yang disediakan. Sebagian mengeluarkan rokok. Asap rokok mengepul dari bibir para calon penumpang itu. Tukang asongan naik turun bis menawarkan rokok, tissue, dan sejenis kembang gula. Ada juga tukang gorengan peyek udang, lontong, telor asin, dan sejenis manisan kedondong.

’Lontongna bade…..gorengan, endog asin….’’(Lontongnya mau…gorengan, endog asin).

‘’Yang haus…yang aus..yang haus….Teh Botol….Teh botol….’’

Tukang majalah dan koran terdengar sayup-sayup di atas Bis Bandung-Pangandaran.

‘’Majalah hangat……Majalah paling populer…Cuma lima rebu perak saja…..Nenek diperkosa minta nambah…Nenek diperkosa minta nambah…..!’’ Teriak tukang majalah sambil membagi-bagikan koran dan majalah siapa tau ada yang tertarik membeli.

Tukang becak berjejer persis bersebrangan dengan terminal. Mereka sebagian ada yang melepas lelah dengan tertidur mendengkur meringkuk di becaknya. Ada yang mengisi kejenuhan dengan main kartu Domino di trotoar. Ada juga yang teriak-teriak sambil berlarian ke setiap bis Bandung-Pangandaran yang baru datang. Berdesakan semrawut menggaet penumpang turis domestik atau pelancong asing.

‘’Pantai….Pantai…Pantai….Pantai….!!!!’’ Suara tukang becak nyaring.

Pemandangan terminal memang begitu penuh dengan dinamika. Perutku terasa keroncongan. Sore ini aku mau pulang ke kampung halamanku di Banjarsari menjenguk kakek-nenek.

’Mie ayam samangkok, Mang! (Mie ayam semangkuk!)’’ Aku duduk di kursi plastik berwarna merah.

’Mangga calik (Silahkan duduk)’’ Tukang mie ayam mempersilahkan.

Ada meja panjang cukup untuk empat orang. Saus, kerupuk, sambal, teh botol berbaris rapi di atas meja. Gerobak mie ayam itu berwarna hijau tua. Dengan jari-jari rodanya karatan. Hanya memakai terpal biru ala kadarnya dibentangkan dan diikat ke pohon mahoni untuk menutupi penjual dan pembeli kalau hujan turun.

Tiba-tiba ada seseorang bertubuh ceking, jalannya limbung, memakai jaket compang-camping, dan berjeans belel warna biru dongker. Matanya merah dan tercium dari mulutnya bau air api (alkohol). Pemuda urakan itu tiba-tiba minta rokok dan uang ke tukang mie ayam.

‘’Mana jatah hari ini?’’ Si pemuda nanya tukang mie ayam.

‘’Belum ada nih Aa, baru aja datang pembeli satu. Ngelarisan. Ntar aja malam hari ke sini.’’ Tukang mie ayam gemetar ketakutan sambil membolak-balik mie yang sedang direbus.

‘’Gue nggak mau tau. Minta rokok!’’

‘’Ambil itu tiga batang…’’ Tukang mie ayam menyodorkan rokok.

Preman kampungan itu sengaja menabrak bahuku yang sedang duduk asyik menantikan semangkuk mie ayam. Aku hanya mendelik ke preman itu.

’Naon sia anying neuleu ka aing! (Apa loe lihat-lihat gue!)’’ Hardik preman itu sambil menunjuk batang hidungku.

‘’Sing neuleu atuh! Aing keur diuk ku sia ditenggar! (Loe yang harus lihat-lihat! Gue lagi duduk loe maen tumbur aja!)’’ Suaraku naik.

’Loba ngabudah siah! Can nyaho saha aing? (Banyak bacot loe! Belom tau siapa gue?)’’ si preman kontan naik pitam.

Preman yang lagi mabuk itu menghunjamkan tinju ke arah wajahku. Aku murid kesayangan Jawara Silat Cimentek Abah Aco kalau tak bisa menghalau serangan dadakan itu. Bertahun-tahun belajar Silat semenjak kelas empat SD. Tak heran, gurunya pun banyak. Abah Aco, Abah Onim, Uwak Pendi, Pak Agus guru SD, Abah Udin semua menurunkan ilmunya. Secepat kilat aku menghindar dengan melenggokan wajah ke kiri, tangan kanan menyambar wajah si preman dengan menghentakannya. Kontan kepala preman itu membentur bangku.

‘’Aduuh!’’ teriaknya.

Permainan Silatku sangat ligat. Pukulan, sikutan, tendangan lutut, sangat cepat seperti Kingkilaban (halilintar). Diakhiri dengan kuncian Pamacan, si preman terjerambab di trotoar. Aku jongkok sambil memiting leher berandal itu. Semua orang terkesiap dan berdecak kagum dengan keberanianku itu.

‘’Aku nggak mau lihat muka kamu lagi! Pergi sana!’’ Aku menghardiknya.

Tanpa ada jawaban, berandal tengik itu pergi terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu. Semangkuk mie ayam habis dilahapku. Sebotol Teh Botol melicinkan tenggorokan ini.

‘’Euuuu……Berapa Mang?’’ Tanyaku.

Nggak usah, Aa. Gratis…Terima kasih atas bantuannya sudah ngasih pelajaran pada berandal itu. Semoga dia nggak datang malak lagi.’’

‘’Sama-sama kita harus tolong-menolong. Mang harus bahu-membahu dengan pedagang yang lain menghadapi begundal-begundal itu. Nggak usah takut. Mang. Ini saya bayar.’’ Aku tersenyum sambill memberikan selembar uang lima ribuan.

Aku melangkah pergi menghampiri Bus Budiman arah Cigugur-Tasik. Bis tak lama melaju setelah memasukan beberapa penumpang. Tukang mie ayam menarik napas panjang sambil melihat kepergianku. Sopir menancap gas. Melesat. Membawaku ke Banjarsari.

***

Doha, 20 Maret 2013.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Laki-laki Ciamis yang berdomisili di Doha, Qatar.

Lihat Juga

Qatar Kepada AS: Palestina Menanti Solusi Politik Yang Adil

Figure
Organization