dakwatuna.com – Dampak dari pilihan-pilihan di masa lalu itulah yang biasa disebut dengan hikmah. Sehingga keindahan hikmah itu hadir ketika manusia dapat menggunakan akalnya secara optimal. Kaidahnya sederhana, cukup mengambil pilihan yang memiliki kebermanfaatan paling lama di antara pilihan-pilihan yang ada. Saat itulah manusia bisa mendesain indahnya hikmah.
Inilah yang dilakukan para pendiri bangsa Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, Radjiman Wediodiningrat, Ki Hajar Dewantara, Wahid Hasjim, Agus Salim, dan banyak tokoh besar lainnya. Mereka telah sukses dalam memikirkan model negara yang bermayoritaskan Islam, dalam sebuah padanan kata yang indah bernamakan “Republik Indonesia”.
Apalagi kedahsyatan perumusan dasar negara, yaitu Pancasila. Secara tegas meneriakkan kalimat “ketuhanan yang maha esa”. Kalimat yang meneguhkan ketauhidan umat islam di Indonesia, tetapi tetap merangkul keberagaman umat beragama yang ada. Sehingga dengan mudahnya saat ini, ormas-ormas islam bermunculan untuk meneruskan estafet dakwah Rasulullah saw, yang tidak akan terhenti hingga akhir zaman.
Tampak jelaslah dari cermin kegemilangan para pendiri bangsa Indonesia akan makna kepemimpinan dalam kebermanfaatan. Dan seharusnya cermin tersebut menjadi pelecut umat untuk semakin giat berdakwah. Apalagi kepedulian para pendiri bangsa jua, membuat Indonesia masih menjadi negara dengan pemeluk muslim terbesar di dunia. Di sini justru kekuatan kepemimpinan dalam kebermanfaatan itu semakin jelas terlihat. Pukulan awalnya tidak terasa, tetapi kenikmatannya dirasakan orang hingga berpuluh-puluh tahun, hingga lintas generasi.
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: