Topic
Home / Berita / Perjalanan / Papela Akhirnya “Merdeka”

Papela Akhirnya “Merdeka”

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Perahu Nelayan Papela
Perahu Nelayan Papela

dakwatuna.com – Papela, sebuah desa muslim di Kabupate Rote Ndao, NTT, akhirnya bisa berdiri sebagai desa tersendiri. Usaha membentuk desa sendiri bagi masyarakat Papela seperti perjuangan masyarakat Gorontalo memisahkan diri dari Sulawesi Utara, seperti Maluku Utara dengan Maluku atau seperti Flores dari NTT yang sedang dalam proses. Ini adalah perjuangan emosional untuk sebuah identitas.

Kamis, (5/3) pukul 13.00, kaki saya kembali menapaki tanah kelahiran Desa Papela di Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao. Satu jam perjalanan dari pelabuhan penyeberangan ferry di Pantai Baru dengan sepeda motor kali ini cukup menyenangkan. Itu karena sepanjang 25 km jalan yang saya tempuh cukup menyejukkan mata. Pepohonan, tanaman perdu, alang-alang dan rerumputan sabana kini menghijau. Hujan yang menyiram sepanjang Desember – Maret dengan curah yang cukup tiggi kali ini cukup membuat alam Pulau Rote menghijau.

Sayangnya, keadaan ini tak akan bertahan lama, karena memasuki musim kemarau, yang biasanya lebih cepat datang dan lebih lama dari wilayah Indonesia lainnya, alam kembali melelahkan mata. Pepohonan, padang sabana dan alang-alang menguning, begitu juga batu cadas serta tanah hitam yang terbelah di sana-sini menjadi pemandangan biasa. Ternak yang kurus, sungai yang mengering dan sisa pembakaran ladang adalah hiasan alam Pulau Rote. Selalu jadi berita, Kabupaten Rote Ndao adalah satu dari sekian banyak daerah miskin dan tertinggal di negeri ini. Anak gizi buruk, ibu mati melahirkan, pendidikan yang terbelakang, infrastruktur yang tidak memadai, transportasi yang sulit dan mahal, listrik yang sedikit, mobilisasi uang dan jasa yang terbatas, korupsi yang tinggi serta rendahnya sumber daya manusia adalah berita yang biasa dari Rote.

Jelang Maghrib di Pelabuhan Papela
Jelang Maghrib di Pelabuhan Papela

Bagi saya, pulang ke Papela dari Jakarta adalah sebuah pengalaman spiritual, sebuah perjalanan untuk menemukan kembali jatidiri yang tergerus oleh kota. Pulang ke Papela adalah perjumpaan yang penuh dengan keramahtamahan, kebersahajaan, kesederhanaan dan kekeluargaan. Mudik ke Papela adalah perjalanan untuk membuang semua yang berbau kota yang penuh kemunaafikan dan perlombaan. Di Papela, saya akan memeluk lauk, mencumbui pasir putih dan menggenggam karang. Di Papela saya menari bersama nyiur, terbang bersama bangau, mengejar matahari bersama anak tak berbaju dan telanjang kaki, beriring bersama ibu-ibu menjaja ikan. Di Papela saya mencelupkan diri dalam masjid dan asyik bersama jamaah tahlil.

Komunitas Muslim

Bagi Kabupaten Rote Ndao, Papela sesungguhnya hanyalah sebuah desa. Meski begitu, Papela dalah “kota” kedua setelah ibukota kabupaten, Ba’a, yang berajarak 55 kilo meter dari Papela. Bagi masyarakat Rote, Papela cukup menarik karena terbentuk dari sebuah komunitas Muslim dan merupakan desa nelayan. Di sini ada dua ribu lebih muslim yang tinggal. Muslim di Rote Ndao lainnya ada di Oenggae, Kecamatan Pantai Baru (500 jiwa), di ibukota kabupaten Ba’a (1000 jiwa), di Oelaba, Kecamatan Rote Barat Laut (1000 jiwa) di Batutua dan Oeseli, Kecamatan Rote Barat Daya (500 jiwa) dan Pulau Ndao, Kecamatan Ndao Nuse (500 jiwa) dan tersebar di Kecamatan Rote Tengah, Rote Selatan dan Kecamatan Landu Leko (500 jiwa). Jumlah seluruh Muslim di Rote Ndao itu merupakan angka minoritas dari penduduk Rote Ndao yang berjumlah 110 ribu.

Papela makin menarik, karena letaknya lebih dekat dengan Kupang, maka desa ini menjadi pintu gerbang masuk dan keluarnya orang, barang, serta uang dari dan ke Kupang. Apalagi di Pelabuhan Papela berdiri sebuah dermaga terbesar di Pulau ini yang mampu disandari kapal berbagai ukuran. Meski hanya sebuah desa, Papela memiliki banyak fasilitas yang tidak dimiliki derah lain di Rote. Di Papela ada lembaga pendidikan dari PAUD,TK, SD, Madrasah Diniyah dan Madrasah Tsanawiyah serta Taman Baca. Di Papela tersedia lapangan sepakbola terbaik se Rote Ndao. Ada tiga masjid berdiri di Papela. Begitu juga dengan dokter praktek dan toko obat tersedia di sini. Di Papela juga ada wisma (penginapan) dan jasa lainnya. Lengkap sudah Papela sebagai “kota”, setidaknya untuk ukuran sebuah kabupaten tertinggal seperti Rote Ndao.

Papela adalah pintu masuk Islam di Pulau Rote. Bermula dari kedatatangan pelaut-pelaut dari Solor (Flores) dan dari Baranusa (Alor) pada tawal tahun 1900-an. Solor dan Baranusa sendiri adalah dua wilayah Muslim di bagian timur Pulau Flores yang memiliki akar sejarah Islam yang sama dengan sejarah Islam di Ternate dan Tidore (Maluku). Papela menjadi check point pelaut-pelaut ini sebelum mereka meneruskan pelayaran ke Ashmore Reef di Australia guna mencari lola (sejenis kerang laut sebagai komuditas dagang). Dalam perjalanan kembali dari Ashmore Reef para pelaut ini juga kembali singgah di Papela guna melengkapi perbekalan mereka. Banyak diantara pelaut ini yang tidak kembali ke kampung mereka dan akhirnya menetap di Papela. Setelah pelaut dari Solor dan Baranusa berdatangan pula pelaut dari Wakatobi dan Bajau (Sulawesi Tenggara) dan dari Pulau Ra’as (Madura). Setelah para palaut membuka pemukiman di Papala, barulah datang pedagang asal Jawa, Buton dan Arab.

Di Papela, para pelaut dan pedagang ini banyak yang menikah dengan gadis Rote. Ini adalah sebuah jalan syiar yang umum terjadi di mana-mana. Menjadi Muslim dengan sebab perkawinan terus berlangsung hingga saat ini. Bahkan, dalam satu keluarga Muslum di Papela, bisa dipastikan ada anggota keluarga yang mualaf. Selain melalui perkawinan, persentuhan dengan pendatang Muslim juga membuat orang Rote asli memeluk Islam. Kakek penulis, Akhiruddin Bakuama adalah salah satunya. Sebelum menjadi Muslim, Akhiruddin bernama Oktofianus Bakuama. Ia adalah seorang petani dan dalam sepuluh tahun menjelang wafatnya, Akhiruddin mengabdikan dirinya sebagai Doja’ (merbot) Masjid Al Muhajirin yang kini berganti nama menjadi Masjid Jami’ Al Bahri.

Papela “Merdeka”

Nelayan Papela
Nelayan Papela

Sejak awal kedatangan para pelaut dari Solor, Baranusa dan Sulawesi ke Papela pada awal tahun 1900-an, hingga saat ini orang-orang Papela masih berhsrat berlayar ke Ashmore Reef. Perahu yang mereka gunakan tidak jauh berbeda, hanya peralatan pendukungnya saja yang berubah. Oleh sebab itu, pemerintah Australia memberikan hak tradisional kepada para nelayan Papela untuk mencari hasil laut di perairan mereka. Hak yang sama juga diberikan kepada nelayan asal Pulau Raas, Bajau dan Wakatobi. Meski telah diberika hak-hak tradisional, namun nelayan kadang melanggara hak-hak itu. Akibatny mereka ditangkap, dipenjarakan dan perahu mereka dibakar oleh Australia. Jadi, jauh sebelum Menteri Kelautan Tuty Pujiastuti membakar kapal nelayan asing pencuri ikan, pemerintah Australia sudah melakukannya terhadap nelayan-nelayan Papela, Raas dan Wakatobi.

Baik pemerintah Indonesia maupun Australia sudah lama menginkan nelayan Papela untuk tidak lagi memasuki perairan Australia itu. Berbagai upaya dilakukan, diantaranya pemerian bantuan alat tangkap, sarana budidaya dan sebagainya sebagai agar nelayan mendapatkan mata pencaharian alternatif. Sayangnya, bantuan dan usaha tersebut lebih sering salah sasaran. Hal ini diperparah dengan sepinya program keberpihakan dari pemda provinsi dan kabupeten maupun dari lembaga swadaya masyarakat. Akibatnya, nelayan Papela hingga saat ini bertahan dalam keterbatasannya.

Selama pemerintaan Orde Baru, Papela benar-benar “dilupakan”. Masyarakat Papela yang lebih memilih Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai perahu politik telah menyumbangkan ketidakpedulian pemerintah. Listrik, air bersih, infrastruktur, sarana pendidikan dan kesehatan serta pembangunan sosial budaya pada Papela benar-benar dinomorduakan.

Untuk keluar dari keadaan yang diskriminatif ini, masyarakat Papela merasa harus bisa berdiri sendiri sebagai desa terpisah dari Desa Londalusi. Bagaimana tidak, Papela yang memiliki jumlah penduduk lebih banyak dan wilayah yang lebih luas dari desa-desa lain di Kecamatan Rote Timur malah “dipaksa” bergabung dengan desa di luarnya, yakni Desa Londalusi. Perjuangan untuk mendapatkan status sebagai desa tersendiri ini dimulai sejak tahun 1985, waktu Rote Ndao belum menjadi kabuten sendiri dan masih tergabung dengan Kabupaten Kupang.

Perjuangan menjadi desa tersendiri mulai ada harapan ketika Rote berdiri sebagai kabupaten sendiri dan terlepas dari Kabupaten Kupang tahun 2002 lalu. Sayangnya, usaha itu terus mengalami jalan buntu. Akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil pada Fabruari 2015 ini, setelah 30 tahun usaha itu dilakukan. Insya Allah, jika atak ada lagi aral merintang, di akhir tahun ini masyarakat Papela akan memilih sendiri kepala desanya. Saat itu, Papela akan benar-benar “merdeka” sebagai desa sendiri dengan kepala desa yang berasal dari Papela sendiri dan Muslim. Dengan demikian, Papela menjadi satu-satunya desa di Kabupaten Rote Ndao yang dipimpin oleh kepala desa Muslim. Insya Allah.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Papela, Kec. Rote Timur, Kab. Rote Ndao. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan Bahagia, Bekasi. Pernah di redaksi Majalah Warnasari (Pos Kota Group) dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Lihat Juga

Rumah Wakaf dan Adira Resmikan Perahu Guru di NTT

Figure
Organization