Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Syifa’

Syifa’

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Namanya Syifa’. Itu yang aku dengar dari ibu-ibu pengajian yang mengundangku datang ke masjid ini. Pernah sekali aku bertanya kepada seorang ibu mengenai orang tuanya Syifa’. Ibu itu hanya menjawab “dia itu anak haram Neng, karena cacat gitu jadi ibunya nggak pernah ngurusdia lagi dan meninggalkan dia”.

Setiap aku datang ke masjid itu, selalu saja aku melihat dia tersenyum sambil mendekap Iqra’ yang sangat kusam. Pernah aku ingin mendekatinya, namun dilarang oleh ibu-ibu pengajian, karena kata mereka dia suka mengamuk jika ada orang yang mendekatinya.

Trus bagaimana dia makan, Bu?” tanyaku ketika hati ini semakin miris melihat anak itu.

“Dia sudah terbiasa tidak makan” jawab ibu itu.

“Apakah orang kampung di sini tidak ada yang mau mengurusnya?” tanyaku lagi.

“Buat apa mengurus anak seperti itu? Nanti bawa sial saja” celetuk Ibu itu.

“Astaghfirullahaladzim” lirihku.

“Ya sudah Neng, Ibu mau pulang dulu”

“Iya Bu, silakan” jawabku. Kemudian ibu itu meninggalkanku.

Aku terpaku memperhatikan Syifa’. Cantik sekali namanya. Seharusnya usia seperti dia mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Tanpa terasa, air mataku mengalir melihat dia yang sedang asyik membuka-buka Iqra’ itu.

Tiba-tiba dia melihat ke arahku dan tersenyum. Aku yakin jika badannya bersih, dia akan terlihat cantik. Perlahan aku mendekatinya.

“Syifa’” panggilku sambil mendekatinya.

“Pergi! Pergi!!” teriaknya sambil mengamuk dan melemparkan Iqra’nya ke arahku.

Cepat-cepat aku meninggalkannya.

***

Semakin hari aku semakin memikirkan Syifa’. Ingin sekali aku mengurus dan merawatnya. Aku tak peduli dia anak haram atau anak cacat. Ketika aku menyampaikan niat itu kepada ketua pengajian ibu-ibu di sana, apa yang ku terima?

“Sudahlah Neng, biarkan saja dia begitu, mungkin sudah takdirnya.”

“Tidak Bu, dia harus mendapatkan haknya sebagai manusia. Dia juga makhluk Allah sama seperti kita” ujarku.

“Terserah Neng aja. Kami tidak mau ikut campur” jawab Ibu itu.

Setelah ibu-ibu itu pulang, aku mencoba mendekati Syifa’. Lagi-lagi dia mengamuk.
Aku mencari cara agar dia berhenti melempariku dengan barang apa saja yang ada di dekatnya.

“Syifa’ sayang, kakak punya kue buat Syifa’. Ini, ambil” ujarku.

Syifa’ diam sejenak sambil menatapku. Diambilnya roti yang kuberikan padanya. Tapi yang terjadi di luar dugaanku. Syifa’ melemparkan roti itu ke mukaku dan mengenai kaca mataku. Seketika kaca mataku terjatuh. Semuanya terasa kabur. Aku tak bisa melihat apa-apa. Karena memang minus mataku sudah parah. Dan tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.

“Ya Allah, bantulah aku” lirihku.

Meski hujan turun, aku harus tetap mencari kaca mataku yang jatuh, karena tanpanya aku tak kan bisa apa-apa. Aku terus meraba-raba di sekitarku, namun tak jua kutemui. Sementara tubuhku semakin menggigil, karena tersiram air hujan. Tiba-tiba ada sebuah tangan yang memegang tanganku dan menyerahkan kaca mata.

“Alhamdulillah” lirih legaku, sambil mengenakan kacamata itu. Meski sedikit buram karena air hujan, aku mampu melihat Syifa’ berdiri di depanku.
“Ma… ma… maafkan Syifa’” ujarnya terbata-bata. Kemudian berlari. Aku langsung bangkit dan mengejarnya.

Terdengar suara benturan yang keras diiringi dengan suara deritan rem mobil. Ketika aku tiba, terlihatlah tubuh kecil Syifa’ yang tergeletak bersimbah darah. Tubuhku bergetar melihatnya.

“Syifaaaaa’…” jeritku.

***

Dua minggu kemudian.

Aku berjalan menggandeng Syifa’ menuju rumahku. Syifa’ berdiri mematung di depan pintu rumah.

“Ayo Syifa’, mulai sekarang Syifa’ tinggal di sini” ujarku.

Mata Syifa’ begitu sayup melihatku.

“Itu siapa, Non?” tanya bik Ati, pengurus rumahku. Karena mama dan papa selalu keluar kota, jadi bik Ati lah yang menjadi temanku jika di rumah.

“Mulai sekarang, dia anggota keluarga kita” ujarku.

‘tapi Non…” jawab bik Ati.

“Bik, nanti aku jelasin. Sekarang Bibik bantu aku membujuk dia untuk masuk” jelasku.

Setelah berhasil menidurkan Syifa’ di kamarku, aku keluar menemui bik Ati. Aku yakin dia sudah menunggu ceritaku dari tadi.

Trus gimana Neng, kalau tuan dan nyonya tidak setuju?” tanya bik Ati.

“Bibik tenang saja. Nanti aku yang bilang sama Mama. Aku minta tolong sama Bibik untuk menjaga dia selama Aku kuliah. Dan bibik harus ingat, dia itu tidak terbiasa makan. Bibik harus sabar untuk membujuknya, karena tubuhnya butuh gizi yang banyak” jawabku.

“Dari cerita Non tadi, Non bilang Syifa’ jarang makan, kok masih bisa bertahan hidup ya? Padahal meski bibik bodoh begini, menurut logika bibik, usia seperti dia tidak akan mampu hidup sendiri” tanya bik Ati lagi.

Aku termenung. Setelah kupikirkan, benar juga apa yang dikatakan bik Ati.

“Subhanallah. Itu kuasa Allah, bik” ujarku.

***

Dua tahun kemudian.

Aku mengantarkan surat undangan kepada ibu-ibu pengajian yang dulu sering mengundangku sebelum aku mengurus Syifa’ untuk datang ke acara lomba anak-anak TPA se Kota tempat kami tinggal.

“Datang ya Bu” ujarku.

“Insya Allah, Neng” jawab Ibu itu. Aku sadar, dari raut mukanya, Ibu itu tidak suka ketika aku katakan bahwa di antara peserta lomba nanti ada Syifa’, tapi aku berharap dia tetap akan datang.

Hari yang dinantikan tiba. Lomba hafalan surat-surat pendek bagi anak-anak TPA. Dan ketika pemenang diumumkan, Syifa’ meraih juara tiga. Walaupun dia hanya juara tiga, aku sudah cukup bangga padanya. Dan yang terpenting, aku sudah membuktikan pada orang-orang yang pernah menolak hadirnya dia di dunia ini, bahwa dia bukan anak haram, bukan anak cacat yang membawa sial. Tapi dia adalah makhluk Allah yang perlu kita penuhi hak-haknya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (17 votes, average: 9.35 out of 5)
Loading...

Lihat Juga

UNICEF: Di Yaman, Satu Anak Meninggal Setiap 10 Detik

Figure
Organization