Topic
Home / Pemuda / Essay / Afwan, Aku Bukan Santri

Afwan, Aku Bukan Santri

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Ria Amani)
Ilustrasi. (Ria Amani)

(Memorizing Of Intifadhah Club)

dakwatuna.com – Angin sore menerbangkan jilbab kuningku, angin itu tersa sejuk di tubuh setelah seharian aku di kejar kerjaan,alhamdulilah aku bisa menikmati sore yang indah ini ditemani seorang teman yang sekarang sedang mencari minuman,tak jauh dari tempatku berdiri, kulihat 2 sejoli sedang menikmati sore ini.Perempuan berjilbab lebar,dan laki-laki berjaket hitam yang menunjukkan di mana dia tinggal.

“Santri” desahku mengehela nafas. lalu pikiranku terlempar pada pertanyaan 2 hari silam.

“Kenapa mereka pacaran ya padahal mereka kan tahu pacaran itu tak ada dalam islam, katanya zina itu dilarang?” Dua buah pertanyaan yang slalu jadi perdebatan seru,baik di kubu orang yang shalih, atau kubu orang yang awam. sekarang menyerangku.

“Tak tahulah, coba kamu tanya pada mereka” jawabku waktu itu.

“Tapi mereka santri, bukankah mereka mestinya jadi panutan?” tanyanya sekali lagi.

“Gini kawan,santri itu bukan jaminan keshalihan,santri itu hanya gelar yang di berikan pada orang-orang yang mempelajari agama di suatu tempat yang insya Allah mereka di sana dididik untuk menjadi kader-kader ulama”

“Jadi santri itu orang yang mempelajari agama lebih dalam yah.”

“Iya.”

“Kalau gitu apalah artinya gelar santri, kalau mereka summun, bukmun, umyun pada kebenaran. Apalah artinya gelar santri jika perintah dan larangan sama-sama dijalankan. Lalu apalah bedanya santri dan non santri. Lebih baik non santri yang melaksanakan perintah, menjauhi larangan sepengetahuan dia, daripada santri yang berpura-pura tak melihat, tak mendengar dan tak mengamalkan apa yang telah didapatkannya”

Aku gak bisa menjawab apa-apa, tak kusangka akan ditanya dengan berondongan pertanyaan yang membuat pusing kepala. Lama aku terdiam, perkataannya benar juga. Untuk seperkian detik. Aku memutar otak untuk menjawabnya.

“Aku kadang kurang suka sama santri itu. Kalau kita tegur pas dia salah, dia suka ngelak sambil bilang “dalilnya apa?” ,mereka kadang merasa sok khatam hadist, hafal quran” tandasnya seru. temanku yang ini memang mempunyai pengalaman buruk dengan santri.

“Ya sudah maklum saja say, hidayah itu gak turun ke sembarang orang, temen-temen aku juga di aliyah gak semuanya baik kok. Dan bukankah paman nabi juga, Abu thalib atau siapa sih, aduuuh lupa lagi. Pokoknya mah dia meninggal dalam keadaan kafir padahal dia sangat mencintai nabi. Kita doakan saja semoga para santri dan orang yang shalih lainnya bisa menjadi panutan yang baik. Semoga saja mereka bisa berdakwah dengan akhlak mereka, karena nabi pun sukses berdakwah dengan akhlaknya kan?”

“Iya, karena kalau kita berdakwah dengan akhlak kemungkinan kita salah sangat kecil, karena kita mengamalkan apa yang kita ucapkan. Kalau cuma bicara semua orang juga bisa kan.”

“Iya” kataku sambil mengangguk

“Aku bersyukur dapat mengenal keagungan cintaNYA meski cintaku padaNYA hanya secuil debu” ujarnya puitis.

Aku memeluknya.

Bersyukurlah kawan, kamu bisa jadi seperti ini, dalam masalah akhlak tak usah kamu melihat itu santri atau bukan, jika itu baik maka ambillah, seperti perkataan imam syafi’i jangan lihat orangnya tapi lihat perkataannya. Mereka juga sama dengan kita masih belajar mendayung kehidupan, asal kita berusaha lebih baik itu sudah lebih dari cukup.

Kawan sungguh banyak orang yang mencari cahaya di luar sana,yang mengais hidayah meski bersusah payah, mereka yang selalu manut apa kata ustad yang datang pada meraka, mereka yang sama sekali tak menolak ketika kebenaran datang, atau mereka yang tak tahu bahwa itu salah karena saking rindunya dengan kebenaran.

Kawan banyak sekali cahaya yang berpedar di pondok ini jadi jangan pernah tutup mata kita karna silaunya, terimalah cahaya itu jadilah cahaya-cahaya lain yang menerangi alam ini, ingatlah kawan matahari dan bintang bercahaya karna membakar diri mereka, jadi bakarlah dirimu, hatimu dengan cahaya yang ada di sekelilingmu.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

penulis adalah mahasiswi tingkat 2 di Sekolah Tinggi Agama Islam Husnul Khotimah,(SETIA HK) Kuningan,jurusan Manajemen Pendidikan Islam,penulis penyiar serta aktivis KAMMI Daerah Kuningan.Moto hidupnya adalah "Tak kenal lelah di jalan dakwah sebelum mencapai jannah"

Lihat Juga

Meneguhkan Pesantren Tanpa Rokok

Figure
Organization