Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Ibuku Nomor Satu dan Ayah Teladanku

Ibuku Nomor Satu dan Ayah Teladanku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi

dakwatuna.com – Saat itu ayah masih terbaring lemah, selang infus mulai terpasang sesaat setelah ibu memeriksa kondisi ayah. “Allah ingin agar ayah memberikan haknya berupa istirahat yang cukup atas badan ayah, Istirahat dulu ya yah, bunda dan adit selalu ada di samping Ayah”. Ayah hanya tersenyum kecil, tangannya yang lemah berusaha mengusap tetesan air mata di pipi ibu, “Dit, jaga ibu baik-baik ya”. Aku tersenyum mengangguk kepadanya.

“Kau tahu Dit, Ayahmu adalah sosok langka di muka bumi ini”. Hujan mulai membasahi bumi, selesai shalat isya berjamaah bersama ayah, ibu mengajakku bercengkrama di depan ruangan perawatan. Hujan sepertinya enggan berhenti, ia sepertinya asyik membersamaiku mendengarkan cerita ibu “Sejak kami mengetahuimu mulai berkembang di rahim ibu, ayahmu adalah orang pertama yang mengajak ibu berdiskusi seharian khusus membicarakan cara agar kami bisa mendidikmu secara maksimal mulai dari rahim sampai kau baligh”.

“Habit (kebiasaan) atau repetisi (pengulangan) menurut ayahmu adalah sebuah hal penting untuk anak. Saat itu ibu sendiri bingung dengan apa yang ayahmu sampaikan dan akhirnya ibu mengerti setelah ibu melihatnya dengan mata kepala sendiri “. Ibu bercerita bahwa mereka membuat jadwal belajar untukku sejak aku masih dalam kandungan, karena kebiasaan akan menumbuhkan karakter, sejak umur trisemester pertama pelajaran pertama yang ibu dan ayah kenalkan adalah “Allah”. Setiap hari selesai shalat lima waktu ibu pasti memutarkan murottal Alquran di perutnya. “Walaupun ibu dan ayahmu sama-sama sedang jaga praktek, kami berdua komitmen untuk melaksanakan jadwal yang sudah kami rancang”. Selain kelas murottal juga ada kelas sejarah nabi, matematika, dan seni. “Matematatika?” Aku bertanya heran pada ibu. “Ya, kelas matematika, saat jadwal itu maka ibu akan mengerjakan soal-soal matematika sambil mengajakmu berkomunikasi untuk mengerjakannya”. Hmm.. aku hanya tersenyum kecil. Ibu juga bercerita bahwa ayah pandai mendongeng, dan sering mengisi jadwal kisah nabi untukku.

“Kau mungkin masih ingat, ketika ayahmu membiasakannmu berpikir kritis sejak mulai SD. Dia mulai menanamkan paham, bahwa mengandalkan habit saja tidak cukup. Ayahmu ingin kau terus berpikir dan berpikir, karena dengan berpikir kau dapat bertambah syukur pada Allah”. Ya, aku pasti akan selalu mengingatnya. Aku masih teringat nasihat-nasihat ayah saat itu, walaupun perlu waktu bagiku untuk mencerna setiap nasihat ayah. Di sela-sela waktu senggang, saat selesai shalat berjamaah ayah selalu mengajakku berbincang.

“Kau tahu? Waktu telah membuat manusia seperti seonggok mesin robot. Sebuah mesin yang terprogram untuk melakukan pekerjaan yang sama setiap harinya. Waktu seolah sama dan berulang. Dua puluh empat jam setiap harinya adalah sama. Bangun pagi yang sama, jalan ke kantor yang sama, bertemu orang yang sama, dan mendapatkan tugas yang sama. Kau tahu, apa itu artinya? Saat-saat itulah miliaran sel otak mereka punya sebagai anugerah tuhan, telah menjadi seonggok daging yang tidak pernah berkembang sedikitpun. Kenapa? Karena otak kita jarang menerima pengetahuan baru, yang ada hanyalah memori yang sama seperti kemarin. Teruslah mencari hal yang baru, nak. Berpikirlah agau kau banyak berdzikir”.

“Manusia sekarang semakin menuhankan teknologi, kau jangan salah sangka, makna menuhankan teknologi adalah ketika kita sudah menggunakannya melebihi batas keawajaran seharusnya. Teknologi itu penting, tapi tidak boleh kau jadikan ia sebagai tuhanmu. Jika kau merasa khawatir dengan hpmu yang tertinggal di rumah, dibandingkan dengan Alquranmu yang tertinggal, maka berhati-hatilah, mungkin hal tersebut salah satu tandanya”.

“Bagus, kau sudah bangun sepagi ini. Ucapkanlah syukur. Bersyukur atas partikel oksigen yang kita hirup secara gratis pagi ini. Oksigen inilah yang akan kita hirup yang kemudian di dalam darah berikatan dengan hemoglobin membawa sari-sari makanan ke seluruh tubuh, bukankah itu pelajaranmu kemarin di kelas? Mari kita segera berwudhu”.

“Gunakan otakmu. Analisis semua yang kau lihat. Jangan hanya menjadi robot yang hanya melihat sesuatu karena kebiasaan”. “Aku melihat dedaunan yang hijau Ayah, Ibu guru bilang setiap dedaunan hijau dianugerahi tuhan dengan dzat hijau daun bernama klorofil”. “Bagus, kau tahu nak? Selintas mungkin kau lihat mereka seperti benda mati sekarang, dan kebanyakan kita hanya menganggap mereka biasa saja, padahal hakikatnya mereka setiap hari terutama pagi selalu berdzikir pada Allah, melakukan fotosintesis untuk membaut makanannya sendiri. Jadi ketika kau melihat mereka, bersyukurlah bahwa mereka juga adalah ciptaan Allah yang hidup dan bergerak, kau paham?”. “Apakah kicauan burung dan desiran angin juga salah satu bentuk dzikir mereka?”. “Ya, kau benar nak”.

“Nak, berapa lama lagi sisa kita hidup? Berapa lama kita akan hidup di akhirat?”. “Mungkin jika dibandingkan dengan akhirat, hidup di dunia hanya sebentar Ayah, sedangkan di akhirat kekal abadi”. “Bagus, Ayah hanya ingin memberi tahu, kau buka QS Al-Qasas ayat 77, rumus sederahana dari Allah adalah, kejarlah akhiratmu dan jangan lupakan duniamu. Jadi yang nomor satu tetaplah akhirat. Ubahlah semua niat dalam pekerjaanmu adalah hanya untuk Allah. Berpikirlah bahwa amal kita sangat sedikit, dengan begitu orientasi hidupmu adalah akhirat, sedangkan dunia akan mengikutimu”.

Kata-kata itu kembali terngiang kembali dalam pikiranku. Sosok hebat yang telah mengenalkan dunia kepadaku. Mengenalkan dunia dengan cara yang berbeda. Berpikir biasa, tetapi orang sudah meninggalkan pola berpikir tersebut, sehingga orang menganggapnya menjadi tidak biasa. Aku tersenyum pada ibu, “Terima kasih ceritanya, Bu”.

Lima tahun kemudian, Ayah mengabariku via telepon bahwa ibu sedang sakit. Asma ibu kambuh dan lebih parah dari biasanya. Tanpa pikir panjang segera kuberkemas saat itu juga. Aku meminta izin tiga hari untuk tidak masuk rumah sakit. Saat itu aku sedang mengikuti program profesi dokter. Tidak mengapa bagiku jika harus menambah jadwal jaga seminggu karena tidak bisa masuk tiga hari. Bagiku ibuku adalah nomor satu.

Aku merasa suasana itu kembali hadir seperti lima tahun yang lalu. Saat ini Ibu yang sakit. Selesai shalat berjamaah dan memijit lengan dan kaki ibu, aku pamit untuk keluar menemani Ayah. Saat itu ibu hanya bilang “Jaga ayahmu ya Dit”. Aku tersenyum mengangguk.

“Kau tahu Dit, Ibu adalah bidadari pilihan yang Allah kirimkan untuk kita”. Aku memandang wajah ayah sejenak. Kulihat keriput di wajah ayah semakin terlihat, namun wajah ayah tetap cerah seperti biasanya. Mungkin karena kebiasaan Ayah menjaga shalat dhuha dan tahajudnya.

Sore itu aku meminta ayah bercerita lebih banyak tentang ibu. “Kau tahu, saat kami tahu kau mulai tumbuh dan berkembang di rahim ibu, ibumu adalah orang pertama yang mengajak ayah berdiskusi, dan mengusulkan dibentuknya SRIT”. “Apa itu SRIT?” Aku bertanya terheran-heran. Ayah menjelaskan SRIT adalah Sekolah Rahim Islam Terpadu, “Ibumu memang ibu yang cerdas dan gila” Ayah tersenyum dan tertawa kecil. Saat kau berusia satu sampai tiga tahun, ibumu memilih untuk bekerja di rumah sakit. Padahal saat itu pihak rumah sakit berencana untuk menyekolahkan spesialis untuk ibu, ibu berkilah bahwa anak adalah amanah dan amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Mendidik anak adalah kodrat bagi setiap ibu. Ibu mengenalkan Allah sejak kau masih kecil Dit.

“Adit… kau tau nak, ini namanya apa? Apa ayo? Ini namnya wor….tel…, apa? Wortel…, adit tahu gak, kalo wortel itu dianugrahi Allah sehingga ia bisa dimakan, dan diberi warna oleh Allah dengan warna yang sanggat indah, warna apakah itu? Warna ku..ku..ning…”. Ayah bercerita bahwa di pojok dapur setiap hari Ibu mengenalkanku dunia, setiap jadwal shalat ibu selalu membawaku untuk ikut shalat, walaupun saat itu aku hanya ditidurkan di samping ibu.

“Saat kau lahir, Ayah membantu persalinan Ibu. Kau tau Dit? Ibumu setengah mati meminta Ayah agar bisa melahirkanmu secara normal. Padahal Adit tahu sendiri kalau ibu mempunyai asma berat. Ibu hanya berkata, bahwa biar rasa sakit yang ia rasa menjadi pahala baginya, dan menjadi pengikat kasih sayang antara ibu dan kamu. Ayah sampai bingung, karena saat itu juga ibu mengalami perdarahan cukup hebat. Tapi Alhamdulillah, tekad ibumu luar biasa. Allah memberikan balasannya berupa kelahiranmu menjadi anak yang sehat”.

“Ibumu pernah menangis setiap hari, karena tiba-tiba ASI ibumu tidak keluar, ia memohon dan berdoa sambil tersedu-sedu, meminta Allah memberikanmu ASI, karena bagi ibumu ASI adalah segala-galanya untukmu”. Aku terdiam. Tak terasa menetes air mata ini. Aku merinding mendengarnya.

“Saat Ayah membiarkanmu untuk belajar mandiri. Setiap kau pergi sekolah sendiri, maka sebenarnya ibumu menangis melihatmu. Terlalu banyak kekhawatiran sebagai bentuk cinta ibu bagi anaknya”. Aku tersenyum kecil sambil berkaca-kaca. Ayah kembali bercerita, bahwa setiap kali ayah memberikan pendidikan tegas bagiku, maka ibu akan hadir sebagai pengayom dan penenang bagiku.

“Dit tolong jaga Ibu ya”. Air mataku membuncah, kupeluk erat ayahku. Aku menangis keras. Ya Allah mereka adalah anugrah terindah yang Engkau berikan kepadaku. Saat itu kubawa ayah bertemu Ibu, saat itu kuberlutut mencium kedua tangan mereka. “Ibu, Ayah, Adit mencintai kalian karena Allah. Adit tidak akan bisa membalas semua jasa kalian, tapi Adit akan sekuat tenaga menjaga kalian, sampai kita nanti bertemu di surga-Nya kelak”. Saat itu hujan deras turun membasahi bumi. Kami bertiga menangis. Bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepada kami.

Saat ini, lima tahun setelah itu. Aku berdiri menghadap batu nisan kedua orang tuaku. Kuberikan sepucuk doaku untuk kalian berdua. “Ibu, Ayah, kini izinkanku untuk menunaikan amanah ilmu ini. Izinkanku bersama istri untuk pergi membantu saudara-saudara kita di Palestina, semoga kalian bisa tersenyum bahagia di alam sana”. “Ibuku nomor satu, Ayah adalah teladanku”.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seorang petualang, pencari ilmu asli tanah pasundan yang sedang menjejakan langkah kakinya di kota pendidikan Jogjakarta.�

Lihat Juga

Ibu, Cintamu Tak Lekang Waktu

Figure
Organization