Topic
Home / Pemuda / Essay / Antara Harapan dan Kenyataan, Golputkah yang menjadi Pilihan??

Antara Harapan dan Kenyataan, Golputkah yang menjadi Pilihan??

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: imageshack.us)
Ilustrasi. (Foto: imageshack.us)

dakwatuna.com – Pemilu itu yang enak ya… “yang di coblos” saja, bukan buat kita yang “nyoblos”.

Pernyataan segelintir orang, termasuk saya sendiri melihat nasib negeri ini yang tak membaik juga. Negeri yang penuh dengan politik kotor, entah apa sebenarnya yang diperjuangkan para penguasa itu. Timbunan kata tanpa makna, janji-janji tanpa bukti, yang kita butuhkan adalah PEMIMPIN bukan PEMIMPI!

Pembiaran atas berjalannya proses yang salah akan tetap berlangsung, itu terjadi bisa karena rakyat tak mampu menilai perilaku kekuasaan secara rasional atau tak berdaya karena kekuasaan busuk terlalu kuat.

Yup! Lebih tepat politik menjadi kotor bukan karena banyak orang jahat di dalamnya tetapi sedikitnya orang baik yang mau terlibat di dalamnya.

Coba lihat, banyak tokoh-tokoh yang di eksploitasi dengan berbagai jurus, salah satunya eye-ear catching (tangkapan mata-telinga). Jurus ini yaitu pembentukan citra pribadi si calon penguasa mulai dari memperlihatkan bahwa si doi peduli terhadap rakyat, turun ke jalan-jalan, religius, ada juga yang tiba-tiba dadakan jadi pemain sinetron, media yang menjadi senjata sampai acara-acara hedon-pun dijadikan ajang pembentukan citra. Cerdasnya kumpulan ibu-ibu PKK di kampung-kampung dijadikan peluang dengan memperlombakan ‘yel-yel ‘ mengagung-agungkan partainya dengan membagikan UANG door-prize. Padahal jelas saya bilang itu ‘AJANG KAMPANYE UANG’ bukan ‘AJANG LOMBA BIASA’. Berapa uang yang dihabiskan? bang Ario bilang sungguh ketegaan yang mengagumkan!

Belum lagi tikus-tikus koruptor merajalela, seperti hama tikus penyerang padi yang saat ini belum ada obat ampuh untuk membasminya, sama halnya dengan membasmi tikus koruptor bukan lagi hukum negara, cambuk apalagi hukum agama yang ada hukum matematika ‘KONG X KONG = 0’ Jadi IMPAS selesailah segala urusan.

Sulit memang buat tahu hal-hal  yang perlu diketahui buat memilih, tapi apakah golput yang akhirnya menjadi pilihan?

Kalau yang naik ke panggung negara orang salah, ya yang milih juga salah. Nah, berarti yang kita pilih otomatis harus benar atau berakhlak. Tapi ngomong-ngomong  tentang akhlak, kan lebih susah tuh milihnya karena kita gak tahu akhlaknya si calon gimana. Betul juga sih, tetapi saya rasa ukurlah apa yang bisa diukur dan buatlah apa yang tak bisa diukur jadi terukur, akhlak memang tidak bisa diukur tapi perilaku bisa.

“Nurani yang baik akan mengarahkan untuk berbuat baik dan nurani yang jahat akan sebaliknya… batas benar dan salah adanya di akal budi, bukan di masyarakat … orang takkan bahagia bila melanggar batas norma nuraninya, tapi tak berarti bahwa orang yang nuraninya baik takkan pernah bersalah… pernah, manakala dia tak tahu yang lebih benar, karena itu janganlah pernah berhenti belajar.” (Socrates)

Jadi, mau dia jadi preman, pelajar, gubernur, bahkan yang tahtanya jadi presiden atau orang alim sekalipun kalau nuraninya jahat tetap saja jahat. Kata bang Ario Jabatan, kepinteran, ijazah, profesionalisme itu ibarat pestol, manfaat dan mudaratnya bagi bangsa tergantung nurani si pemegang pestol. Pestol bisa buat melawan perampok, tapi bisa juga buat ngerampok. nah ini yang dimaksud moral.

“Jiwa besar ada di diri seseorang yang dalam keyakinannya dia tak memuji, memilih, dan mengejar apapun kecuali kehormatan, tak tunduk oleh manusia, hasutan jiwa dan kekayaan. Jiwanya takkan goyah oleh rasa takut, keserakahan, keinginan kejayaan dan mampu menghadapi kesulitan-godaan.” (Cicero)

Ini yang dinamakan Kebesaran Jiwa, nurani yang berani menanggung risiko ketika melihat ketidakbenaran di depannya.

Berbicara tentang Perubahan, sebenarnya apa dan untuk siapa perubahan itu?

Diibaratkan mobil di ganti ban terbuat dari emas, ban nyentrik bentuk bintang mewah dipandang, tahan meletus dan gundul percuma kalau gantinya “nggak pakai pola pikir yang benar”. Begitupun dengan negeri kita ini, gantilah penguasa dengan pilihan kita yang BENAR.

Jadi, kalau ingin memperbaiki negeri, bukan golput yang menjadi solusi.  Kalau tidak ada yang memilih, siapa yang mengawali perubahan itu? Jika kita ingat perbedaan antara orang yang bodoh, masa bodoh dan membodohi. Orang bodoh IQ-nya kurang, salah terus, kalau masa bodoh orangnya cuek tidak peduli, kekuasaan di tangan mereka bisa gawat. Tetapi di tangan orang yang membodohi negerinya, bukan hanya bisa tapi pasti negeri ini ‘hancur lebur’. Membodohi berarti memanfaatkan kebodohan dan ketidaktahuan orang lain. Masih tidak pedulikah dengan negeri ini? Masih relakah panggung itu di isi orang yang bodoh, masa bodoh bahkan membodohi?

Kalau saya tentu saja TIDAK AKAN RELA.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Rahayu Fitri Indriyani, biasa dipanggil Ayu atau Pipit, Mahasiswi IPB dan aktif di Organisasi kampus dan sekarang aktif di Pusat Komunikasi Nasional Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus Indonesia (FSLDKI) sebagai sekretaris Komisi D bidang Media dan Humas. Penyuka seni seperti teaterikal, menggambar sketsa, dan salahsatunya adalah menulis khususnya Puisi. Dan sangat mengagumi tulisan Salim A Fillah dan Anis Matta.

Lihat Juga

Harapan Masih Ada

Figure
Organization