Topic
Home / Berita / Opini / Bukan Soal Pinta Meminta Maaf, Hukum Dibuat untuk Efek Jera

Bukan Soal Pinta Meminta Maaf, Hukum Dibuat untuk Efek Jera

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Soal pinta meminta maaf, jelas urusan sesama manusia. Dihukum tidak berarti tidak ada pemaafan disana. Jika Tuhan saja Maha Pemaaf, sungguh tak ada hak bagi manusia untuk tidak memaafkan. Setiap orang-orang yang berdosa dan bersalah, pasti Tuhan ampuni, karena itu murni hak perogratif-Nya. Bukan urusan manusia untuk menghakimi sendiri. Namun menjadi kewajiban bagi sesama manusia untuk saling mengingatkan kesalahan.

Demikian penegakkan hukum bekerja, ia ada untuk mengadili manusia dengan seadil-adilnya. Sesuai proporsinya. Jika bersalah kemudian dihukum dan dipenjarakan, tidak lantas orang yang tidak menyukai perbuatan kesalahannya tidak memaafkan. Bagaimanapun, setiap yang bersalah akan selalu ada konsekuensi atas kesalahannya. Sepertihalnya, sampah atau kotoran yang berserakan di halaman, tentu saja harus dibersihkan jika ingin terlihat indah. Begitu pun dengan mekanisme pembersihan akibat dari kesalahan manusia, pasti ada mekanisme pembersihannya sendiri.

Kekuatan Efek Jera

Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan, itu pasti. Tidak ada di dunia ini yang tidak pernah melakukan kesalahan. Tak bisa dibayangkan jika seorang pencuri, koruptor dan maling misalnya dilepas bebaskan begitu saja karena alasan harus dimaafkan, akan jadi seperti apakah kehidupan manusia?

Bumi ini bergerak, tetap membutuhkan keseimbangan. Ada sebab, ada akibat, ada kesalahan, ada kebenaran, ada kejahatan, ada kebaikan, ada peperangan dan ada kedamaian. Semua berjalan, demi menyeimbangkan kehidupan.

Menghargai hukum yang berlaku di masyarakat adalah solusinya. Hukum harus terus berjalan, untuk memberikan efek jera kepada manusia. Tanpa hukum, orang bisa saja seenaknya melakukan apapun yang diinginkan. Jika setiap orang yang bersalah cukup diberi maaf dan tak perlu dihukum, tak ada yang menjamin orang tersebut melakukan hal serupa dan mengulang kesalahannya.

Hukum itu Daya Maaf Paling Adil

Maaf itu pasti ada, tetapi ia harus dibingkai oleh hukum agar kehidupan yang berjalan menjadi lebih adil dan damai. Justru hukum merupakan daya maaf yang paling adil dan seadil-adilnya. Sudah menjadi tabiatnya, bahwa manusia lebih sering lalai ketimbang taat, maka ada hukum yang dibuat oleh manusia demi kebaikan manusia itu sendiri, dan yang lebih beratnya lagi ada Hukum Tuhan agar menyadarkan manusia.

Suatu negara yang sudah terbingkai dalam sistem hukum, maka setiap warga negaranya wajib mematuhi hukum tersebut. Sekali lagi, ini bukan soal pinta meminta maaf, tetapi inilah proses hukum yang berlaku di masayarakat sekitar. Proses hukum harus terus berjalan, soal pinta meminta maaf itu bukan wilayahnya lagi. Itu sudah masuk urusan hati. Jangan campur adukkan hukum dan hati. Tempatkan dimana mereka harus ditempatkan. Hukum selamanya hukum dan hati akan selalu menjadi hati.

Menjadi taat, menjadi warga negara yang baik, yang taat hukum di negara tempat tinggal. Karena baru begitu, manusia bisa hidup berdampingan dengan penuh kenyamanan. Hukum bukan untuk ditakuti, ia hadir untuk melengkapi hidup manusia, menjauhkannya dari kerugian, mendekatkannya dari rasa persaudaraan dan hidup berdampingan, serta menjaga perdamaian dunia. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Dukung Aksi 112, Forjim: Stop Kriminalisasi Ulama

Figure
Organization