Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / Pesona Cinta Masjid Nabawi

Pesona Cinta Masjid Nabawi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Cover buku "Pesona Cinta Masjid Nabawi".
Cover buku “Pesona Cinta Masjid Nabawi”.

Judul: Pesona Cinta Masjid Nabawi

Penulis: Inayatullah Hasyim

Penerbit: Rumah Adib – Bogor

Tebal: 210 Halaman.

 

Ketika Cinta Seputih Kain Ihram

dakwatuna.com – Anisa, gadis mandiri nan cantik jelita, berkesempatan menunaikan ibadah umrah. Dalam perjalanan umrah yang singkat itu, ia mendapati begitu banyak pesona cinta; baik saat di Madinah ataupun di Makkah.

Pesona cinta itu telah membuatnya tertegun. Seperti saat Abu Bakar ditanya tentang Rasulullah, Abu Bakar menjawab, “Kupandangi al-Mustafa dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Tahukah kalian, apa yang menjelma? Cinta!”. Demikian halnya Bilal bin Rabah yang berjanji tak akan lagi kumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat semata karena ia tak mampu mengenang wajah yang penuh cinta.

Anisa terhenyak, hingga ia pun menulis, “Kini, aku benar-benar dalam pilihan sulit. Nael al-Zaydan –sosok tampan- di Madinah; dan Mas Idil –sosok mempesona- di Makkah. Ya Allah bimbinglah aku dalam menentukan pendamping hidupku. Jadikanlah umrah-ku sebagai umrah yang makbul hanya karena-Mu. Dan dua laki-laki ini adalah “bonus” untuk shalat istikharahku.”

Kekuatan novel ini, saya kira, pada kemampuan penulis mengekplorasi sejarah nabi (sirah nabawiyah) untuk dipadukan dengan kisah romantis perjalanan hidup seorang anak gadis bernama Anisa.

Dalam testimoninya, ustadz Samson Rahman, penerjemah buku fenomenal Laa Tahzan, menulis, “Membaca novel karya saudara Inayatullah Hasyim dengan judul Pesona Cinta Masjid Nabawi seakan kita diajak menjelajahi lorong-lorong sejarah Rasulullah dan jejak-jejak mulia perjalanan hidup beliau, tanpa terasa.”

Lebih jauh, ustadz Samson Rahman mengatakan, “Bagi saya novel ini adalah sebuah kebangkitan baru novel religi dengan seting tempat, Masjid Nabawi dan Mekkah, yang beberapa lama tidak diambil oleh para penulis novel lainnya. Saya teringat pada novel tak lekang Hamka Di Bawah Lindungan Ka’bah yang hingga kini masih enak dibaca. Semoga saya tak berlebihan jika saya katakan, bahwa novel ini, melanjutkan tradisi cemerlang Hamka. Hadirnya novel ini, terasa Hamka muda hadir di tengah kita.”

Novel ini singkat dan padat. Hanya 200-an halaman. Pembaca dibuat penasaran dengan akhir cerita. Kelebihan lainnya, novel ini ditulis di sela-sela waktu sang penulis menunaikan ibadah umrah. Hal demikian, diakui sendiri oleh penulisnya.

Katanya,  “Alhamdulillah, karya sederhana ini akhirnya hadir juga ke hadapan Anda, para pembaca yang mulia. Gagasan untuk menulis novel ini bermula saat saya menunaikan ibadah umrah, Januari 2014. Suasana kota Madinah yang dingin, tertib dan penuh pesona membuat daya imajinasi saya tumbuh, merantau jauh ke zaman Rasulullah dan para sahabatnya. Kita tahu, Madinah adalah contoh peradaban yang mengedepankan nilai-nilai humanisme sebenarnya. Bukankah Rasulullah pernah berkata, “Sebaik-baik zaman adalah zamanku.” Ya, zaman ketika beliau sering berkata pada Bilal, “Rehatkanlah kami dengan kau (kumandangkan) shalat (azan).” Keterbatasan waktu dan keterikatan dengan agenda perjalanan umrah membuat perjalanan cinta Nisa berliku. Riuh rendah dalam gelombang harapan kepastian dan kemurnian getarannya.”

Bagi saya, novel ini bagaikan kisah cinta yang putih, bukan seputih salju. Tetapi seputih kain ihram sebab ia mulai tumbuh saat berada di tanah suci. Dan semoga buku kecil ini bermanfaat dan memotivasi kita semua untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Lihat Juga

Sucikan Hati dan Sebarkan Kebaikan

Figure
Organization