Topic
Home / Berita / Silaturahim / Generasi Muda Serumpun Menyambut MEA 2015

Generasi Muda Serumpun Menyambut MEA 2015

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Dialog Publik Internasional di Universitas Mataram, NTB, Senin (24/11)
Dialog Publik Internasional di Universitas Mataram, NTB, Senin (24/11)

dakwatuna.com – Mataram. Generasi muda di Indonesia, Malaysia dan Singapura perlu berkolaborasi memajukan kawasan Asia Tenggara dengan berbagai inovasi dan kreativitas. Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan berlaku pada 2015 merupakan peluang tapi sekaligus tantangan karena kondisi negara yang berbeda-beda.

Hal ini mencuat dalam Dialog Publik Internasional yang digelar KAMMI Daerah NTB dan BEM Universitas Mataram bekerjasama dengan Center for Indonesian Reform dan Yayasan Generasi Baru Nusantara di Graha Bhakti Praja, Mataram, Senin lalu. Hadir sebagai pembicara Asisten Gubernur NTB Dr. Rosyiadi Sayuti, Sekretaris Menteri Keuangan Malaysia Ezam Mohammad Noor, CEO Asian Leaders Institute, Singapura Nailul Hafiz dan Pembantu Ketua IV STT Nurul Fikri Sapto Waluyo.

Nailul Hafiz mengungkapkan gagasan MEA muncul setelah negara ASEAN merasakan dampak krisis yang berat pada 1997-1998. Tidak ada satu negarapun yang dapat bertahan sendirian. “Karena itu, pada 2005 muncul proposal MEA 2015 untuk membangun pasar bersama menghadapi kekuatan ekonomi yang baru bangkit China dan India. Dengan MEA diperkirakan proses produksi negara-negara ASEAN akan lebih efisien hingga 20% dan potensi ekspor meningkat,” jelas Nailul.

Ternyata, tak mudah mewujudkan MEA. Banyak negara yang belum siap seperti Myanmar, Kamboja atau Laos. “Bahkan, PM Singapura sendiri masih ragu apakah MEA dapat dilaksanakan tepat waktu, karena banyak regulasi yang harus disesuaikan di negara masing-masing. Disamping itu, membangun Sekretariat ASEAN yang benar-benar kapabel dan efektif mengawasi pelaksanaan agenda, butuh energi,” ungkap Nailul yang sudah berkeliling ke beberapa negara ASEAN, meningkatkan kapasitas masyarakat melalui program Initiative for ASEAN Integration.

Sementara Ezam M. Noor melihat faktor budaya sebagai kekuatan pemersatu yang tidak boleh terkalahkan persaingan ekonomi. “Kita memiliki budaya Melayu dan agama Islam yang mayoritas di kawasan. Karena itu, realisasi MEA tak bisa dipisahkan dari komunitas sosial-budaya ASEAN, dan pada akhirnya mendukung komunitas politik-keamanan yang stabil. Dengan memahami potensi masing-masing, kita bisa tumbuh bersama,” papar Ezam yang pernah menjadi anggota Dewan Negara (parlemen) Malaysia.

Ezam mendorong generasi muda agar mengembangkan hubungan people to people karena MEA tak hanya menjadi urusan pemerintah atau korporat swasta. Jangan sampai perbedaan kecil atau miskomunikasi menyebabkan kegaduhan antar negara. “Kita perlu menjaga kawasan yang damai, sebab terbukti konflik seperti di Timur Tengah atau Eropa Timur telah memubazirkan potensi untuk maju dan sejahtera,” seru Ezam yang pernah berinisiatif menyelenggarakan Nusantara Leadership Camp di Jakarta (2013) dan Kuala Lumpur (2014).

Rosyiadi Sayuti sepakat dengan pembicara lain, semua komponen negara harus siap bekerjasama dan menyelesaikan perbedaan kepentingan. “Khusus kepada kaum muda di NTB, saya dorong untuk meningkatkan keahlian di berbagai bidang dan kemampuan berkomunikasi, terlebih lagi bahasa asing. Dengan modal itu, nanti akan berperan sebagai pelaku, bukan hanya penonton dalam pasar bersama ASEAN,” tegas Rosyiadi.

Sebagai pamungkas, Sapto Waluyo mengungkapkan kemajuan teknologi informasi membuka peluang lebih besar. Kaum muda di Lombok atau Sumbawa bisa berpartisipasi dalam beragam kompetisi melalui jalur online. “Kita baru saja mendengar anak muda Bandung yang memenangkan lomba bisnis pemula (start up) di Belanda dan mendapat hadiah modal 1 juta Euro. Idenya sederhana membantu para peternak ikan dalam mengontrol pakan dengan bantuan smartphone (eFishery),” Sapto mencontohkan.

Penulis muda Indonesia, Helvy Tiana Rosa dan Habiburrahman Elshirazy juga sering diundang ke beberapa negara ASEAN karena karya mereka dinikmati oleh pembaca Melayu. “Kreativitas tanpa batas. Kita tak hanya menjadi konsumen dari produk asing, tapi tampil sebagai produsen untuk barang, jasa atau ide yang bermanfaat bagi pasar global,” pungkas Sapto. Dia menilai sudah saatnya kaum muda ASEAN bersatu untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. (abr/dakwatuna)

Redaktur: Abdul Rohim

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Direktur Institute of Strategic Studies and Civilizational Transformation (ISSaCT)

Lihat Juga

Di Hadapan Ivanka Trump, Tun Mahathir Kecam Keras Amerika Serikat

Figure
Organization