Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Arti Sebuah Shalawat dan Taslim

Arti Sebuah Shalawat dan Taslim

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

(Q.S. Al-Ahzab [33]: 56)

dakwatuna.com – Saya yakin di antara para pemerhati tema-tema agama ada yang pernah memikirkan makna shalawat dan taslim kepada baginda Rasulullah Saw yang juga sudah sejak lama mengusik benak saya. Jawaban saya dan boleh jadi itu juga jawaban Anda sungguh sangat sederhana, yaitu karena Rasulullah Saw telah membimbing kita keluar dari alam jahiliah yang penuh dengan kegelapan maksiat menuju alam islami yang penuh dengan nilai-nilai hidup yang didasari oleh iman dan taqwa. Jawaban ini benar dan tepat, namun kewajiban bershalawat terhadap Rasulullah Saw bagi para pecinta hakikat-hakikat agama punya makna yang jauh lebih dalam dari apa yang mungkin saya dan Anda telah pikirkan. Olehnya itu, saya mengajak Anda sekalian memberikan pemaknaan yang kedua kalinya dengan menelusuri ruang-ruang makna yang diperlihatkan oleh para perindu Rasulullah Saw. Tetapi, sebelumnya itu saya mengajak Anda sekalian melihat hukum shalawat itu sendiri dari apa yang disimpulkan oleh Jarullah Az-Zamakhsyari dan Syekhul Islam Abu Suud, keduanya berkata:

“Firman-Nya: (صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلَّمُوْا), artinya: doa untuk baginda Rasulullah Saw supaya Allah merahmati dan memberikannya keselamatan. Jika Anda berkata: “Shalawat kepada Rasulullah Saw, apakah wajib atau sunnah?” Jawabku: “Ia wajib.” Namun, mereka berbeda pendapat terhadap derajat kewajiban tersebut. Di antara mereka ada yang mewajibkannya setiap kali ia disebut dan didengar. Dalilnya hadits yang mengatakan:

(مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ، فَدَخَلَ النار، فَأَبْعَدَهُ اللهُ). 

“Siapa yang tidak bershalawat kepadaku di saat aku disebutkan di sisinya kemudian masuk neraka, maka Allah akan menjauhkannya dari rahmat-Nya.”([1])

Di antara mereka ada yang mewajibkannya sekali dalam setiap majelis, meskipun berulang kali shalawat diucapkan, seperti masalah ayat sajadah dan doa terhadap orang yang bersin. Di samping itu, ia wajib disebutkan di awal dan akhir pada setiap doa. Di antara mereka ada pula yang mewajibkannya sekali seumur hidup, seperti masalah syahadat. Hematnya, yang paling tinggi tingkat kehati-hatiannya adalah mereka yang mewajibkan shalawat di setiap kali nama baginda Rasulullah disebutkan seperti yang tercantum di pelbagai hadits.”([2])

Kini, Anda diajak memberikan telaah lebih jauh lagi dari kewajiban umat bershalawat kepada baginda Rasulullah Saw. Hematnya, kita wajib bershalawat kepadanya karena ia senantiasa memberi tuntunan hidup dan isyarat-isyarat kehidupan, kejayaan dan keruntuhan umat ini, meskipun ia telah kembali ke rahmat Allah SWT.

Tentunya, di antara pilar-pilar kejayaan umat ini menghidupkan sunnahnya dalam bentuk amalan-amalan fiqih. Olehnya itu, dengan izin Allah Rasulullah Saw hadir dalam mimpi Imam Abu Hanifah R.A memberikan isyarat tersebut.

Diriwayatkan: Imam Abu Hanifah R.A di usia mudanya pernah mengunjungi Imam Ibn Sirin R.A dan berkata kepadanya: “Saya melihat dalam mimpi sesuatu yang menjadikan aku takut sekali.” Ia mengatakannya dengan nada yang sangat menyedihkan. Imam Ibn Sirin bertanya: “Apa yang Anda lihat?” Ia pun menjawab: “Saya melihat diriku menziarahi kubur Rasulullah Saw dan turun di dalamnya, saya mendapatkan Rasulullah Saw dalam keadaan tulang-belulang kemudian saya mengumpulkannya.” Ibn Sirin berkata kepadanya: “Itu artinya, sesungguhnya engkau akan mengumpulkan sunnahnya.” Dan itu benar-benar terjadi.”([3])

Di lain sisi, umat menyepakati bahwa kesucian dan kehormatan sahabat-sahabat Nabi Saw harus dijauhkan dari wacana-wacana kotor. Olehnya itu, dengan izin Allah Rasulullah Saw hadir di mimpi khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menyatakan hal tersebut.  Beliau berkata: “Saya melihat dalam mimpi Rasulullah Saw, sementara itu Abu Bakar dan Umar R.A hadir bersamanya, saya pun memberi salam dan duduk, tiba-tiba datang Ali dan Muawiyah R.A, keduanya dituntun masuk ke dalam sebuah rumah, kemudian ditutup. Saya melihat yang pertama kali keluar adalah Ali R.A dan berkata: “Demi Tuhan Ka’bah, Allah membenarkan aku,” kemudian keluar Muawiyah R.A dan berkata: “Demi Tuhan Ka’bah, Allah telah mengampuniku”. ([4])

Hematnya, setiap dari mereka telah mendapatkan penyucian langsung dari Allah SWT dari tuduhan-tuduhan tidak benar setelah mereka diseret oleh fitnah politik ke dalam peperangan yang memakan korban jiwa umat Islam sendiri dari kedua belah pihak.

Selain itu, sendi-sendi peradaban umat ini di antaranya dibangun dengan adanya upaya menjauhkan hadits-hadits Rasulullah Saw yang sah dari yang lemah dan palsu. Olehnya itu, dengan izin Allah Rasulullah Saw hadir dalam mimpi Imam Bukhari memberikan sinyal keurgensian terhadap sendi ini.

Diriwayatkan: Imam Bukhari bergegas mengumpulkan hadits-hadits shahih Rasulullah Saw setelah melihat dirinya dalam mimpi sedang mengusir lalat dari wajah Rasulullah Saw dengan kipas. Salah seorang dari ahli mimpi menafsirkan mimpinya bahwa itu adalah pertanda dirinya akan mengusir kebohongan dari sunnah Nabi Saw.([5])

Rasulullah Saw juga terlihat jatuh sakit dalam sebuah mimpi yang mengisyaratkan kelemahan umat pada saat itu. Seperti yang diriwayatkan Ibn Qayyim al-Jauzi dari Abu al-Qâsim as-Samarqandi, ia berkata: “Saya melihat Nabi Saw dalam sebuah mimpi membentangkan kakinya seperti orang yang sedang sakit, saya masuk dan mencium kedua telapak kakinya. Setelah terbangun saya pun menceritakan mimpi ini ke Abu Bakar bin al-Khâdibah, ia berkata: “Bergembiralah wahai Abu al-Qâsim! Anda akan dianugerahi nikmat umur panjang dan Anda pun akan menjadi salah satu penyebar hadits-hadits Rasul Saw. Sesungguhnya dengan mencium kakinya pertanda bahwa Anda akan mengikuti jejaknya. Adapun kondisi sakit Nabi Saw sesungguhnya itu tanda kelemahan yang tengah menggerogoti umat ini.” Baru saja ia selesai mengucapkan ini, tiba-tiba terdengar bahwa bala tentara asing telah menaklukkan kota Baitul Maqdis.”([6])

Di antara makna-makna yang diisyaratkan mimpi-mimpi di atas bukti kuat yang menegaskan pentingnya shalawat. Keurgensian ini telah dipaparkan oleh Ustadz Said Nursi seperti berikut:

“Jika Anda bertanya: “Apa hikmah banyaknya shalawat dan taslim yang dianjurkan kepada Rasulullah Saw?” Saya menjawab: “Sesungguhnya shalawat itu jalan kebenaran (hakikat), meskipun ia telah mendapatkan karunia rahmat yang paling tinggi, tetapi ia memperlihatkan dirinya butuh kepada shalawat. Yang demikian itu karena Rasulullah Saw punya keterkaitan dengan kepedihan dan kegembiraan seluruh umat, dan karena hubungan maknawinya terhadap kebahagiaan umat yang tidak terkira dan senantiasa langgeng sepanjang zaman, ia memperlihatkan dirinya butuh kepada shalawat.

Di lain sisi, Rasulullah Saw seorang hamba dan rasul pada waktu yang sama. Olehnya itu, ia butuh shalawat dilihat dari sisi kehambaan, dan butuh taslim dilihat dari sisi kerasulan. Yang demikian itu karena kehambaan berangkat dari makhluk ke Allah yang Maha Pencipta supaya mendapatkan limpahan rahmat dan cinta, sementara itu shalawat mengoleksi makna ini. Adapun kerasulan itu sesungguhnya ia berangkat dari Allah yang Maha Pencipta ke makhluk, tentunya ini menghendaki keselamatan dalam menerima misi dan keberhasilan mengembannya, sementara itu taslim mengoleksi makna tersebut.”([7])

Pernyataan senada juga dijumpai di penafsiran Syekh Sya’rawi terhadap ayat di atas yang dikupasnya secara panjang lebar, beliau berkata:

“Kita bershalawat dan bertaslim kepada Rasulullah Saw karena dia mendatangi umatnya dengan membawa kebaikan, memberi kabar gembira atau peringatan. Beliau sangat peduli dan perhatian terhadap hidayah kaumnya, seperti yang ada di firman Allah SWT:

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (Q.S. At-Taubah [9]: 128)

Rasulullah Saw sedih dan merasa pedih hanya karena seseorang lepas dari genggaman hidayahnya dan keluar dari lingkaran iman, ia senantiasa membebani dirinya muatan-muatan dakwah di luar dari kesanggupannya, di luar dari apa yang wajib ia lakukan, sehingga ia mendapat teguran keras dari firman Allah:

“Maka (apakah) kamu akan mencelakakan dirimu hanya karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada Al-Quran.” (Q.S. Al-Kahfi [18]: 6)

Hanya karena kepedulian Rasulullah Saw yang berlebihan dalam memberikan petunjuk kepada kaumnya, Allah SWT menegurnya. Yang demikian itu karena ia telah menyusahkan dirinya. Teguran itu demi kebaikan Rasulullah Saw. Teguran seperti ini seperti teguran Anda terhadap anak Anda yang terlalu memaksa diri dalam belajar, sehingga Anda pun merasa iba terhadapnya. Di sini Anda tidak menegurnya dari sebuah kesalahan, tetapi dari pekerjaan yang di luar dari kesanggupannya.

Puncak kepedulian ini nampak dari dirinya tatkala Allah menurunkan kepadanya:

)وَالضُّحَى (1) وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (2) مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى (3) وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى (4) وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى(. (Q.S. Ad-Dhuha [93]: 1-5)

Setelah menerimanya Ia menyuguhkannya kepada umat sebagai hadiah rabbani yang amat suci dan mulia, beliau bersabda: “Jadi, saya tidak ridha’ jika salah satu dari umatku di neraka.”

Jika kepedulian Rasul Saw seperti ini, pastinya ia berhak mendapatkan dari kalian shalawat untuknya karena setiap kebaikan yang ia peroleh kebaikan untuk kalian juga. Olehnya itu, Allah berfirman:

)إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا(.

Di sini Shalawat orang-orang mukmin adalah istighfar, dan istighfar mereka bukan untuk Rasulullah Saw, tetapi untuk diri mereka sendiri karena Rasulullah Saw rahmat terhadap mereka. Olehnya itu, selagi beliau adalah rahmat terhadap mereka, maka wajib bagi mereka untuk senantiasa meninggikan derajatnya jika mereka benar-benar ingin beristighfar; istighfar dari kelalaian terhadapnya atau istighfar dari kelalaian shalawat setiap kali namanya disebutkan.

Orang mukmin jika bershalawat kepada baginda Rasulullah Saw, maka apakah yang ia persembahkan kepadanya dari apa yang ia miliki? Apa yang ada di tangan kita? Olehnya itu, telaah dengan saksama ucapan shalawat Anda kepadanya. Anda tidak mengatakan: “(أُصَلِّي), saya bershalawat.” Tetapi Anda mengatakan: “(اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمََّدٍ, ya Allah bershalawatlah kepada Muhammad, dan bukan dengan (صَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ), Allah bershalawat kepada Muhammad. Di sini Anda memohon dari yang lebih tinggi dari Anda untuk bershalawat kepada Rasulullah Saw. Yang demikian itu karena Anda tidak punya sesuatu yang dapat Anda suguhkan kepadanya sebagai pemberian.

Jadi, shalawat Allah adalah rahmat-Nya, shalawat malaikat adalah doa, dan shalawat orang-orang beriman artinya istighfar.

Olehnya itu Rasul Saw memberitahu sahabat ucapan shalawat yang benar di hadits berikut:

عَنْ مُوسَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّه، كَيْفَ الصَّلَاةُ عَلَيْكَ، قَالَ: (قُلْ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ).

Dari Abu Talhah R.A, ia berkata: “Wahai Rasulullah Saw, bagaimana bershalawat kepada Anda.” Ia menjawab: “Katakan:

(اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ). ([8])

Dan firman-Nya: (وَسَلَّمُوْا تَسْلِيْمًا). Di sini Anda diminta menelaah firman-Nya di permulaan ayat: (إِنَّ اللَّهَ وَملَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الَّبِيِّ) dan tidak mengatakan: (وَيُسَلِّمُوْن), dan tatkala orang-orang mukmin diperintahkan Allah SWT berfirman: (صَلُّوْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا), di sini Dia menambah: (وَسَلَّمْوا تَسْلِيْمًا).

Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang demikian itu karena shalawat kepada Rasulullah Saw tidak punya nilai di neraca amal baik, kecuali dibarengi dengan taslim terhadapnya, artinya taat dan tunduk terhadap sabdanya, menyerahkan diri Anda sepenuhnya kepadanya. Karena jika tidak seperti itu, bagaimana Anda bershalawat kepadanya, sementara Anda mendurhakai perintahnya? Bukankah Allah SWT berfirman:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian hati mereka tidak merasa berat terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 65)

Dan di antara ucapan-ucapan taslim: (السّّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ) seperti yang Anda ucapkan di tasyahhud, dan (السَّلاَمُ) itu sendiri salah satu nama dari nama-nama Allah SWT. Dan makna (السّّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ) adalah: semoga Allah SWT memberikan perlindungan terhadapmu, sehingga Anda pun terhindar dari bahaya apa pun.” ([9])

Hematnya, di sana terdapat banyak alasan dan hikmah yang mewajibkan umat Islam bershalawat dan bertaslim kepada baginda Rasulullah Saw. Korek akal kecintaan dan kerinduan kalbu Anda dalam menemukan hikmah-hikmah shalawat dan taslim terhadapnya! Di sana Anda akan menemukan makna-makna keagungan dan kemuliaan yang dikoleksi oleh derajat kenabian dan kerasulannya.

Di akhir tulisan ini saya mengajak para perindu Rasulullah Saw membaca shalawat dan taslim ini setiap kali ingin tidur dan bangun tidur:

(اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ السَّابِقُ لِلْخَلَْقِ نُوْرُهُ، وَالرَّحْمَةُ لِلْعَالَمِيْنَ ظُهُوْرُهُ عَدَدَ مَنْ مَضَى مِنْ خَلقِكَ وَمَنْ بَقِيَ، وَمَنْ سَعِدَ وَمَنْ شَقِيَ، صَلاَةً تَسْتَغْرِقُ الْعَدَّ وَتُحِيْطُ بِالحَدِّ، صَلَاةً لَا غَايَةَ لَهاَ وَلَا مُنْتَهَى وَلَا انْقِضَاءَ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِكَ بَاقِيَةً بِبَقَائِكَ لَا مُنْتَهَى لَهاَ دُوْنَ عِلْمِكَ، وَعلَى آلِهِ وأَصْحَابِهِ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَتِهِ وَأَصْهَارِهِ وَأَنْصَارِهِ، وَسلِّمْ تَسْلِيْمًا مِثْلَ ذَلِكَ، وأَجْرِ يَا مَوْلَانَا خَفِيَّ لُطُفِكَ فِيْ أُمُورِنَا كُلِّهَا وَأُمُوْرِ المُسْلِمِيْنَ). ([10])

 


([1]) Lihat: al-Kasyyâf, vol. 5, hlm. 92, dan Tafsir Abi Suud, vol. 5, hlm. 237

([2]) Hadits riwayat Abu Hurairah R.A di Shahih Ibn Hibbân, bab al-Ad’iyyah, hadits. no: 907, vol. 3, hlm. 188

Syekh Syuaeb al-Arnauth menjustifikasi sanadnya dengan sanad yang baik dan di bab Hak al-Walidain, hadits no. 409, vol. 2, hlm. 140 beliau menjustifikasinya sebagai hadits Shahih li Gairihi.

([3]) Syekh Wâil Muhammad Ramadhân Abu Abiyah ar-RifâI, Allasina Raaw RasulullahSallalahu Alaihi wa Sallam fil Manam wa Kallamuhu, mimpi. No: 367, hlm. 375

([4]) Ibid, hlm. 365

([5]) Lihat: Huda as-Sâri, vol. 1, hlm. 7 (dinukil dari Dr. Saad bin Ăbdullah Alu Hamid, Manâhij al-Muhadditsin, Dar Ulum Sunnah, Riyadh, cet. 1, 1420 H/1999 M, hlm. 11)

([6]) Syekh Wâil Muhammad Ramadhân Abu Abiyah ar-RifâI, Op. Cit, hlm. 252-253

([7]) Al-Malâhiq (Mulhaq Barlâ), hlm. 63

([8]) Hadits riwayat Abu Talhah R.A di Musnad Imam Ahmad, hadits. no: 1396, vol. 3, hlm. 16

([9]) Tafsir Syekh Sya’rawi, vol. 19, hlm. 12142-12144

([10])  Shalawat ini diberitahu langsung oleh Nabi Saw terhadap salah seorang hamba saleh dalam mimpinya. (Lihat: Syekh Wâil Muhammad Ramadhân Abu Abiyah ar-RifâI, Op. Cit, mimpi. No: 463, hlm. 439)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (5 votes, average: 9.40 out of 5)
Loading...
Pensyarah antar-bangsa (Dosen) Fakulti Pengajian Alqur'an dan Sunnah, universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Degree, Master, Phd: Universiti Al-Azhar, Cairo. Egypt

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization