dakwatuna.com – Mesir. Rapat kabinet kudeta yang dipimpin PM Ibrahim Mehleb pada Kamis sore, 3 April 2014, memutuskan penetapan UU pemberantasan terorisme yang baru dan mengajukannya kepada Presiden Kudeta Adly Mansour untuk disahkan sebelum diberlakukan secara resmi.
Dalam hal ini, UU ini disusun dan disahkan hanya berselang satu hari setelah peristiwa pengeboman kantor polisi di depan Universitas Cairo pada 2 April lalu.
Hal yang menonjol dari UU baru ini adalah memperberat hukuman pelaku terorisme hingga tingkat hukuman mati yang dikenakan kepada orang yang didakwa terlibat dalam pembentukan kelompok teroris atau bergabung menjadi anggotanya.
Selain itu, UU yang baru juga mengatur pembentukan pengadilan tersendiri untuk tindak kejahatan terorisme, yang dipisahkan dari pengadilan tindak pidana lainnya, serta amandemen UU Acara Pidana Mesir khususnya terkait pasal yang mengatur pemberantasan kejahatan terorisme..
Direktur Pusat Studi Politik, Hukum, dan HAM di Cairo, Ahmad Mahran, dalam wawancara dengan Aljazeera menyatakan UU tersebut mengandung pasal-pasal yang bertentangan dengan konstitusi dan dapat digugat untuk dibatalkan
Menurutnya, memperberat hingga tingkat hukuman mati bagi terdakwa tampak bertujuan untuk memberangus para aktivis Islam dan mengeluarkannya dari percaturan politik Mesir.
Lebih lanjut, Mahran menyatakan bahwa UU Anti Terorisme yang baru tidak lain dan tidak bukan hanyalah nama lain dari UU Darurat (Emergency Law) yang diterapkan pada zaman Mubarak.
UU tersebut menjadi payung hukum bagi polisi untuk menangkap orang atau membubarkan kegiatan yang dicurigai terkait aksi terorisme atau membahayakan keamanan negara serta memperbolehkan warga sipil untuk diadili di hadapan pengadilan militer.
UU tersebut hingga Mubarak digulingkan masih diberlakukan setelah diamandemen atas desakan masyarakat Mesir dan internasional karena menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan melegalisir berbagai pelanggaran HAM terhadap warga negara, baik fisik, psikis, maupun harta kekayaan pribadi/organisasi.
UU Darurat sebagaimana dimaksud kemudian dibekukan pada zaman pemerintahan Presiden Muhammad Mursi. (aljazeera/rem/dakwatuna)
Redaktur: Rio Erismen
Beri Nilai: