Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Buah Hatiku, Mujahidku

Buah Hatiku, Mujahidku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Pagi yang cerah, namun wanita berjilbab hijau muda itu tampak semakin gelisah. Sudah 3 hari berselang dan ia sama sekali tidak bisa sedikit pun memejamkan matanya meskipun kelelahan telah meliputi tubuhnya yang telah ringkih dan melemah. Beberapa saat lagi, ya, beberapa saat lagi seseorang yang ia tunggu-tunggu akan hadir, belahan jiwanya, darah dagingnya. Malam itu sang dokter telah berkata bahwa bayi di dalam kandungannya akan segera terlahir ke dunia. Beribu-ribu perasaan bercampur aduk di dalam dadanya. Antara senang, cemas, khawatir, semuanya bergemuruh di dalam hatinya. Seorang anak laki-laki yang telah ia tunggu-tunggu kehadirannya. Lebih dari 6 tahun ia menunggu kehadiran buah hatinya itu. Setelah anak pertamanya lebih Allah sayangi dan harus menghadap-Nya terlebih dahulu.

Mentari sudah semakin turun, menuju peraduannya di sini namun muncul bersinar di belahan bumi lainnya. Dokter kandungan itu telah mengisyaratkan sang ibu untuk tetap beristirahat di ruangan. Namun entah mengapa ia tidak mampu menahan keinginannya untuk berada di luar. Meskipun dokter sudah mengatakan bahwa bayinya akan lahir 5-6 jam lagi namun hingga detik ini ia sama sekali tidak merasakan apapun. Setelah selesai melaksanakan shalat Ashar berdua dengan suaminya, maka ia putuskan untuk berjalan keluar bersama suaminya. Mereka berjalan menuju taman rumah bersalin itu. Saat itu musim gugur, suhu di luar cukup bisa membuat gigi bergemeletak jika tidak mengenakan jaket tebal dan baju berlapis-lapis. Awan saling bertindih dan mengisyaratkan bahwa tak lama lagi salju akan menyambut setiap manusia di belahan bumi kota itu.

Sudah 2 minggu ini ia tinggalkan segala aktivitas kesehariannya sebagai researcher di sebuah universitas ternama di Leeds, UK. Sadhia, begitulah ia biasa dipanggil oleh rekan sejawatnya. Seorang wanita campuran Jawa-Manado yang telah menghabiskan waktunya untuk menciptakan inovasi-inovasi dan karya-karya hebat bagi kemajuan kehidupan perempuan muslim. Berkali-kali ia terlibat di dalam NGO (Non-Government Organization) Muslimah Internasional yang memperjuangkan hak-hak para wanita muslim di berbagai belahan dunia. Dialah yang berjuang dengan penuh semangat agar wanita dengan hijab dapat diterima tanpa diskriminasi, termasuk di Inggris ini. Disertasi yang sedang ia susun kali ini memang tidak jauh dari pemberdayaan perempuan muslim di Inggris. Sadhia, dia pulalah yang banyak memberikan masukan kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia ketika kabinet itu baru berdiri. Ide-ide brilian dan semangat yang tak kunjung padam selalu memancar dari mata muslimah ini.

Syarif, suaminya, ia pun menimba ilmu bersama dengan istrinya di kampus yang sama. Beberapa bulan yang lalu baru saja ia berhasil mempertahankan disertasi di hadapan para professor dan meraih gelar Doktor di bidang biomedik dengan predikat “sempurna”. Dengan pertimbangan masa studi istrinya yang masih memakan waktu satu tahun lagi, akhirnya ia putuskan untuk mengambil tawaran post doctoral dari kampus. Kesempatan itu ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas risetnya terutama untuk diaplikasikan di Indonesia.

Segala sesuatunya nyaris sempurna untuk keluarga ini, namun sayang, Allah belum berkenan memberi rezeki yang sudah menjadi penantian bagi setiap pasangan, yaitu buah hati. Desember, enam tahun lalu adalah saat yang sangat memilukan untuk mereka. Putri pertama mereka terpaksa harus dikeluarkan melalui proses caesar karena ternyata plasenta sang ibu menutupi jalan lahir. Saat itu belum tepat 37 minggu masa kehamilannya. Keheningan terjadi ketika bayi itu berhasil dikeluarkan. Tidak ada suara tangis yang memecah, tidak pula gerakan sedikit pun dari makhluk mungil yang terlihat sedikit pucat itu. Degup jantung bayi itu lemah, namun degup jantung ayah dan ibunya mendebat sangat cepat. Tim medis dengan cergas melakukan penanganan untuk bayi itu. Makhluk mungil itu diletakkan di dalam inkubator untuk menghangatkan dan membuat bayi itu merasa nyaman. Namun, Allah berkehendak lain, selang 15 menit kemudian bayi itu tak lagi berdegup dan ia hembuskan nafasnya yang terakhir. Ia pergi meninggalkan kedua orang tuanya, kembali ke surga yang hijau yang dipenuhi taman dan buah-buahan.

Ledakan tangis tak terbendung dari diri Sadhia. Tangis yang sangat manusiawi dari seorang ibu ketika penantiannya akan sang buah hati berujung kepada keguguran yang begitu memilukan. Syarif hanya bisa menenangkan istrinya namun tak pula kuasa menahan air mata yang begitu deras mengalir membasahi jenggot yang tumbuh rapi di dagunya.

“Sabar umi, sabar, insya Allah putri kita sedang berlari-lari di surga dan akan senantiasa bersabar menanti kita untuk menjemputnya, bersenda gurau bersamanya di surga kelak”, ucap Syarif menenangkan istrinya.

Namun Sadhia masih menangis terisak-isak sembari berusaha menguatkan tubuhnya yang lemah, terlebih-lebih jiwanya. Dokter dan tim medis lainnya begitu sedih melihat kenyataan ini. Sepasang kekasih yang sangat dekat dengan Allah, yang hidup mereka sepenuhnya dibaktikan untuk umat harus menerima cobaan yang dahsyat luar biasa. Betapa mereka merasa semakin kerdil dan hinanya di hadapan Allah. Ilmu mereka tak pernah sebanding dengan kuasa dan kehendak Dzat yang menggenggam semesta alam.

Setelah diteliti lebih mendalam ternyata penyebab keguguran Sadhia adalah kelelahan yang terakumulasi sehingga melemahkan tubuhnya dan janinnya. Meskipun dokter sudah berkali-kali mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri beraktivitas yang berlebihan namun Sadhia tetap bersikeras untuk bekerja keras. “Demi kepentingan umat”, ucapnya singkat diiringi senyum tipis di wajahnya kala itu ketika ia menjelaskan alasannya kepada dokter kandungannya.

Beberapa saat setelah peristiwa memilukan itu, ternyata Allah memberikan rezeki dalam bentuk lain. Sepasang kekasih itu diterima untuk menjadi Ph.D candidate di sebuah universitas di Leeds, UK. Usulan riset mereka begitu menjanjikan bagi para assessor universitas.

“Mohon lakukan terapi pasca kehamilan dan saya harap Anda dapat mengurangi aktivitas Anda. Jika tidak, akan sangat sulit bagi Anda untuk melahirkan bahkan untuk hamil kembali. Pak Syarif, tolong ingatkan dan jaga ibu supaya mampu menahan diri”, begitu nasihat dokter kandungan Sadhia kepada ia dan suaminya sebelum mereka terbang ke Leeds.

Semester kedua dan ketiga masa Ph.D-nya, Sadhia mengajukan cuti kepada pihak universitas terkait program rehabilitasinya. Disebabkan performance riset yang sangat memuaskan, pihak universitas memberikan izin cuti padanya dan bahkan tetap memberikan 3/4 dari jumlah beasiswa per semesternya. Tiada lagi yang dapat mereka ucapkan selain lantunan syukur kepada Allah Ta’ala. Cinta dan ketenangan semakin berkembang indah dalam pribadi keluarga itu dibalut dengan ketundukan dan ketakwaan kepada Sang Pemilik Cinta.

***

“Yuk, masuk ke dalam, Mi, udah masuk Maghrib”, panggilan sang suami membuyarkan segala lamunan masa lalu Sadhia. Sadhia menoleh dan memberikan senyum hangat kepada suaminya, seorang pria yang begitu tegar dan sabar, yang selalu menguatkannya di titik terlemah keterpurukannya. Bagi Syarif, senyum itu menghangatkan dunianya, meskipun udara saat itu menembus suhu 4 derajat Celcius.

Selepas menunaikan shalat berjamaah dengan istrinya di sebuah ruang kosong rumah sakit yang tidak terpakai, Sadhia merasakan kontraksi yang begitu hebat dari rahimnya.

“Abi, kontraksinya semakin hebat, Umi rasa ini sudah waktunya”, ucap Sadhia sembari meringis mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba timbul itu.

“Subhanallah, Abi panggilkan dokter dan kita segera ke ruangan bersalin”, jawab suaminya.

Sadhia terbaring lemah di atas dipan di ruang bersalin rumah sakit itu. Syarif berusaha menyembunyikan kecemasan dari wajahnya. Pengalaman pahit enam tahun lalu tiba-tiba kembali berkelebat dalam pikiran mereka.

“Bi, Umi takut”, ucap Sadhia lemah, sembari menggenggam ujung kemeja suaminya.

“Tenang, Mi, perbanyak istighfar, insya Allah, Allah selalu siapkan yang terbaik untuk hamba-hamba-Nya”, jawab Syarif sembari menggenggam erat jemari istri tercintanya.

Sang dokter yang telah mengetahui cerita mereka pun terlarut dalam atmosfer yang begitu mengharu biru.

Please stay calm and do like your prenatal exercise, ma’am. I know you can do it, let’s do our best!” ucap dokter wanita paruh baya itu yang telah menemani mereka beberapa bulan ke belakang, bahkan ia begitu perhatian layaknya seorang ibu kepada anak wanitanya.

I’ll do my best, Bismillah”, ucap Sadhia lirih.

Kontraksi semakin terasa begitu kuat, rasa sakit pun semakin memuncak. Pertanda bukaan terakhir telah terjadi di rahim Sadhia.

“Hirup, hempaskan, hirup, hempaskan, dan tetaplah tenang”, begitu ucap dokter itu menguatkan dan menenangkan Sadhia.

Genggaman tangan Sadhia terasa semakin kuat di tangan suaminya. Syarif membungkuk dan berbisik, “berjuanglah, Umi”.

Saat kontraksi sudah terasa begitu hebatnya dan sang bayi sudah terasa akan keluar, Sadhia mengejang semakin kuat.

“Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar”, kalimat yang senantiasa Sadhia ucapkan seiring dengan kekuatan yang meluruh dalam tiap detiknya.

Dorongan ketiga, dan akhirnya, suara tangis bayi meledak memecah keheningan malam yang dingin itu. Salju terlihat turun dengan lembutnya mengantar kehadiran bayi mungil yang menjadi penantian kedua orang tuanya.

“Alhamdulillah”, bisik Sadhia dan kali ini genggaman tangannya melemah.

“Subhanallah, Maha Suci Allah, kamu berhasil, Umi”, bisik Syarif sembari mengecup kening istrinya yang penuh dengan peluh.

Setelah dibersihkan dan diselimuti oleh tim medis, Syarif mengumandangkan adzan dan iqamah bergantian di telinga kanan dan kiri makhluk suci itu. Lantunan adzan dan suasana yang begitu mengharukan itu membuat air mata menetes di pipi dokter wanita itu, meskipun ia masih belum mengerti mengapa ia teteskan air mata.

“Ya Allah, dialah mujahidku, aku serahkan hidup dan matinya di tangan-Mu. Biarkan ia hidup di jalan dakwah, berikan ia kekuatan untuk memanggul amanah, serta izinkan ia wafat saat mengibarkan panji-panji agama-Mu dan menyebarkan kalimat tauhid atas-Mu”, doa Syarif sembari mengangkat tinggi anak laki-lakinya itu.

Senyum merekah indah di wajah Sadhia. Penantian yang penuh cobaan, deraan, dan kesulitan seketika sirna dengan cahaya yang Allah turunkan untuknya berupa seorang bayi mungil yang wajahnya begitu mempesona.

“Demi Zat yang menggenggam jiwa ini, Ia selalu mampu luluhkan hati dalam balutan kepasrahan dan kesabaran”, ucapnya lirih.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (34 votes, average: 9.35 out of 5)
Loading...
Lahir di Bogor Tahun 1989. Dan saat ini tinggal di Taiwan Taiwan sebagai mahasiswa Master di NTUST Taiwan.

Lihat Juga

Amal Spesial, Manajemen Hati

Figure
Organization