Topic
Home / Berita / Opini / Gegar Budaya dan Kekatroan yang Membahayakan Iman

Gegar Budaya dan Kekatroan yang Membahayakan Iman

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (superiorwallpapers.com)

dakwatuna.com – Ada artis yang baru dua hari di Jepang sudah memutuskan tak lagi berjilbab. Sementara M. Sohibul Iman bertahun-tahun tinggal di Jepang malah jadi presiden PKS sekarang.

Daya imun seseorang terhadap gegar budaya memang berbeda-beda. Tergantung sejauh mana kadar kekatroan dirinya. Pada acara festival budaya Jepang di sebuah mall di Depok, saya temui cosplayer-cosplayer berhijab yang fasih berbicara bahasa Nihon-Go. Ketertarikan terhadap anime memang membuat mereka jatuh cinta kepada budaya di Negeri Sakura. Tapi tidak menjadikan kadar kekatroan mereka meningkat sehingga melepas hijab lantas berkimono ke mana-mana.

Sewajarnya saja lah kagum dengan budaya lain. Ada penduduk desa yang kagum dengan gedung-gedung tinggi. Di sisi lain banyak juga warga kota yang mendambakan hidup tenang di perkampungan yang bebas macet. Banyak anak negeri kagum dengan budaya barat. Tapi banyak juga bule yang kesengsem dengan budaya lokal.

Agar kekatroan diri tidak menimbulkan  gegar budaya yang membahayakan iman, Allah swt sudah mewanti-wanti dalam Al-Qur’an: “Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri” (Ali Imran: 196)

Mereka yang tak terikat ajaran Islam, tentu merasa bebas berbuat apa saja. Berbeda dengan muslim yang hidupnya diatur oleh Islam. Di negeri kafir, berkembanglah industri pornografi, judi, miras, dll. Berbagai kesenangan dan kebebasan hidup mudah ditemui di sana.

Wajar bila ada yang berfikir hidup di negeri kafir serasa di surga, sedang di negeri muslim seperti di penjara. Pas sekali dengan yang dikatakan Rasulullah saw, “Ad dunya sijnul mukmin wa jannatul kafir. Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR Muslim)

Wajar bila budaya yang menyerap nilai-nilai Islam akan terasa mengekang, sedang budaya yang tidak terwarnai nilai Islam terasa memerdekakan. Makanya orang yang terjangkit gegar budaya di Jepang sana akan nekad membuka jilbabnya. Sehelai kain itu dirasakannya membelenggu.

Pemandangan berbeda terlihat pada sikap Umar bin Khattab yang tak merasa takjub dengan perbendaharaan Raja Kisra, setelah penaklukan Persia. Saat itu kekayaan dan perhiasan Kisra di bawa ke hadapan Umar. Ketika ditawarkan untuk dimasukkan ke bendahara negara (baitul mal), Umar enggan dan minta harta langsung dibagikan kepada rakyatnya. Setelah dibuka, terlihat tumpukan perhiasan berwarna putih (perak) dan kuning kemerahan (emas), Umar bin Khattab r.a. malah menangis. Abdurrahman bin Auf saat itu bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang membuatmu menangis? Demi Allah, hari ini adalah hari yang perlu kita syukuri dan kita bergembira.” Umar menjawab, “Celakalah engkau, sesungguhnya tidaklah harta tersebut diberikan kepada sebuah kaum kecuali Allah akan menimpakan di antara mereka permusuhan dan kebencian.”

Dalam riwayat lain, ia hanya merespon kemegahan Persia dengan doa, “Allahumma ya Allah, engkau telah menghindarkan semua ini dari Rasul-Mu dan Nabi-Mu, padahal dia lebih Engkau cintai dari pada aku, lebih Engkau muliakan daripada Aku. Juga Engkau telah menghindarkannya dari Abu Bakr, yang lebih Engkau cintai daripada aku, lebih Engkau muliakan daripada Aku. Maka jika semua ini Engkau berikan kepadaku, aku berlindung kepada-Mu ya Allah, juga jangan sampai Engkau berikan kepadaku untuk memuliakan aku”

Kalau silau dengan kejayaan, silakan lihat kiprah para sahabat yang dalam hitungan puluhan tahun istiqamah menjalankan Islam, sudah mampu membentangkan pengaruh ke puluhan ribu kilometer dari negeri tandus yang mereka diami. Diteruskan generasi selanjutnya, kekuasaan khilafah Islamiyah pernah mencapai sepertiga dunia. Di sebuah malam, kota Baghdad bermandi cahaya terang, sementara di belahan lain benua Eropa hanyalah rawa tandus yang suram.

Hanya saja kejayaan itu dipergilirkan. “…Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’…” (Ali Imran: 140)

Dalam sebuah riwayat, Umar bin Khattab r.a. tak berbinar-binar saat dihamparkan gelang dan mahkota Kisra berkilau di hadapannya. Malah beliau memberikan gelang itu kepada Suraqah.  Umar bin Khattab r.a. hanya berkomentar, “Segala puji bagi Allah SWT, gelang Kisra bin Hurmus berada di tangan Suraqah bin Malik bin Ja’sam, seorang Arab badui dari Bani Mudli.”

Begitulah, mudah Allah memindahkan kekayaan dari orang terhormat di singgasana Persia kepada seorang Arab dusun. Mudah bagi Allah mengantarkan Jengis Khan dari negeri terpencil menaklukkan peradaban-peradaban besar dunia di masanya. Mudah bagi Allah memperluas imperium Jepang setelah berabad-abad lamanya daerah itu dikuasai pemerintahan tertutup, lalu dalam sekejap dihinakan dalam peristiwa pemboman Nagasaki dan Hiroshima, lalu kemudian Allah swt bangkitkan lagi hingga menjadi negara maju saat ini.

Semua berpulang pada nilai yang dianut. Yang paling rentan mengalami gegar budaya adalah penganut materialisme yang berorientasi kepada benda. Maka yang paling banyak memiliki perbendaharaan dunia lah yang paling terpandang di hadapannya. Bukan akhlak, agama, dan lain sebagainya. Padahal dunia ini fana, dan roda kehidupan pun berputar.

Bumi ini diramaikan karakter seperti itu. Dari centeng kompeni yang hidup di zaman penjajahan, hingga artis zaman now. Kita lihat orang-orang itu mengidap inferiority complex. Merasa budaya asing lebih digdaya dan kemilau. Lalu merendahkan budaya sendiri bahkan agama yang dianut.

Sementara orang seperti M Sohibul Iman, tak menganggap kemegahan lebih berarti dari agama yang dianutnya. Tak jadi katro melihat teknologi diterapkan di mana-mana di negeri tempat ia belajar dulu. Mungkin itu berkah dari doa orang tua yang diejawantahkan menjadi nama yang mengandung arti “yang memiliki keimanan”. (zico/dakwatuna.com)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ayah dari 2 anak yang tinggal di Depok. Minat dengan diskusi keilmuan soal keislaman. Menumpahkan pikirannya pada blog: http://zicoofficial.wordpress.com serta http://muslimpolitan.com

Lihat Juga

Tingkatkan Kerja Sama Ekonomi, Emir Qatar Lakukan Tur Asia

Figure
Organization