Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Titik-Titik Kecil Antara Aku dan Tarbiyah

Titik-Titik Kecil Antara Aku dan Tarbiyah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (anixmw11.wordpress.com)
Ilustrasi. (anixmw11.wordpress.com)

dakwatuna.com – Dulu aku merasa biasa-biasa saja ketika bertemu dengan komunitas itu. Komunitas yang diisi oleh para wanita shalihah berjilbab lebar dan pria shalih berjenggot itu. Di mata aku, awalnya mereka tidak pernah terlihat mengagumkan, tetapi juga tidak pernah terlihat menyebalkan. Penampilan mereka biasa saja. Bahkan ada dan tidak adanya mereka sepertinya tidak membawa dampak apapun bagi saja. Itu dulu, dahulu ketika aku belum tahu tentang mereka, ketika tidak tahu siapa mereka, tidak tahu orang macam apa mereka itu.

Dimulai dari peristiwa-peristiwa kecil dan sesaat namun sering yang membuatku mengenal mereka. Peristiwa sesaat namun sangat berkesan di hati dan pikiran. Hingga suatu saat aku pernah bertanya dalam hati, “mereka itu orang yang seperti apa sih?” Padahal sudah bertahun-tahun lamanya orang-orang seperti mereka berkeliaran di sekitarku. Menjadi tetangga, menjadi kerabat, bahkan ada yang menjadi sahabat.

Kurasakan keberadaan mereka yang pertama kali dalam hidup ini adalah saat melihat tayangan berita sekilas di televisi, di mana dalam berita itu, secara sekilas, hanya beberapa detik, namun mampu menawan hatiku. Bagian dari mereka yang menjadi salah satu pejabat negara saat itu. Beliau yang saat itu menjadi pejabat di tingkat pusat dengan sopan dan tegas menolak berjabat tangan dengan pejabat wanita dari negara lain, yang notabene wanita itu memang bukan mahramnya. “Masya Allah, sungguh mengagumkan, rupanya masih ada orang yang menghargai wanita” batinku. Ternyata masih ada pria yang shalih dan sopan yang mengisi pos-pos strategis di bidang politik, bidang yang selalu ku anggap sebagai dunia hitam sebagaimana dunia malam (dunia malam dalam tanda kutip). Dari situ aku tahu bahwa beliau bagian dari komunitas itu.

Kekagumanku pada mereka berlanjut setelah bertemu kembali dengan kerabat yang sudah lama tak bersua. Penampilannya nampak santun, dengan rok panjang, baju panjang, dan jilbab yang lebar. Sikapnya pun menggambarkan penampilannya yang santun. Dengan sikap yang menurutku paling ramah dan paling santun (bagiku saat itu), dia menemui aku sebagai kerabatnya dan sebagai tamu di rumahnya. Menyambut dengan senyum berkembang dan antusias yang meluap, seolah-olah kedatanganku merupakan penghargaan terbesar baginya. Dia siapkan segalanya untuk tamunya, semua, semua yang ku minta dan ku butuhkan selaku tamu, termasuk buku bacaan yang tak pernah absen ditinggalkan di kamar tempatku menginap. Sungguh, berada di tempat itu membenarkan ungkapan “tamu adalah raja”. Saat di kamar, tanpa sengaja ku temukan kalender bergambar orang berjenggot, dan dari situ aku tahu bahwa, kerabatku juga bagian dari komunitas itu juga.

Karena kebiasaanku meminjam buku dari siapapun yang ku kenal saat aku melihatnya membawa buku yang menarik perhatianku, membuatku semakin menyelami dunia komunitas itu. Secara kebetulan, beberapa kerabat yang kuliah di U*S dan I*S memiliki novel dan buku non fiksi yang secara tak langsung mengenalkanku pada dunia mereka. Buku-buku yang juga ditulis oleh orang-orang yang berada di dalam komunitas tersebut dan oleh orang-orang yang simpatik terhadap mereka.

Selang beberapa bulan dari bertemunya aku dan kerabatku, aku bertemu dengan mereka, dengan komunitas kecil dari komunitas itu. Komunitas yang baru mencuat dan kurasakan keberadaannya setelah aku keceplosan menyebut kata “rohis” pada salah seorang kakak kelas yang bagian dari komunitas itu. Dan dari keceplosan itulah beliau menunjukkan kepada saya komunitas ashabul furqon yang sampai sekarang masih saya ingat. Sayangnya, saat itu aku ikut kegiatan dari banyak organisasi, sehingga aku belum masuk ke dalam komunitas tersebut. Dari salah seorang teman satu daerah juga telah ku kenal kehebatan mereka, yang mampu mengubah anak yang menyebalkan menjadi santun. Teman yang dulu sangat usil, tengil, dan menyebalkan bagiku, tahu-tahu menjadi teman yang sopan dan suka menolong. Eh, bukan mereka yang mengubah, Allah yang mengubah temanku itu, mereka adalah perantaranya.

Hingga tepat pada Ramadhan pada delapan tahun yang lalu aku memutuskan untuk bergabung dengan komunitas itu. Semangat untuk bermetamorfosis menjadi pribadi yang lebih baik, dengan teman-teman yang saling mendukung dalam kebaikan, akan menjadi akselerasi bagi diri ini untuk berubah. Bukan karena masuknya aku di situ membuat komunitas itu menjadi istimewa, namun aku merasa menjadi istimewa telah tergabung di komunitas itu. Komunitas yang berisi orang-orang yang ingin menjadi baik, bukan orang yang merasa sudah baik. Komunitas yang diisi oleh orang-orang yang ingin menyucikan diri, bukan orang-orang yang merasa suci.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumni dari Pendidikan Matematika UNESA. Aktif di LDK Unesa dan BEM selama mahasiswa. Berprofesi sebagai Tutor di Matematika Akhlaq, penulis lepas, dan pengusaha olshop.

Lihat Juga

Kaderisasi Pemuda: Investasi Tegaknya Agama

Figure
Organization