Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Memaknai Adabul Isti’dzan Sebagai Cerminan Iman

Memaknai Adabul Isti’dzan Sebagai Cerminan Iman

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (ist)
Ilustrasi. (ist)

dakwatuna.com – Mari sejenak kita berhenti dan menyelami kedalaman ayat-ayat Allah di Qur’an surat An-Nuur ayat 62-63 tentang sebuah cerminan keimanan yang bisa jadi kita melalaikannya sebagai seorang manusia dan da’i. Tentang sebuah kaidah sederhana namun penting dalam ‘amal islami. Pembelajaran langsung dari Allah tentang adab isti’dzan, yang termasuk ke dalam sebahagian kecil dari prinsip indibath (kedisiplinan) dan ketaatan dalam berjamaah.

Di dalam ayat 62-63 Quran Surat An-Nuur, Allah berfirman: “Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsurangsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa Ayat tersebut adalah pelajaran dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Sebagaimana Allah telah memerintahkan untuk meminta izin ketika hendak meninggalkan majelis dan tidak membubarkan diri sebelum mendapatkan izin dari Rasulullah. Itulah pengajaran Allah tentang adabul isti’dzan.

Kaidah ini termasuk ke dalam salah satu kaidah yang amat penting dalam konteks ‘amal islami. Kaidah yang penting dalam ‘amal islami, terutama dalam ‘amal jama’i atau amal kolektif yang memerlukan bersatu-padunya antar elemen di dalamnya, yakni pemimpin (qiyadah), yang dipimpin (jundi) dan sistem (manhaj). Sehingga hadirnya kaidah ini adalah sebagai indikator keberjama’ahan sekaligus ujian bagi seorang jundi dalam berjamaah.

Dalam ber-amal jama’i, ada kalanya seorang qiyadah memerintahkan suatu perintah kepada jundi-nya. Dan kaidah ideal yang harus semestinya dilakukan oleh seorang jundi pada kesatuan jamaah yang baik adalah sami’na wa atho’na. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu, sangatlah mungkin seorang jundi mendapatkan halangan (udzur) dalam memenuhi perintah dari sang qiyadah. Oleh karenanya di sinilah pentingnya adabul isti’dzan.

Adabul isti’dzan adalah sebuah cerminan dari ketaatan seorang jundi pada qiyadah-nya. Ketaatan jundi pada qiyadah dalam suatu instruksi yang diberikan, ketika menemui suatu udzur dalam pemenuhannya. Semakin baik seorang jundi dalam menyampaikan izin terhadap suatu perintah menandakan seberapa taatnya seorang jundi pada qiyadahnya.

Lantas, seperti apa penyampaian izin yang baik itu? Mari kembali kita memaknai kutipan ayat-Nya dalam Qur’an Surat An-Nuur ayat 62 dan 63. Pada ayat tersebut, terdapat beberapa poin penting tentang adabul isti’dzan. Poin-poin penting tersebut antara lain:

Pertama, sampaikanlah izin kepada seorang qiyadah ketika hendak meninggalkan suatu pertemuan atau majelis. Poin ini menunjukkan betapa pentingnya izin itu disampaikan ketika dalam memenuhi suatu pertemuan atau juga bisa diartikan sebagai sebuah perintah dalam jamaah menemukan suatu halangan atau udzur. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan pada qiyadah dan pada pertemuan atau perintah itu sendiri.

Kedua, adalah hak seorang qiyadah untuk memberikan izin kepada yang mengajukan izin. Seorang qiyadah berhak untuk memberikan izin kepada yang mengajukan dengan mempertimbangkan beberapa hal. Seorang qiyadah hendaknya mencermati apakah udzur yang berkenaan dengan pengajuan izin tadi termasuk ke dalam udzur yang syar’i atau tidak. Maksudnya, apakah udzur yang dimaksud karena ada satu hal penting syar’i yang hendak dipenuhi terlebih dahulu atau tidak. Dan timbangan yang hendaknya dipakai dalam menilai ini adalah dengan menggunakan timbangan fiqh prioritas dalam ‘amal islami.

Ketiga, seorang qiyadah hendaknya memohonkan ampunan kepada Allah terhadap mereka yang dikabulkan perizinannya. Ini adalah sebagai bentuk bahwa sesungguhnya seorang qiyadah hendaknya dapat menghargai kepentingan mendasar seorang jundi ketika kepentingan mendasar seorang jundi harus didahulukan daripada perintah dari sang qiyadah tersebut.

Dan keempat, jundi yang hendak meninggalkan pertemuan atau majelis tidak meninggalkan pertemuan atau majelis yang dimaksud sebelum keluar izin dari sang qiyadah. Inilah titik kritis dalam adabul isti’dzan. Maksudnya, ketaatan seorang jundi dalam suatu jamaah bisa dilihat. Apabila seorang jundi sudah meninggalkan pertemuan sebelum keluar izin dari qiyadah, maka ia adalah sebahagian dari mereka yang tidak taat.

Seperti itulah Islam mengajarkan tentang adabul isti’dzan. Keberadaan kaidah ini bukanlah dalam rangka mempersulit gerak suatu jamaah atau kelompok. Keberadaan kaidah ini bukan pula dalam rangka membentuk iklim prosedural birokratif yang njelimet dalam berjamaah atau berkelompok. Namun kaidah ini ada untuk menunjukkan bahwasanya Islam mengajarkan untuk taat kepada qiyadah dan menghargai suatu perintah dari seorang qiyadah.

Dan yang lebih penting lagi adalah adabul isti’dzan sebagai cerminan dari keimanan kita, seperti yang jelas tersampaikan di ayat tersebut bahwa orang-orang yang meminta izin kepada Rasulullah (saat itu) adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karenanya, dari sini kita semestinya bisa mengambil suatu ibrah yang amat berharga bahwa cerminan keimanan bisa dilihat dari banyak pengejawantahan dalam keseharian kita, termasuk di dalamnya ketika meminta izin dalam suatu pertemuan atau majelis. Semoga kita termasuk orang-orang yang terjaga untuk selalu melazimi adab dan kaidah dalam berjamaah. Allahu a’lam.

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (4 votes, average: 9.50 out of 5)
Loading...
Supervisor PPSDMS NF Reg III Yogyakarta.

Lihat Juga

Keimanan Adalah Keberpihakan

Figure
Organization