Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kenapa Allah SWT “Memberatkan” Kita dengan Puasa, Tahajud, dan Sedekah?

Kenapa Allah SWT “Memberatkan” Kita dengan Puasa, Tahajud, dan Sedekah?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Berdoadakwatuna.com – Mungkin kita pernah bertanya-tanya, kenapa Allah memberatkan kita, hambaNya, dengan ibadah-ibadah yang menguras tenaga dan terkadang membuat kita menolak secara psikis? Bagaimana tidak, puasa saja, tidak makan tidak minum, sampai 13 atau 14 jam. Tahajud di sepertiga atau dua per tiga malam, bahkan diwajibkan di awal-awal dakwah Rasulullah. Harta yang nyata-nyata milik kita, harus dikeluarkan untuk orang lain. Lalu muncul suatu kalimat dalam pikiran kita, jika begitu, bukankah Allah ingin memberatkan kita sebagai hambaNya?

Tapi kawan, tunggu sebentar, mari kita berhenti sejenak, menyendiri menyepi dari hiruk pikuk dunia ini. Ingatkah kawan, perumpamaan-perumpamaan yang dibuat guru-guru kita sewaktu SD atau SMP dulu? Bahwa sebuah pagar rumah nan indah, mobil nan gagah, jembatan yang kokoh, gedung –gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, sebagian besar konstruksinya terbuat dari besi atau baja? Masih ingatkah kawan, bahwa besi-besi molek itu dulu “disiksa” sebelum menjadi indah menawan? Sang bijih besi dipanaskan hingga berpijar dan meleleh, kemudian dipukul dan ditempa menjadi bentuk-bentuk yang diinginkan tuannya. Jika sang besi tidak mau menerima kenyataan untuk ditempa dan dipanaskan hingga meleleh, akankah ia akan menjadi mobil nan gagah, atau jembatan kokoh itu? Tentu kita sepakat untuk menjawabnya dengan jawaban ‘TIDAK’.

Nah, begitu juga dengan ibadah yang Allah syariatkan kepada hambaNya. Bukan karena Allah benci atau marah dengan kita, bukan karena Ia ingin membuat kita menderita, bukan karena Ia ingin menyiksa kita, melainkan karena Allah sayang, Allah cinta kepada kita.

Ketika sang insan diwajibkan untuk berpuasa satu bulan Ramadhan, di hari yang ke 31, apakah membuat kita menemui ajal? Tidak, bukan? Apakah yang kawan rasakan, ketika mendengar beduk azan Maghrib? Bukankah muncul suatu perasaan bahagia nan dalam di relung hati kita? Indah rasanya, ketika siang hari yang panjang dan panas, berhasil kita taklukkan tanpa mencicipi sedikit makanan dan minuman pun. Apalagi ketika tetes demi tetes, teguk demi teguk air nan sejuk itu membasahi kerongkongan kita, bukankah suatu perasaan bahagia yang muncul? Kini, para ahli pun sepakat, salah satu cara untuk membuang zat racun (detoksifikasi) dalam tubuh kita, salah satunya adalah dengan berpuasa.  Indah bukan? Tidaklah salah Rasulullah bersabda, “berpuasalah kalian agar sehat”.

Kemudian, di keheningan malam, ketika kita tidur nyenyak, melepas penat setelah seharian bekerja keras, Allah perintahkan kita untuk bermunajat padaNya, melaksanakan qiyamul lail (shalat malam). Ia perintahkan kita mengerjakannya di sepertiga atau dua per tiga malam. Di awal zaman Islam didakwahkan Rasulullah, tahajud pun pernah menjadi shalat wajib bagi nabi dan sahabat kala itu. Apa rahasia besar di balik sang tahajud?

Di dalam buku tafsirnya Fi zilalil Qur’an, Sayyid Quthb menerangkan bahwa akan ada perjuangan berat yang akan dijalankan Rasulullah dan para sahabat. Akan ada kerja-kerja besar yang harus dilalui untuk membangun peradaban ini. Akan ada peristiwa-peristiwa besar yang akan dihadapi. Karenanya, terlebih dahulu, Allah latih ‘para tentaranya’ yang akan menjalankan risalah suci ini. Dan, waktu yang tepat adalah di keheningan malam ketika orang-orang memilih untuk menghempaskan diri di kasur-kasur nan empuk. Allah latih dengan suasana hening yang akan meningkatkan tingkat kekhusyuk’an, Allah latih agar secara fisik kita menjadi kuat, Allah latih mental kita untuk menjadi mental pejuang, mental yang mampu menundukkan hawa nafsunya sendiri, agar di siang hari yang panjang, ketika kita berkiprah di lapangan, ketika peristiwa-peristiwa besar itu dihadapi, ketika perjuangan dan kerja- kerja berat nan hebat itu dilaksanakan, kita menjadi siap, siap secara fisik, mental, dan siap spiritual. Mustahil tentara yang bermental daun kering terjun ke lapangan untuk bertarung. Mustahil tentara yang berfisik ‘cangkang telur’ bisa menghadapi semuanya. Apakah pantas, seorang pejuang pembangun peradaban, bermental lemah dan lembek dalam menghadapi tantangan kehidupan? Dan, ketahuilah saudaraku, sebaik-baik waktu latihan yang paling indah itu, adalah ketika seorang hamba mencurahkan semua keluh-kesahnya kepada sang pemilik alam, di waktu malam saat keheningannya menyelimuti dunia yang fana ini.

Lalu, kenapa pula Allah perintahkan kita untuk memberikan sebagian kecil dari harta yang kita punya kepada orang lain?

Kawan, ketahuilah, kita tidak hanya cukup bermental kuat, berfisik tangguh, namun memiliki hati yang kering. Masih ingatkah kawan, konsep hukum Newton yang berbunyi, ‘aksi sama dengan reaksi’? Maka, dalam konsep sedekah, kita terjemahkan menjadi, ‘memberi sama dengan menerima’. Bukankah sedekah, mengajarkan kita akan pentingnya kasih sayang? Bukankah sedekah mencerdaskan emosi kita? Bukankah ketika kita memberi sedekah, otomatis kita menerima, mendapatkan perasaan bahagia yang mewarnai setiap sel-sel tubuh? Bukankah sedekah melapangkan rezeki dan kehidupan kita?

So, saudaraku, ibadah-ibadah yang Allah syariatkan kepada kita, bukanlah untuk memberatkan kehidupan kita, melainkan ibadah-ibadah itu adalah penyebab menjadikan Allah cinta kepada kita. Menjadi penyebab kuatnya fisik, mental, dan menyegarkan hati kita. Membuat kita untuk mampu menghadapi setiap tantangan dalam kehidupan. Bukankah muslim yang kuat, lebih Allah cintai dari muslim yang lemah?

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (11 votes, average: 7.09 out of 5)
Loading...
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Andalas, Padang. Tertarik pada buku-buku sejarah, biografi, dan fiksi.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization