Topic
Home / Berita / Opini / Mengalah Demi Ummat

Mengalah Demi Ummat

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Kritik saya terhadap hisab (perhitungan astronomis) dan rukyat (pengamatan astronomis) yang dilakukan oleh dua ormas besar Muhammadiyah dan NU sudah lama saya lakukan, sejak tahun 1990-an. Kritik tersebut untuk mendorong penyempurnaan metode dan kriterianya. Kritik saya sampaikan dalam forum seminar, pelatihan, diskusi internal ormas, maupun melalui tulisan di media massa. Alhamdulillah, hal itu bisa saya lakukan karena saya sering diundang sebagai nara oleh NU, Muhammadiyah, dan Persis, tiga ormas Islam yang aktif melakukan hisab rukyat.

Mengapa saya fokuskan perhatian pada dua ormas besar tersebut? Berbeda dengan kelompok-kelompok kecil yang anggotanya hanya puluhan orang, dua ormas besar itu punya anggota dan simpatisan yang sangat banyak (mungkin jutaan orang) yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Perbedaan penentuan hari raya oleh dua ormas tersebut berdampak secara nasional. Diakui atau tidak, banyak masyarakat yang tidak nyaman dengan terjadinya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan. Ibadah yang terkait dengan hari raya bukan lagi ibadah privat, tetapi telah menjadi ibadah publik yang menuntut adanya keseragaman waktu. Pemerintah tidak bisa berlepas tangan terkait dengan penentuan waktu ibadah yang bersifat publik tersebut.

Atas kritik saya dan teman-teman pelaksana kajian astronomi di berbagai kelompok masyarakat, NU dan Persis sudah menunjukkan banyak perubahan, sehingga banyak kritik saya tahun 1990-an dan awal 2000-an kini tak relevan lagi. Tetapi Muhammadiyah sangat rigid, kaku, dan sulit berubah. Muhammadiyah merasa cukup puas dengan metode hisab wujudul hilalnya, tanpa menyadari bahwa wujudul hilal bukan satu-satunya kriteria hisab. Justru wujudul hilal merupakan kriteria usang yang sudah ditinggalkan komunitas astronomi, beralih ke kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal, kemungkinan terlihatnya hilal). Sayangnya, tanpa pemahaman yang benar, banyak warga Muhammadiyah yang menolak imkan rukyat hanya karena anggapan keliru seolah imkan rukyat adalah metode rukyat yang mereka hindari. Imkan rukyat adalah kriteria hisab yang bisa digunakan oleh hisab dan rukyat, karenanya banyak digunakan oleh komunitas astronomi yang menganggap hisab dan rukyat setara.

Berikut ini tulisan saya di media massa yang merupakan kritik pelaksanaan hisab rukyat di NU dan Muhammadiyah serta untuk pencerdasan masyarakat demi penyatuan kalender hijriyyah:

 

Mengalah Demi Ummat

Dalam beberapa kesempatan Kementerian Agama dan ormas-ormas Islam selalu menyuarakan upaya persatuan ummat. Kalau pun ada perbedaan, upayakan perbedaan itu tidak ditampakkan ke publik jauh-jauh hari agar tidak menimbulkan kebimbangan yang panjang. Terkait dengan penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, di Indonesia ada dua metode utama: rukyat (pengamatan astronomis) dan hisab (perhitungan astronomis). Komunitas astronomi selalu berupaya memberikan kesadaran bersama bahwa hisab dan rukyat bukan dua hal yang berbeda yang harus dipertentangkan.

Kelompok pengamal rukyat (diwakili NU) kadang mengagungkan dalilnya, tetapi kurang mempublikasi hasil awalnya karena selalu menghindar dengan ungkapan, ”kita tunggu saja hasil rukyat”. Mereka sebenarnya sudah punya hasil hisab seperti yang dimiliki kelompok pengamal hisab, tetapi hasil hisabnya digunakan sekadar untuk pemandu rukyat, bukan sepenuhnya menjadi dasar pengambilan keputusan. Selain untuk pemandu rukyat, hasil hisab mereka gunakan untuk membuat kalender. Kriteria hisabnya dikaitkan dengan kemungkinan rukyat (imkan rukyat).

Kelompok pengamal hisab (diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis – Persatuan Islam – ) kadang mengagungkan dalil dan hasil hisabnya. Mereka bisa mempublikasikan hasil hisab mereka lebih awal sehingga terkesan ”hebat” karena bisa menentukan sebelum rukyat. Persis sebagai ormas kecil tidak terlalu tampak sehingga luput dari perhatian media massa. Sebaiknya, Muhammadiyah sebagai ormas besar selalu menjadi sorotan publik atau sengaja mempublikasikan hasil hisabnya dalam suatu jumpa pers, walau Kementerian Agama selalu mengimbau untuk tidak mengumumkannya.

Walau Muhammadiyah dan Persis sama-sama pengamal hisab, namun ada perbedaan kriteria yang digunakan. Persis menggunakan kriteria imkan rukyat, sedangkan Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal. Jadilah ormas Islam pelaksana hisab rukyat terpecah menjadi dua: sebagian besar menggunakan kriteria imkan rukyat (visibilitas hilal) dan hanya Muhammadiyah menggunakan wujudul hilal.

Upaya untuk menyatukan sudah sering dilakukan, tetapi Muhammadiyah tetap bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya. Manakah yang lebih baik antara wujudul hilal dan imkan rukyat? Untuk memutuskannya bukan dalil fiqih atau syariah yang dijadikan dasar, karena itu sudah soal pilihan teknis astronomis. Pada kriteria itu sama sekali tidak ada terminologi fiqih, yang ada adalah terminologi astronomi. Jadi, itu domainnya astronom, bukan domainnya fuqaha.

Secara astronomi, wujudul hilal adalah kriteria usang, ketika ahli hisab tidak mampu memformulasikan atau tidak mau direpotkan dengan kriteria rukyat. Sekarang banyak makalah astronomi yang mengkaji visibilitas hilal atau kemungkinan terlihatnya hilal yang dapat dijadikan rujukan. Hasil kajian tersebut kini banyak diformulasikan menjadi kriteria imkan rukyat atau visibilitas hilal. Tentu saja banyak kriteria imkan rukyat yang ditawarkan. Di internet kita bisa mencari ada beberapa kriteria: kriteria Ilyas, Yallop, Odeh, SAAO, dan lainnya. Di Indonesia ada kriteria MABIMS (Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), LAPAN (versi lama, tahun 2000), RHI, dan usulan baru dari LAPAN berupa Kriteria Hisab Rukyat Indonesia. Saat ini sebagian besar ormas Islam di Indonesia menggunakan kriteria MABIMS yang disepakati pada tahun 1990-an, walau saat ini perlu direvisi.

Demikian mudahkah mengubah kriteria? Ya, sangat mudah. Persis sudah beberapa kali mengubah kriterianya mengikuti perkembangan pemikiran astronomis. Logika sederhananya, karena masalah kriteria hanyalah masalah teknis astronomis, bukan masalah dalil fiqih, semestinya bisa lebih sederhana. Sama halnya dengan pilihan kriteria waktu shalat. Dari sekian banyak pilihan kriteria astronomi waktu shalat, kita sudah bersepakat dengan kriteria yang saat ini digunakan oleh Kementerian Agama, sehingga apa pun ormasnya kini bisa membuat jadwal shalat yang relatif sama. Adzan di masjid sama dengan adzan di TV, radio, atau jadwal shalat terprogram di berbagai perangkat lainnya.

Bisakah kita mempersatukan kriteria awal bulan, sama dengan kriteria jadwal shalat? Semestinya bisa. Dari dua pilihan, kita gunakan saya kriteria imkan rukyat, karena kriteria itu mempersatukan metode hisab dan rukyat yang diamalkan di masyarakat Muslim di Indonesia dan internasional. Kriteria wujudul hilal yang sudah usang kita tinggalkan. Mari kita pilih kriteria imkan rukyat yang baru yang bisa menggantikan kriteria MABIMS yang selama ini digunakan oleh banyak ormas Islam, namun ditolak Muhammadiyah.

Kalau Muhammadiyah masih bersikukuh menggunakan kriteria wujudul hilal yang usang tersebut, sudah pasti perbedaan hari raya dan awal Ramadhan di Indonesia masih akan terus terjadi, karena hisab wujudul hilal jelas-jelas menjauhkan diri dari rukyat. Dari segi hisabnya, sudah pasti itu menyimpang dari kriteria yang banyak digunakan oleh ormas-ormas Islam lainnya. Dari segi potensi perbedaan, sangat jelas pasti akan selalu terjadi perbedaan dengan hasil rukyat ketika tinggi bulan sudah positif, tetapi kurang dari kriteria imkan rukyat.

Sebagai organisasi mujadid (pembaharu), sebenarnya Muhammadiyah tidak terlalu asing dengan perubahan. Semoga jiwa besar Muhammadiyah bisa membawa perubahan besar di ummat ini dan mendorong terwujudnya Kalender Hijriyyah tunggal yang mapan dan mempersatukan ummat. Tanpa kita memulainya sekarang, penyatuan kalender hijriyah hanya menjadi wacana teoritik yang belum tentu aplikatif. Saya menghargai kata akhir Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Syamsul Anwar pada dialog kedua tim teknis NU-Muhammadiyah 6 Desember 2007 lalu yang mengajak NU-Muhammadiyah ”mengalah demi ummat”. Semoga penyatuan kalender hijriyah dapat segera terwujud, karena itu keinginan ummat. Saya sekadar menyuarakannya dan memformulasikannya.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (27 votes, average: 7.30 out of 5)
Loading...
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Djamaluddin, lahir di Purwokerto, 23 Januari 1962, putra pasangan Sumaila Hadiko, purnawirawan TNI AD asal Gorontalo, dan Duriyah, asal Cirebon. Tradisi Jawa untuk mengganti nama anak yang sakit-sakitan, menyebabkan namanya diganti menjadi Thomas ketika umurnya sekitar 3 tahun, nama tersebut digunakannya sampai SMP. Menyadari adanya perbedaan data kelahiran dan dokumen lainnya, atas inisiatif sendiri nama di STTB SMP digabungkan menjadi Thomas Djamaluddin. Sejak SMA namanya lebih suka disingkat menjadi T. Djamaluddin. Sebagian besar masa kecilnya dihabiskan di Cirebon sejak 1965. Sekolah di SD Negeri Kejaksan I, SMP Negeri I, dan SMA Negeri II. Baru meninggalkan Cirebon pada 1981 setelah diterima tanpa test di ITB melalui PP II, sejenis PMDK. Sesuai dengan minatnya sejak SMP, di ITB dia memilih jurusan Astronomi. Minatnya diawali dari banyak membaca cerita tentang UFO, sehingga dia menggali lebih banyak pengetahuan tentang alam semesta dari Encyclopedia Americana dan buku-buku lainnya yang tersedia di perpustakaan SMA. Dari kajian itu yang digabungkan dengan kajian dari Al Quran dan hadits, saat kelas I SMA (1979) dia menulis �UFO, Bagaimana menurut Agama� yang dimuat di majalah ilmiah populer Scientae. Itulah awal publikasi tulisannya, walaupun kegemarannya menulis dimulai sejak SMP. Ilmu Islam lebih banyak dipelajari secara otodidak dari membaca buku. Pengetahuan dasar Islamnya diperoleh dari sekolah agama setingkat ibtidaiyah dan dari aktivitas di masjid. Pengalaman berkhutbah dimulai di SMA dengan bimbingan guru agama. Kemudian menjadi mentor di Karisma (Keluarga Remaja Islam masjid Salman ITB) sejak tahun pertama di ITB (September 1981) sampai menjelang meninggalkan Bandung menuju Jepang (Maret 1988).� Kegiatan utamanya semasa mahasiswa hanyalah kuliah dan aktif di masjid Salman ITB. Kegemarannya membaca dan menulis. Semasa mahasiswa telah ditulisnya 10 tulisan di koran tentang astronomi dan Islam serta beberapa buku kecil materi mentoring, antara lain Ibadah Shalat, Membina Masjid, dan Masyarakat Islam. Lulus dari ITB (1986) kemudian masuk LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) Bandung menjadi peneliti antariksa. Dan tahun 1988 � 1994 mendapat kesempatan tugas belajar program S2 dan S3 ke Jepang di Department of Astronomy, Kyoto University, dengan beasiswa Monbusho. Tesis master dan doktornya berkaitan dengan materi antar bintang dan pembentukan bintang. Namun aplikasi astronomi dalam bidang hisab dan rukyat terus ditekuninya. Atas permintaan teman-teman mahasiswa Muslim di Jepang dibuatlah program jadwal salat, arah kiblat, dan konversi kalender. Upaya menjelaskan rumitnya masalah globalisasi dan penyeragaman awal Ramadhan dan hari raya dilakukannya� sejak menjadi mahasiswa di Jepang. Menjelang awal Ramadhan, idul fitri, dan idul adha adalah saat paling sibuk menjawab pertanyaan melalui telepon maupun via internet dalam mailing list ISNET. Amanat sebagai Secretary for Culture and Publication di Muslim Students Association of Japan (MSA-J), sekretaris di Kyoto Muslims Association, dan Ketua Divisi Pembinaan Ummat ICMI Orwil Jepang memaksanya juga menjadi tempat bertanya mahasiswa-mahasiswa Muslim di Jepang. Masalah-masalah riskan terkait dengan astronomi dan syariah harus dijawab, seperti shalat id dilakukan dua hari berturut-turut oleh kelompok masyarakat Arab dan Asia Tenggara di tempat yang sama, adanya kabar idul fitri di Arab padahal di Jepang baru berpuasa 27 hari, atau adanya laporan kesaksian hilal oleh mahasiswa Mesir yang mengamati dari apartemen di tengah kota padahal secara astronomi hilal telah terbenam. Kelangkaan ulama agama di Jepang juga menuntutnya harus bisa menjelaskan masalah halal-haramnya berbagai jenis makanan di Jepang serta mengurus jenazah, antara lain jenazah pelaut Indonesia. Saat ini bekerja di LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional)� Bandung sebagai Peneliti Utama IVe (Profesor Riset) Astronomi dan Astrofisika. Sebelumnya pernah menjadi Kepala Unit Komputer Induk LAPAN Bandung, Kepala Bidang Matahari dan Antariksa, dan Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN. Juga mengajar di Program Magister dan Doktor Ilmu Falak di IAIN Semarang. Terkait dengan kegiatan penelitiannya, saat ini ia menjadi anggota Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), International Astronomical Union (IAU), dan� National Committee di Committee on Space Research (COSPAR), serta anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI dan BHR Daerah Provinsi Jawa Barat. Lebih dari 50 makalah ilmiah, lebih dari 100 tulisan populer, dan 5 buku tentang astronomi dan keislaman telah dipublikasikannya. Alhamdulillah, beberapa kegiatan internasional juga telah diikuti dalam bidang kedirgantaraan� (di Australia, RR China, Honduras, Iran, Brazil, Jordan, Jepang, Amerika Serikat, Slovakia, Uni Emirat Arab,� India, Vietnam, Swiss, dan Thailand) dan dalam bidang keislaman (konferensi WAMY � World Assembly of Muslim Youth �� di Malaysia). Beristrikan Erni Riz Susilawati, saat ini dikaruniai tiga putra: Vega Isma Zakiah (lahir 1992), Gingga Ismu Muttaqin Hadiko (lahir 1996), dan Venus Hikaru Aisyah (lahir 1999).

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization