Topic
Home / Berita / Opini / Guru Bukan Dewa, Murid Bukanlah Kerbau

Guru Bukan Dewa, Murid Bukanlah Kerbau

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Karena guru bukanlah dewa yang selalu benar dan murid bukanlah kerbau”. Begitulah sepenggal ungkapan Soe Hok Gie kecil saat menjadi murid Sekolah Dasar pada zamannya. Di mana ungkapan ini muncul ketika  ia diperlakukan tidak adil dengan nilai ulangannya tersebab kritik yang dilakukan pada sang guru.

Guru bukan dewa yang selalu benar. Sering kali naluri seorang guru sebagai “guru” menyebabkan arogansi bahwa apa yang dilakukan tak pernah salah. Tugasnya untuk mengajar menimbulkan hasrat bahwa manusia terpintar adalah guru. Sedangkan murid bukanlah kerbau. Kerbau,hanya  hewan suruhan pembajak sawah yang sebagaimana kejam dan apapun perintah sang majikan pasti dilakukan.

Dipukul, dipecut sering kali tak diberi makan begitulah nasib kerbau yang teraniaya. Sama halnya dengan nasib beberapa murid di sekolah. Dengan keegoisan guru, siswa sering kali dianggap manusia dunggu yang mau diperlakukan semena-mena. Dihukum, diperas dengan berbagai iuran dan transfer ilmu yang tak sebanding dengan bagaimana seharusnya.

Beberapa dari kita barangkali pernah menjadi “kerbau” di masa puluhan tahun yang silam ketika masih menjadi seorang murid di sekolah. Berhadapan dengan guru setengah dewa yang menjadikan rotan senjata mengajar. Tak cukup sampai di sana; wajah sangar, memukul pantat serta kepala, melempar penghapus, menggebrak meja dan papan tulis, menjewer telinga dan sumpah serapah lain yang tak sepatutnya dilakukan seorang “guru.”

Faktanya fenomena gila ini tak hanya berlaku di masa lalu. Tapi saat ini, ketika bergabung menjadi relawan pendidikan Sekolah Guru Indonesia (SGI) – Dompet Dhuafa. Bertugas di Indonesia bagian timur, tepatnya di Kepulauan Loloda Kabupaten Tobelo Halmahera Utara – Maluku Utara memberikan banyak gambaran betapa pendidikan primitif yang bodoh masih berlaku di era smartphone ini.

Di mana kekerasan pada anak dan murid masih lekat dengan kehidupan di sini, baik di sekolah tempat mengaji maupun di rumah. Bentakan-bentakan keras dan tak sopan serta pukulan-pukulan rotan mewarnai indahnya masa-masa bermain anak. Kasihan mereka!. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada bagaimana perkembangan psikologis dan kecerdasan anak. Karena pada dasarnya yang dibutuhkan murid bukanlah wibawa seorang guru yang ditakuti dengan siksaan ala mereka. Tapi bagaimana menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi sehingga mereka para murid yang “nakal dan bandel” dapat teratasi tanpa harus ada “penyiksaan”.

Secara psikologis sendiri pukulan dan umpatan-umpatan negatif akan melahirkan traumatik yang tidak baik untuk perkembangan diri murid. Traumatik tersebut bisa berpengaruh bagi sang murid pada masa yang akan datang. Misalnya, ia melakukan hal yang sama ketika tumbuh dewasa mempunyai anak dan murid.

Sehingga jelas dan tepat dikatakan bahwa kekerasan pada anak, penyiksaan, hukuman-hukuman fisik dan mental berpengaruh buruk pada kehidupan murid.

Maka menjadikan mengajar dan mendidik sebagai ibadah merupakan nasihat utama untuk mematahkan ungkapan lama bahwa guru bukanlah dewa yang selalu benar dan murid bukanlah kerbau. Sebab, kualitas murid adalah aset utama yang akan menjadi tolak ukur keberhasilan mengajar dan mendidik seorang guru. Mari, mendidik dengan hati.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Wartawan Inspira TV yang kemudian memutuskan menjadi Relawan Pendidikan Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa. Selama 1 tahun akan mengabdi dan ditempatkan di Kepulauan Loloda Kabupaten Tobelo, Halmahera Utara-Maluku Utara. Lahir di Ciamis bulan Juni 1990.

Lihat Juga

Program Polisi Pi Ajar Sekolah, Pengabdian Polisi Jadi Guru SD dan TK

Figure
Organization