Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Fiqih Haji (Bagian ke-6): Manasik Haji Menurut Urutan Fiqih (Rukun, Wajib, dan Sunnahnya)

Fiqih Haji (Bagian ke-6): Manasik Haji Menurut Urutan Fiqih (Rukun, Wajib, dan Sunnahnya)

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Pada bagian ini kami batasi pembahasan pada rukun, wajib dan sunnah haji. Sedang pembahasan tentang larangan haji sudah terbahas dalam larangan ihram terdahulu.

Rukun dan wajib adalah dua hal yang dituntut dengan tegas. Perbedaan keduanya adalah bahwa meninggalkan rukun berakibat batal haji, sedang meninggalkan wajibnya dapat diganti dengan fidyah. Dalam pembahasan ini kami gabungkan antara rukun dan wajib karena mempertimbangkan perbedaan pada ulama fiqih.

A. Ihram

Ihram menurut jumhur ulama termasuk dalam rukun haji, hanya mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa ihram adalah syarat sahnya haji.

B. Wuquf di Arafah

Wuquf di Arafah adalah rukun haji terbesar. Dan para ulama dengan ijma’ menyatakan hal ini berdasar hadits Rasulullah saw: “ Haji adalah Arafah” HR Ahmad dan Ashabussunan. Seluruh area Arafah adalah tempat wukuf kecuali dalam wadi (jurang) Arafah. Wuquf berarti berada/hadir di satu tempat meskipun sejenak.

Wukuf dimulai dari sejak tergelincirnya matahari tanggal 9 Dzulhijjah, waktu Zhuhur, sehingga datangnya fajar tanggal 10. dan diharuskan pula dalam wukuf itu sampai setelah terbenam matahari, sehingga dapat memadukan antaran siang dan malam di tempat wukuf.

Di antara sunnah wuquf adalah mandi, wukuf di bebatuan, seperti wukufnya Rasulullah saw

Adab dalam wuquf antara lain: Menjaga thaharah (suci, dalam keadaan wudhu) menghadap kiblat, memperbanyak doa, istighfar dan dzikir, bershalawat atas Nabi, meninggalkan ucapan yang sia-sia, berpaling dari urusan dunia.

Rasulullah saw melarang berpuasa di Arafah, karena hari itu adalah hari raya, dan agar fisik orang yang sedang haji kuat untuk dzikir dan berdoa.

Termasuk dalam sunnah wukuf adalah menggabungkan shalat Zhuhur dan Ashar dengan jama’ taqdim di Arafah dengan satu adzan dan dua qamat, diutamakan berjamaah bersama imam, boleh juga dilakukan dengan munfarid.

C. Thawaf Ifadhah

Thawaf ifadhah adalah rukun haji kedua yang tidak ada khilaf (perbedaan pendapat ulama). Disebut juga thawaf rukun, thawaf ziyarah. Ia merupakan satu dari empat amalan di hari nahr –tanggal 10 Dzulhijjah- (melontar jumrah, memotong hewan, mencukur atau menggunting rambut, thawaf). Dengan thawaf inilah seorang haji diperbolehkan tahallul akhir, dan diperbolehkan kembali seluruh larangan ihram termasuk berhubungan dengan istri. Thawaf ifadhah sebagaimana thawaf lainnya, memiliki syarat, wajib, dan sunnah.

1. Syarat

  1. Bersuci dari hadats kecil, besar dan najis. Seperti yang pernah Rasulullah katakana kepada Aisyah RA ketika sedang haidh: Lakukan seperti apa yang dilakukan orang yang haji selain thawaf di Ka’bah, sehingga kamu mandi –bersuci-“ HR. Muslim
  2. Menutup aurat, seperti dalam hadits Abu Hurairah RA. Bahwa Abu Bakar menyuruhnya pada saat menjadi Amirul hajj sebelum haji wada’ Rasulullah saw. Bersama dengan sekelompok kaum muslimin di hadapan khalayak di hari nahr: “Tidak boleh lagi setelah tahun ini orang musyrik berhaji, dan tidak boleh ada lagi orang yang thawaf di Ka’bah dengan telanjang.” HR Asy Syaikhani

2. Wajib

  1. Dilakukan di tempat yang telah ditetapkan dalam agama, yaitu di luar Ka’bah. Maka jika seseorang thawaf di dalam hijir Ismail, maka thawafnya tidak sah, karena hijr termasuk dalam Ka’bah. Hijr Ismail adalah bagian setengah lingkaran yang dikelilingi tembok di sebelah utara Ka’bah.
  2. Dilakukan pada waktu yang telah ditetapkan. Thawaf ifadhan dimulai sejak terbit fajar hari nahr, dan tidak ada batas akhirnya. Diutamakan dilakukan pada hari nahr seperti yang Rasulullah lakukan, kemudian pada hari tasyriq. Jika ditunda melewati hari itu maka wajib membayar dam menurut mazhab Hanafi.
  3. Dilakukan tujuh kali putaran sempurna, dimulai dari hajar aswad dan berakhir di hajar aswad
  4. Menjadikan Ka’bah di sisi kirinya
  5. Thawaf dengan berjalan kaki kecuali bagi yang berhalangan, maka diperbolehkan thawaf dengan naik kendaraan atau ditandu
  6. Shalat dua rakaat setelah thawaf, wajib menurut mazhab Hanafi dan Maliki, disunnahkan membaca surah Al Kafirun pada rakaat pertama dan Al Ikhlas pada rakaat kedua.

3. Sunnah

  1. Idhthiba’ bagi laki-laki, yaitu dengan membuka pundak kanan, dan meletakkan pertengahan kain ihram di bawah ketiak kanan, dan melipat ujung kain ihram di atas pundak kiri
  2. Berjalan cepat bagi laku-laki, yaitu dengan mempercepat jalan dengan langkah pendek pada tiga putaran pertama, kemudian berjalan biasa pada empat putaran berikutnya.
  3. Mencium hajar aswad jika mampu ketika memulai thawaf dan pada setiap putaran thawaf. Namun jika tidak mampu cukup dengan isyarat kepada hajar aswad dengan mengucapkan: (بسم الله والله أكبر ولله الحمد. اللهمّ إيماناً بك، وتصديقاً بكتابك، ووفاءً بعهدك، واتباعاً لسنّة نبيك سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم).
  4. Menyentuh rukun Yamani, yaitu sudut sebelum hajar aswad
  5. Memperbanyak doa dzikir, dan istighfar, tidak ada keharusan untuk membaca doa tertentu. Di antara doa di saat thawaf adalah  : «سبحانَ اللَّهِ والحمدُ للَّهِ ولا إله إلّا الله واللَّهُ أكبرُ ولا حولَ ولا قوةَ إلّا بالله» رواه ابن ماجه.  Dan ketika menyentuh rukun Yamani berdoa: «ربنا آتِنا في الدنيا حَسنة وفي الآخرة حَسنةً وقِنا عذاب النار» رواه أبو داود.
  6. Bersambung antara tujuh putaran thawaf itu, tidak terputus kecuali karena uzhur tertentu, seperti qamat shalat fardhu, maka ia harus menghentikan thawafnya untuk mengikuti shalat berjamaah, kemudian melanjutkannya setelah shalat.

D. Sa’i

Sa’i dari Shafa ke Marwa adalah salah satu rukun haji menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah dalam salah satu pendapatnya. Maka barang siapa yang meninggalkannya batal hajinya dan tidak bias ditebus dengan dam. Mereka berpegang pada hadits Aisyah RA: “Allah tidak akan menilai sempurna orang yang tidak thawaf dari Shafa dan Marwa”. HR Muslim. Sebagaimana mereka juga berpegang pada riwayat Habibah binti Abi Tajra’ah bahwa Rasulullah saw bersabda ketika sa’i: “Sa’ilah karena Allah telah menetapkan sa’i atas kalian”. HR Ad Daruquthniy

Abu Hanifah berpendapat bahwa sa’i adalah wajib, artinya jika meninggalkannya wajib membayar dam dan tidak batal hajinya. Penulis AL Mughniy –Ibnu Qudamah- yang bermazhab Hanbali memilih pendapat ini karena dalil yang menyatakannya rukun lebih memberikan pesan wajib.

1. Syarat

  1. Dilakukan setelah thawaf, baik thawaf ifadhah maupun thawaf qudum. Jika melakukan sa’i sebelum thawaf ia wajib membayar dam menurut mazhab Hanafi
  2. Tidak disyaratkan dalam keadaan suci, meskipun disunnahkan dalam seluruh manasik.

2. Wajibat Sa’i

  1. Dilakukan dengan tujuh putaran, mulai dari Shafa dan berakhir di Marwa, jika dilakukan terbalik maka ia wajib membayar dam menurut mazhab Hanafi
  2. Dilakukan di tempat sa’i yang tersedia berjarak sekitar 420 m, seperti yang Rasulullah lakukan. Dan Sabdanya: Ambillah dariku manasik kalian.

3. Sunnah sa’i

  1. Naik ke Shafa kemudian menghadap kiblat dan mengucapkan: «لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الملك وله الحمد وهو وعلى كلِّ شيء قدير، لا إله إلا الله وَحْده أنجز وَعده ونصر عَبده وهزم الأحزاب وحده» رواه مسلم.
  2. Berjalan biasa pada awal sa’i sehingga sampai di tanda hijau berjalan cepat sehingga sampai di tanda hijau berikutnya. Kemudian berjalan biasa sampai ke Marwa lalu naik ke bukit Marwa dan melakukan seperti yang dilakukan di bukit Shafa. HR Muslim. Diperbolehkan pula sa’i dengan naik kendaraan bagi yang tidak mampu.
  3. Dilakukan dengan bersambung antara putaran-putaran sa’i, jika terputus oleh wudhu atau amalan lain maka ia harus kembali menyempurnakannya.
  4. Memperbanyak doa, dzikrullah, dan membaca Al Qur’an, di antara ucapan Nabi ketika sa’i adalah: «رب اغفر وارحم، واهدني السبيل الأقوم»، و«رب اغفر وارحم إنك أنت الأعزُّ الأكرم».

E. Memotong atau Mencukur Rambut

Memotong atau mencukur rambut adalah rukun haji ke lima menurut Syafi’iyyah saja. Sedangkan menurut jumhur ulama termasuk dalam wajib haji. Mencukur rambut adalah mencabut akar rambut sampai ke akarnya dengan pisau. Sedangkan memotong rambut adalah dengan memotong sebagiannya tidak sampai ke akarnya. Firman Allah: … bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, QS. Al Fath: 27   mencukur lebih diutamakan daripada memotong bagi laki-laki. Seperti dalam hadits Rasulullah saw: Ya Allah rahmatilah orang-orang yang mencukur. Para sahabat berkata: dan yang memotong Ya Rasulullah. Sabda Nabi: Ya Allah rahmatilah yang mencukur. Para sahabat mengusulkan lagi: dan yang memotong Ya Rasulullah. Sabda Nabi: dan yang memotong rambut. Muttafaq alaih.

Sedangkan untuk wanita hanya diajarkan menggunting saja, tidak ada mencukur. Dalam hadits Ibnu Abbas Rasulullah saw bersabda: Mencukur tidak berlaku pada wanita, mereka hanya menggunting. HR Abu Daud dengan sanad Hasan.

Minimal potong dan cukur rambut itu adalah tiga helai rambut, atau sebagiannya dengan cara yang ada. Waktunya setelah melontar jumrah aqabah di hari nahr. Diperbolehkan menundanya setelah hari nahr menurut Asy Syafiiyyah. Disunnahkan pula bagi orang yang berkepala botak untuk menggerakkan pisau cukur di atas kepalanya. Sebagaimana disunnahkan bagi orang yang mencukur atau menggunting rambut itu untuk menggunting kuku dan kumisnya.

F. Wuquf di Muzdalifah

Wuquf di Muzdalifah adalah termasuk dalam wajib haji, seperti yang disepakati para ulama. Dan yang ditegaskan dalam mazhab Imam Ahmad adalah bermalam (mabit) sedang menurut ulama lainnya cukup dengan wukuf(berhenti),  hadir, turun atau lewat di Muzdalifah

Waktunya setelah Arafah dan sebelum dating fajar hari nahr.

Disunnahkan shalat subuh di awal waktu, kemudian berhenti di Masy’aril haram  sehingga pagi mulai terang, dengan memperbanyak dzikir, dan doa. dan setelah matahari terbit bergerak ke Mina. Seluruh Muzdalifah adalah tempat wuquf kecuali wadi Muhassir (antara Muzdalifah dan Mina). Dan orang yang tidak sempat wukkuf di Muzdalifah tanpa udzur maka ia wajib membayar dam. Dalam wuquf di Muzdalifah ini harus berada di sana sampai separo malam kedua menurut Asy Syafi’iyah.

G. Melontar Jumrah

Para ulama bersepakat bahwa melontar jumrah adalah salah satu wajib haji, maka barang siapa yang meninggalkannya ia wajib membayar dam. Kewajiban melontar jumrah ini karena Rasulullah melakukannya, dan bersabda: “Agar kalian mengambil manasik itu dariku. Sesungguhnya aku tidak tahu barangkali aku tidak menunaikan lagi haji setelah haji sekarang ini.” HR Muslim, An Nasa’iy dan Ahmad.

Jumrah berarti batu-batu kecil. Tempat melontar disebut jumrah karena di sanalah berkumpulnya batu-batu kecil itu. Jumrah yang harus dilontar ada tiga yaitu:

  1. Jumrah Aqabah, yaitu jumrah terbesar yang berada di ujung Mina menuju ke Mekah
  2. Jumrah Wustha, berada sebelum jumrah Aqabah ke arah Mina
  3. Jumrah Shughra, yaitu awal jumrah yang berada di jalan dari Mina ke Mekah

Syarat sah dan kewajiban melontar jumrah:

  1. Dilakukan dengan melontar, meskipun pelan, melontar dilakukan langsung dengan tangan
  2. Yang dipakai melontar harus berupa batu (menurut Abu Hanifah, diperbolehkan melontar dengan segala jenis tanah, seperti tanah liat dsb)
  3. melontar setiap jumrah dengan tujuh batu, dan satu persatu. Maka jika melontarnya dengan dua batu sekaligus dihitung sekali lontaran.
  4. Mengarah dan mengenai jumrah
  5. Berurutan lontaran jumrah itu pada hari tasyriq, shughra, wustha, lalu aqabah. Demikian menurut jumhur ulama. Sedang menurut Abu Hanifah berurutan melontar itu hukumnya sunnah.

Sunnahnya melontar:

  1. Mendekati obyek lontaran dari jarak lima hasta
  2. Menghadap kiblat pada saat melontar, kecuali jumrah Aqabah pada hari nahr.
  3. Dilakukan dengan berurutan antara masing-masing lontaran
  4. Batu lontaran sebesar kerikil, dan makruh menggunakan batu besar
  5. Setiap melontar satu batu disertai dengan ucapan: « بسم الله والله أكبر، صدق الله وعده ونصر عبده وأعزَّ جنده وهزم الأحزاب وحده، لا إله إلا الله ولا نعبد إلَّا إياه مخلصين له الدين ولو كره الكافرون »
  6. Berhenti sejenak setelah melontar satu jumrah untuk melontar jumrah berikutnya, dan berdoa sesuai dengan keinginannya. Kecuali setelah melontar jumrah Aqabah, tidak berhenti.

Hari dan waktu melontar jumrah.

Hari melontar jumrah ada empat hari, yaitu:

  1. Hari nahr –10 Dzulhijjah- hari itu wajib melontar jumrah aqabah dengan tujuh batu saja. Waktu sunnahnya sejak terbit matahari, sehingga zawal (matahari bergeser ke barat) Rasulullah saw melontar jumrah Aqabah pada waktu Dhuha hari nahr. Dan diperbolehkan melontarnya antara zawal dan terbenam matahari, jika tidak sunnah maka sesungguhnya pernah ada seorang yang bertanya kepada Nabi pada hari nahr: Aku melontar ketika sore hari. Jawab Nabi: tidak apa-apa. HR Al Bukhari. Sedang jika ditunda setelah terbenam matahari, maka ia boleh melontar di waktu malam menurut jumhur ulama. Sedang menurut mazhab Hanbali ia melontar keesokan harinya setelah bergeser matahari. Dan tidak wajib membayar dam. Mazhab Syafi’iy memperbolehkan melontar jumrah Aqabah sejak tengah malam hari nahr. Sedangkan mazhab lainnya memperbolehkannya bagi orang-orang yang berhalangan saja. Rasulullah saw mengizinkan kepada para penggembala kambing untuk melontar malam hari, demikian juga kepada Ummu Salamah, melontar sebelum fajar (HR. Abu Daud dan Al Baihaqi)
  2. Hari tasyriq, yaitu tiga hari setelah hari nahr (11-12-13 Dzulhijjah) diperbolehkan bagi orang yang ingin segera menyelesaikannya untuk mengambil dua hari saja. Maka jika selesai melontar jumrah pada hari kedua tasyriq (12 Dzulhijjah) lalu menuju ke Mekah, disebut nafar awal. Dan jika telah terbit fajar hari ke 13 Dzulhijjah masih berada di Mina, ia wajib melontar pada hari itu kemudian berangkat ke Mekah, disebut nafar Tsani. Firman Allah:

… Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertaqwa. QS Al Baqarah: 203

Yang wajib dilakukan pada tiga hari tasyriq itu adalah melontar jumrah secara berurutan. Shughra, wustha, lalu Aqabah, melontar masing-masing jumrah dengan tujuh batu.

Waktu yang disunnahkan untuk melontar adalah sejak bergeser matahari sampai terbenam. Dan jika mengakhirkannya diperbolehkan melontar pada malam hari sehingga terbit matahari hari berikutnya, meskipun makruh. Dan menurut Abu Hanifah diperbolehkan melontar pada hari ketiga sebelum zawal.

Dan barangsiapa yang ketinggalan sehingga usai hari tasyriq dan tidak sempat melontar jumrah, maka wajib membayar dam.

Diperbolehkan juga bagi yang berhalangan untuk digantikan oleh orang lain.

H. Mabit di Mina

Bermalam di Mina selama tiga malam, atau dua malam bagi yang ingin bersegera ke Mekah, hukumnya wajib menurut tiga imam mazhab (Maliki, Syafi’iy, dan Hanbali), bagi yang meninggalkannya wajib membayar dam. Kewajiban mabit gugur bagi orang yang berhalangan. Rasulullah saw memberikan rukhshah kepada Al Abbas untuk mabit di Mekah karena perannya sebagai pemberi minum. HR Al Bukhari. Sebagaimana diberikan rukhshah pula kepada para penggembala (HR. Ashabussunan).

Keberangkatan dari Mina menuju ke Mekah dilakukan pada hari kedua tasyriq atau ketiganya sebelum terbenam matahari, menurut tiga imam mazhab. Dan diperbolehkan berangkat setelah Maghrib sehingga terbit fajar meskipun makruh menurut mazhab Hanafi.

I. Thawaf Wada’

Disebut thawaf wada’ karena akan meninggalkan Ka’bah. Thawaf ini tidak ada jalan cepatnya. Hukumnya wajib menurut jumhur ulama, bagi yang meninggalkannya wajib membayar dam, seperti dalam hadits Nabi Muhammad saw: “ Janganlah seseorang di antaramu berangkat sehingga akhir pertemuannya itu dengan Ka’bah”. HR Muslim. Mazhab Malikiy memandang hukumnya sunnah, jika ditinggalkan tidak berkewajiban apa-apa. Thawaf ini diringankan atas wanita yang sedang haidh seperti dalam riwayat Al Bukhari.

Waktu thawaf ini setelah menyelesaikan seluruh kegiatan agar menjadi akhir pertemuan dengan Ka’bah. Maka setelah thawaf wada’ ini tidak melakukan aktivitas lagi kecuali kebutuhan yang harus dipenuhi di jalan seperti membeli bekal perjalanan. Jika tertunda keberangkatannya maka ia wajib mengulanginya lagi.

J. Al Hadyu

Al Hadyu adalah hewan ternak yang dihadiahkan ke tanah haram untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hewan ternak yang dimaksudkan adalah: onta, sapi, dan kambing. Diperbolehkan berjenis kelamin jantan maupun betina. Firman Allah:

Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syiar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, QS. Al Hajj: 36

Minimal binatang yang dapat dijadikan hadyu adalah seekor kambing untuk seorang, atau seekor onta atau sapi untuk tujuh orang. Berhadyu dengan onta wajib dilakukan bagi orang yang thawaf dalam keadaan junub, haidh atau nifas, atau yang berhubungan seksual dalam keadaan ihram, atau bagi orang yang bernadzar.

Macamnya:

  1. Sunnah bagi orang yang haji ifrad atau umrah
  2. Wajib  dalam kondisi berikut ini:
    1. Haji qiran
    2. Haji Tamattu’
    3. Meninggalkan salah satu kewajiban haji
    4. Melakukan salah satu larangan ihram

Syarat Hadyu

  1. Hewannya telah kupak (putus gigi depannya), jika onta telah mencapai usia lima tahun, sapi telah berusia dua tahun, dan kambing harus sudah mencapai umur satu tahun, dan domba jika sudah mencapai umur enam bulan.
  2. Tidak cacat, dan diutamakan memilih yang paling baik

Waktu, tempat dan cara  pemotongan

Disunnahkan memotong onta dalam keadaan berdiri dengan terikat kaki kiri depannya, sedang sapi dan kambing dipotong dalam keadaan berbaring.

Waktu penyembelihan pada hari nahr dan hari tasyriq, untuk hadyu yang sunnah maupun wajib. Jika waktu pemotongannya lewat maka ia wajib mengqadha’nya.

Tempat pemotongannya di tanah haram. Firman Allah:  ….. kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah). QS. Al Hajj: 33 dan yang utama bagi orang yang sedang haji untuk menyembelihnya di Mina, sedang bagi  yang umrah menyembelihnya di Marwa, karena keduanya menjadi tempat tahallul.

Hukum-hukum lain seputar hadyu

  1. Para ulama bersepakat bahwa diperbolehkan makan dari hewan hadyu tathawwu’, karena firman Allah: … Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. QS. Al Hajj: 28
  2. Diperbolehkan makan dari hadyu wajib karena tamattu’ atau qiran menurut mazhab Hanafi dan Hanbali.
  3. Diperbolehkan makan keseluruhan daging hadyu, kecuali fidyah karena sakit, hukuman berburu dan nadzar untuk fakir miskin, menurut mazhab Malikiy. Maka yang boleh dimakan hanyalah hadyu dari sebab melanggar larangan ihram atau ketinggalan wajib haji.
  4. Dan karena boleh makan, maka disunnahkan baginya untuk makan, menjadikannya sebagai hadiah dan sedekah
  5. Disunnahkan memotong langsung sendiri, atau menyaksikan pemotongan. Tidak diperbolehkan memberikan ongkos potong dari daging hadyu, meskipun boleh bersedekah kepadanya dari daging itu

K. Sunnah Haji Lainnya

Yaitu sunnah yang tidak berkaitan dengan rukun dan wajib haji.

  1. Thawaf qudum (kedatangan)  bagi orang yang tidak tamattu’ maupun umrah, karena mereka memulai dengan thawaf umrah. Sedang yang ifrad atau qiran disunnahkan thawaf qudum. Waktunya ketika masuk Mekah, dan sifatnya seperti thawaf ifadhah. Hanya dalam thawaf ini tidak ada anjuran Idhthibagh (membuka bahu kanan, dan meletakkan lipatan kain ihram di atas pundak kiri) , jalan cepat dan tidak wajib sa’i.
  2. Minum air zamzam setelah thawaf, dan shalat. Dalam hadits shahih Rasulullah saw minum air zamzam dan bersabda: “Sesungguhnya ia diberkahi”. Disunnahkan bagi yang meminumnya untuk berniat meminta kesembuhan dan sejenisnya. Rasulullah saw bersabda: “Air zamzam sesuai dengan keinginan peminumnya”. Dengan menghadap kiblat, minum dengan tiga kali tegukan, melepas dahaga dengannya kemudian mengucapkan alhamdulillah.
  3. Khutbah haji, ada empat macam yang disampaikan imam, yaitu:
    1. hari ke tujuh Dzulhijjah setelah Zhuhur di Masjidil haram
    2. hari Arafah di Namirah sebelum shalat Zhuhur
    3. hari nahr di Mina setelah shalat Zhuhur
    4. hari nafar awal di Mina setelah shalat Zhuhur
  4. Mabit di Mina pada malam Arafah. Termasuk dalam sunnah adalah berangkat dari Mekah ke Mina pada hari Tarwiyah 8 Dzulhijjah setelah terbit matahari, shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan subuh di Mina.
  5. Memperbanyak shalat di Masjidil Haram, thawaf setiap kali masuk, karena tahiyyatul Ka’bah adalah thawaf.

Turun ke lembah Al Muhashshab atau Al Bathha’ (antara jabal Nur dan Al Hajun) di tengah perjalanan dari Mina ke Mekah. Di tempat inilah orang-orang musyrik bersepakat untuk memboikot Bani Hasyim dan Banil Muththalib, sehingga mereka mau menyerahkan Rasulullah saw. Dan Rasulullah saw bersemangat untuk menampilkan syiar-syiar Islam pada saat itu tampil pula syiar-syiar kufur.

— Bersambung

(hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 9.50 out of 5)
Loading...
Lembaga Kajian Manhaj Tarbiyah (LKMT) adalah wadah para aktivis dan pemerhati pendidikan Islam yang memiliki perhatian besar terhadap proses tarbiyah islamiyah di Indonesia. Para penggagas lembaga ini meyakini bahwa ajaran Islam yang lengkap dan sempurna ini adalah satu-satunya solusi bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah saw adalah sumber ajaran Islam yang dijamin orisinalitasnya oleh Allah Taala. Yang harus dilakukan oleh para murabbi (pendidik) adalah bagaimana memahamkan Al-Qur�an dan Sunnah Rasulullah saw dengan bahasa yang mudah dipahami oleh mutarabbi (peserta didik) dan dengan menggunakan sarana-sarana modern yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Lihat Juga

(

Berikan Klarifikasi, Dubes Arab Saudi Bantah Ada Larangan Haji Palestina

Figure
Organization