Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Anak Kecil pun Bisa Menjadi Guru

Anak Kecil pun Bisa Menjadi Guru

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – ”Lima belas ribu, Mbak”. Ucap saya pada petugas pertamina ketika mengisi bensin. Saat petugas wanita itu mengisi bensin, mata saya tertumbuk pada seorang bocah yang memangku tumpukan Koran di pahanya. Mata saya tak beralih hingga bensin terisi seketika.

”Dek, Dek. Beli korannya ya. Ucap saya pada bocah yang bercelana merah hitam itu. Dia yang tadinya telah berdiri mundur kembali, seolah-olah tak mendengar ucapanku.

”Dek, sini.” Ucapku lagi dengan melambaikan tangan setelah mengokohkan berdirinya motor jupiter hijau yang kupinjam dari DU.

Akhirnya dia berjalan ke arahku.

”Berapa Dek harga korannya?”.

“‘Seribu, Kak”.

”Beli dua ya.”

Dia pun mengulurkan dua koran itu pada ku. Tak kuperhatikan koran apa yang dijualnya. Hanya kuulurkan sehelai uang dua ribuan yang tidak begitu lecek.

“‘Namanya siapa?” Tanyaku tak sungkan pada anak yang berkemungkinan berusia lebih kurang sepuluh tahun itu.

”Niki”.

”Masih sekolah kah?” Tanyaku agak ragu padanya.

”Masih, Kak. Kelas tiga.”

Alhamdulillah ucapku dalam hati.

”Dapat uang berapa sehari, Dek?” Tanyaku lagi dan lagi padanya.

”Kadang sepuluh ribu, kadang lima belas ribu, Kak”.

Aku mengangguk-angguk. Aku bangga pada bocah ini. Di usianya yang masih kecil, dia telah begitu mandiri. Setidaknya, untuk belanjanya sehari-hari dan untuk keperluan sekolah, dia tak perlu lagi meminta kepada orang tuanya. Ya, di usianya yang begitu dini, dia telah meringankan beban orang tuanya.

Kutanyakan juga padanya perihal di mana dia tinggal dan sampai jam berapa dia berjualan koran di pertamina itu.

Dia pun menjawab. Dia tinggal di suatu daerah yang tak jauh dari Pontianak. Katanya lagi, dia menumpang mobil pick up untuk sampai ke Pontianak. Pulang dan pergi. Dan, rutinitas berjualan koran ini dilakukan setelah pulang sekolah hingga pukul empat sore.

Lagi-lagi saya tertegun. Siswa kelas tiga SD ini telah berani ke kota untuk mengumpulkan recehan uang dari koran yang di jualnya.

Sungguh mulia sikap anak ini. Kekurangan uang tak membuatnya kehilangan harga diri. Kekurangan uang, tak membuatnya mengemis di jalanan. Ya, dia tak harus memajang tampang ”ingin dikasihani” sambil mengulurkan tangan menunggu orang lain memberikan receh di dompet kepadanya. Ya, anak ini lebih memilih mengumpulkan uang atas usahanya sendiri. Mondar-mandir menjual koran untuk penyambung hidup meski harus capek dan berpeluh karena harus berpanas-panasan.

Sungguh telah bijak bocah ini di usia kecilnya. Melakukan apa yang seharusnya dia lakukan untuk membantu orang tuanya. Ya, dia tak malu berjualan koran di tepi jalan.

Inilah yang seharusnya kita tiru. Anak sekecil itu yang seharusnya masih sibuk bermain dengan teman seusianya, telah mencari uang untuk penyambung hidup. Ya, anak yang sekecil itu telah mengumpulkan uang untuk makan, sedangkan banyak anak-anak lain seusianya yang untuk makan saja, orang tua susah menyuruhnya. Padahal, nasi dan lauk pauk sudah tersedia lengkap di meja .

Mari kita berkaca. Coba putar kembali memori kita di masa kecil. Saat kita kelas tiga SD, apa yang telah kita lakukan? Sudahkah kita mencari uang seperti anak ini? Atau apakah kita hanya bermain karena kecukupan yang kita miliki?

Bukankah kebanyakan kita hanya menghabiskan waktu untuk bermain di kala masih kecil? Wajar karena mungkin itu memang belum masanya. Tapi coba bandingkan, apakah di usia dewasa sekarang, kita masih belum bisa membantu meringankan beban orang tua atau bahkan masih bergantung hidup dengan orang tua?

Jika belum, mari kita belajar tentang kebaikan yang ada di diri bocah penjual koran itu. Mari kita buang semua rasa ‘’berat’’ untuk berbuat baik kepada orang tua kita. Mari kita coba berani menerjang kerasnya dunia. Semoga dengan berkaca diri dengan anak kecil itu, dapat membuang semua rasa malas malu dan malas yang membelenggu kita.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengamat pendidikan dan Guru Muda SGI V Dompet Dhuafa (http://www.sekolahguruindonesia.net/). Saat ini penulis ditempatkan di Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Lihat Juga

UNICEF: Di Yaman, Satu Anak Meninggal Setiap 10 Detik

Figure
Organization