Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Wanita Pengagum Senja

Wanita Pengagum Senja

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Ketika senja mulai menyapa, aku selalu melihat wanita itu duduk sendiri menghadap matahari tenggelam. Tak peduli suasana taman yang riuh maupun ramainya burung berkicau. Mulutnya selalu komat-kamit, seolah-olah dia sedang berbicara pada rumput yang bergoyang di bawahnya. Di tangannya ada sebuah buku kecil.

Sejak sebulan yang lalu, setiap pulang dari kampus, aku selalu memperhatikan wanita itu. Entahlah, seolah-olah dia menjadi pemandangan terbaruku ketika senja datang. Setiap kali melintas, aku seolah-oleh tersihir untuk menatapnya. Dan itu yang terjadi selama satu bulan aku berada di sini.

Wanita itu tidak terbilang muda lagi, kira-kira umurnya tiga puluh tahun. Wajahnya terlihat bersih dan tenang. Dia menggunakan penutup kepala. Seperti teman-temanku yang beragama Islam.

Sejak lahir aku beragama Kristen Protestan tulen. Setiap minggu aku rajin beribadah ke Gereja. Walaupun aku seorang Kristiani, teman-temanku juga banyak yang beragama Islam. Mereka ada yang dengan taat pada ajaran agamanya dan ada juga yang hanya beragama tanpa tahu apa arti agama itu sendiri.

Ini minggu pertama di bulan ke dua. Seperti biasa aku berjalan melewati taman itu. Tapi kali ini bersama Niza. Dia beragama Islam, tapi tidak memakai penutup kepala.

Ngeliatin apa si lo?” tanya Niza.

Nggak kok” jawabku. Aku tak ingin dia tahu kalau aku sedang memperhatikan wanita itu. Bisa-bisa aku diolok-olok karena dia pikir kurang kerjaan.

***

Semakin aku sering melihat wanita itu, semakin aku penasaran dan merasa heran pada diriku sendiri. Wanita itu tetap duduk di bangku di taman itu. Hari minggu yang biasa aku gunakan untuk beribadah kepada Tuhan Yesus, aku ganti dengan duduk di taman, di mana biasanya aku melihat wanita itu duduk.

Hari sudah siang, tapi aku belum melihat wanita itu datang. Akhirnya ku putuskan untuk pulang. Mungkin nanti sore aku datang lagi untuk melihat wanita itu dari dekat.

Ketika aku terlelap dalam tidur siangku, aku dikejutkan dengan jeritan Niza yang baru pulang dari jalan-jalannya.

“Hp lo tu dari tadi bunyi terus” ujar Niza.

Aku pun terbangun. Rupanya kak Prisca. Seniorku di Gereja.

“Kenapa kau tadi tak datang?” tanyanya.

“Maaf kak, aku tadi tidak enak badan” jawabku berbohong. Niza mencibirku. Aku hanya tersenyum.

“Boleh nggak kakak datang ke kosmu hari ini?” tanya kak Prisca.

“Gawat” pikirku. Namun akhirnya ku persilakan saja dia datang.

Dan kini aku sedang duduk berdua di taman dengan kak Prisca. Nampaknya ada hal penting yang ingin dibicarakan padaku.

“Kepala Gereja memintamu untuk mencari mangsa agar mau ikut pada jalan kita” ujar kak Prisca tanpa basa-basi. Terkejut sekali aku mendengarnya.

“Kenapa aku kak yang diminta?” tanyaku.

“Itu adalah jalan dakwah kita” jawabnya. “Tuhan Yesus akan sangat menyayangimu jika kau dapat membawa temanmu masuk pada agama kita. Karena agama kitalah agama yang benar” ujar kak Prisca. Aku hanya diam mencoba mencerna kata-katanya.

“Data yang kakak dapat dari daerahmu, kau adalah seorang aktivis yang hebat. Kau telah berhasil membawa temanmu masuk ke agama kita sejak SMP” ujarnya.

Mungkin dulu aku akan sangat bangga jika mendengar orang membicarakan perihal itu, namun kini, entah mengapa aku menjadi muak sendiri. Aku selalu merasa bersalah ketika aku harus membohongi temen-temanku untuk ikut bergabung bersamaku di agama ini.

***

Aku masih di taman saat kak Prisca pergi. Aku menatap ke arah bangku di mana biasanya wanita itu duduk. Ternyata dia sudah ada di sana, tanpa ku ketahui kapan dia datang. Ku coba untuk lebih dekat memandangnya. Ternyata dia tahu aku sedang memperhatikannya. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum. Aku pun tersenyum kepadanya. Senyumnya yang indah dan wajahnya yang bersih membuat aku ingin lebih dan lebih mengenalnya.

“Sini” ujarnya. Aku pun mendekat ke arahnya dan duduk di samping wanita itu.

“Aku Indri” ujarku mengenalkan diri sambil mengulurkan tangan.

“Aku Khodijah” jawab wanita itu sambil mengulurkan tangannya.

Dalam waktu sekejap kami menjadi akrab. Dia bercerita tentang banyak hal. Tentang senja yang banyak dinikmati manusia. Tentang senja yang selalu memberikan warna terindah. Nampaknya dia sangat menyukai senja.

“Itu apa?” tanyaku, sambil menunjuk pada sebuah buku kecil yang dia bawa. Dia sedikit agak terkejut mendengar pertanyaanku.

“Apa kau bukan orang Islam?” tanya Khodijah. Aku menggeleng.

“Aku Kristen” jawabku. “Apa statusku bermasalah untuk pertemanan kita?” tanyaku.

Dia menggeleng. “Islam itu agama yang menghargai perbedaan” ujarnya. “Ini adalah kitab suci kami, Al-Quran”

“Maaf, setahuku kitab suci kalian berukuran besar”

“Ya. Tapi ada pula yang berukuran kecil agar kami orang Islam lebih mudah membawanya ke mana-mana untuk dibaca dan dihafal”

“Kalian menghafal kitab suci?” tanyaku terkejut. Dia hanya mengangguk. “Apa kau juga menghafalnya?” tanyaku lagi.

“Ya, aku menghafalnya, karena dalam agama Islam orang yang menghafal Al-Quran akan mulia kedudukannya di sisi Tuhan kami, Allah” jawabnya.

Ada sedikit kekaguman dalam diriku pada wanita ini. Tapi aku tak tahu hal apa yang membuatku mengaguminya. Ingin rasanya aku selalu dekat dengan wanita pengagum senja ini, namun waktu senja yang telah berlalu membuat dia harus pergi meninggalkanku yang masih terus mematung menatap kepergiannya.

Dan sejak saat itu aku selalu menemaninya menikmati senja di taman itu.

***

Satu minggu sudah aku pergi meninggalkan kampus, kosan, dan wanita pengagum senja itu tentunya. Aku mendapat tugas menjadi relawan di sebuah kota yang mana terjadi kerusuhan antara umat Kristiani dan umat Muslim di sana.

Sore itu aku tak sabar lagi ingin datang ke taman untuk bertemu wanita pengagum senja itu. Aku ingin bercerita bertapa semangatnya umat-umat Muslim itu ketika dalam perlawanan.

Sambil duduk di bangku menunggu dia datang, aku berfikir tentang apa yang telah terjadi pada belakangan ini. Aku seperti bukan lagi menjadi umat yang taat pada Tuhan Yesusku. Bahkan di saat teman-temanku berjuang menghancurkan orang Islam, aku masih sempat-sempat mencari tahu tentang Islam. Hingga senja berlalu, tak juaku dapati dirinya. “Apa dia sedang ada kerjaan sehingga tak datang?” pikirku.

Akhirnya ku putuskan untuk pulang. Namun belum sempat aku meninggalkan taman, ada tepukan di bahuku.

“Aisyah???” ujarku terkejut. Teman satu kelasku di kampus. Dia beragama Islam. Dan memakai penutup kepala seperti Khodijah. Ku lihat Aisyah tersenyum, dan senyuman itu mengingatkanku pada seseorang, tapi aku tak tahu siapa.

“Apa kabar Indri?” tanyanya. “Aku dengar kau pergi ke Ambon selama satu minggu?”

“Iya Aisyah” jawabku.

“Apa kau sedang menunggu seseorang di sini?” tanya Aisyah.

Aku menggeleng. Aku tak mau dia tahu bahwa aku sedang menunggu seseorang yang sama dengan nya.

“Yah sayang sekali. Padahal aku sedang mencari seseorang yang selalu menemani Khadijah di taman ini. Maaf Indri jika aku salah orang” ujar.

Aisyah membuatku tersentak. “Kalau begitu aku pamit dulu” ujar Aisyah kemudian berlalu.

Malam yang terasa begitu panjang. Aku tak tau kenapa aku merasa bersalah pada Aisyah saat berpura-pura sore tadi. Dan jauh dari rasa itu, aku menjadi sangat penasaran, ada hubungan apa dia dan Khodijah? Aku berfikir dan terus berfikir akan apa yang telah terjadi pada diriku. Sebegitu besarkah rasa penasaranku terhadap dua orang yang tanpa sengaja aku undang untuk masuk ke dalam kehidupanku.

Pagi ini aku memutuskan untuk menemui Aisyah. Kudapati tatapan-tatapan heran dari teman-temanku saat aku bersama Aisyah.

“Maaf aku kemarin berbohong” ujarku.

“Ya, nggak apa-apa”

“Di mana kau mengenal Khodijah?” tanyaku.

“Aku adiknya” jawab Aisyah. Aku pun tercengang. “Khodijah adalah orang yang baik” cerita Aisyah, tanpa memberi kesempatan aku untuk bertanya. “Sejak kecil prestasinya selalu baik. Namun sejak dokter memvonisnya terkena kanker otak stadium 3, semuanya menjadi berubah. Khodijah tak mau lagi berurusan dengan dunia. Dia menjadi tambah rajin beribadah. Bahkan dia telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya”. Cerita Aisyah pun terus mengalir.

“Di mana dia sekarang?”

“Satu hari, setelah kepergianmu ke Ambon, dia meninggal dunia. Tapi dia sempat menitipkan sesuatu untukmu. Sepertinya dia sangat menyenangi perkenalan denganmu”

Aku terdiam, tak dapat berkata apa-apa lagi. Ingin rasanya aku menjerit, namun ini bukan saat yang tepat. Air mataku pun hanya dapat mengalir lirih. Tak ku hiraukan lagi mata-mata yang menatapku aneh.

***

Aku menatap buku kecil yang ada di tangan ku saat ini. Khodijah meninggalkan catatannya tentang senja dan Islam untukku. Beberapa waktu setelah kepergiannya, aku selalu mengunjungi makamnya saat senja tiba. Catatan tentang senjanya pun tak lupa aku baca, hingga ketika catatan tentang senja itu selesai kubaca, baru aku tersadar.

“Aku ingin masuk Islam” batin ku.

Dan hal itu menjadi kenyataan. Kini aku seorang muslimah. Meski tanpa satu kaki. Karena kakiku harus diamputasi setelah sehari aku mengikrarkan syahadat. Aku ditembak oleh orang tak dikenal, hingga akhirnya kakiku terinfeksi dan harus diamputasi.

Senja kali ini, di taman, aku tak lagi sendiri. Bersamaku seorang lelaki shalih yang telah mau menerima aku apa adanya. Bukan seperti orang tuaku yang membuangku saat mereka tahu aku masuk Islam. Aku sangat bahagia bersamanya saat senja seperti ini. Dan kami sama-sama menatap senja sambil menyusun masa depan.

“Terima kasih ya Allah, engkau telah menunjukkanku pada jalan yang benar. Engkau telah memberiku orang-orang yang mau menerimaku apa adanya, tanpa memandang masa laluku. Engkau telah memberiku seorang pemimpin yang sangat menyayangiku, meski aku tak sempurna” ucapku dalam hati sambil menatap senja yang hampir berlalu.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (23 votes, average: 8.00 out of 5)
Loading...

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization