Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Menyamuderakan Cinta Si Pecinta

Menyamuderakan Cinta Si Pecinta

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
(photobucket/ericalevell)

dakwatuna.com – Malam semakin larut, angin berbisik sayup-sayup terdengar di balik jendela yang sedikit terbuka. Menyelisik hati bersama hawa dingin yang diam-diam mengalir masuk. Dinginnya mampu menggigilkan tubuh perempuan yang mengintip rembulan dari sebalik gorden kamarnya. Ah, rembulan perak pun enggan memurnama. Padahal tinggal seselaput tipis untuk menjadikannya bulat seutuhnya. Laksana dekatnya bilangan hari yang akan menyampaikannya pada purnama agamanya.

Andaikan waktu itu benar-benar bisa dihentikan, ia berharap waktu itu terhenti saat sunyi ini. Menyendiri dalam ruang hampa waktu. Sejenak meninggalkan segala gundah galau yang selama ini membuat hatinya menceracau. Atau jika tidak, tak bisakah hari-hari itu mengurai dalam bilangan detik yang lebih panjang? Agar ia punya kesempatan bernafas lebih lepas. Membuang segala sesak yang telah lama menyeruak.

Malam ini tidak ada airmata yang menetes. Entah kenapa. Padahal ia ingin sekali membuang segala gundah bersama bulir-bulir permata indah itu. Biar jatuh. Biar luluh. Biar tidak selalu menggelayut dalam langit hatinya yang semakin rapuh. Atau mungkin airmata itu telah kering. Dalam bilangan bulan malam-malam yang telah berlalu. Entah berapa purnama yang telah ia lewati dengan isakan di setiap penghujung malamnya. Bukankah sangat wajar, jika airmata itu telah kering tanpa menyisa setitis embunnya?

Seorang perempuan biasa. Ia sedang terluka dalam sebuah episode bernama cinta. Yah, cinta yang tidak mempertemukannya dengan kekasihnya. Cinta yang mengajarinya tentang hakikat ‘menerima’. Cinta yang membuatnya sadar akan dirinya. Bahwa sungguh, hatinya ternyata tidak berada dalam genggamannya. Ia tidak bisa meminta hatinya untuk merasakan apa yang dipikirkan oleh akalnya. Sebanyak apapun doktrin dan pelegalan yang disusupkan oleh akalnya, ternyata begitu saja dimentahkan oleh hatinya.

‘Wahai hati, kenapa engkau tega membuatku terpuruk dalam derita luka ini?’ rintihnya malam ini bersama belaian mesra bayu segara, kering tanpa cinta.

Laksana perempuan lainnya, ia ingin mengabdikan diri dan hatinya seutuhnya untuk suaminya nanti. Tapi bayang-bayang lelaki dari masa lalu itu, selalu saja mengusik tidurnya. Kenapa ia yang selalu harus hadir dalam setiap mimpi dan lamunannya? Setiap kali ia hadir, setiap kali itu pula ia menghalaunya. Menggantinya dengan bayang lelaki yang dalam hitungan hari akan menjadi suaminya. Tapi sepersekian detik saja bayang itupun telah pudar. Wajah itu berganti dengan ia yang tak diingini.
Perempuan itu lelah. Sangat lelah. Hampir putus asa. Merasa dirinya benar-benar tidak berguna. Apakah surga masih diizinkan untuknya? Ia takut kelak akan mengkhianati suaminya. Karena rasa cinta yang tidak mampu ia berikan seutuhnya, separuhnya. Rasa khianat itu mulai menunas di hati dan jiwanya, perih.

Dalam sendu, perempuan itu bermunajat syahdu. Ada getar-getar pilu dalam sunyi kata merdu.

“Ya Rabb,, sungguh Engkau tahu betapa besar cintaku padaMu. Yang dengannya menjadikan aku begitu mencintai kedua ibu bapakku. Aku hanya ingin menjadi anak yang bisa berterimakasih kepada mereka. Dengan caraku. Yang tidak sehebat pengorbanan penghuni gua, yang mendahulukan orang tuanya di atas dirinya, istri, dan anak-anaknya. Tak seindah kisah Uwais Al Qarni yang baktinya kepada ibunya mampu membuat jenazahnya diperebutkan oleh malaikat untuk memandikan, mengafani, dan menguburkannya. Yang membuat doanya tidak akan pernah tertolak oleh RabbNya. Yang membuat namanya tidak terkemuka di bumi namun begitu dikenal di langitNya.
Lalu apakah aku akan lebih mementingkan rasa cintaku kepada manusia yang tidak seharusnya kulabuhkan cintaku kepadanya? Dan mencampakkan baktiku kepada kedua orang tuaku di bawah telapak kaki cinta? Bukankah jika begitu berarti aku juga telah mencampakkan surga yang berada di bawah telapak kakinya?”

Matanya mulai berembun. Tak kuasa ia menahan sesak dadanya, perih luka, dan pedih jiwa.

“Tidak, Ya Rabb.. Aku mencintaiMu.. Dan dengannya aku mencintai Bapak Ibuku.. Dan untuk mendapatkan Ridha keduanya. Ya Rahman, aku rela jika sepanjang usiaku aku harus hidup dalam kesakitan. Jalan inilah yang aku pilih untuk membuktikan besarnya cintaku padaMu. Aku tidak akan menyerahkan diriku untuk menghamba pada cinta yang selain atasMu. Ya Rabbiy Mudahkan.. Kuatkan.. Teguhkan.. Kokohkan.. Hati dan kaki ini untuk meretas cinta di atas jalanMu, sebagaimana para pejuang cinta terdahulu, yang tidak sedikit pun mengubah janjinya hingga datang kepastian itu.”

Membanjir juga air matanya, meleleh bersama dingin malam. Dalam dekapan gulita yang semakin mendekati akhirnya. Kesadaran itu menjalari hatinya. Dan membuka kait-kaitnya yang selama ini tertutup, terkunci atas pemasungan kesadaran yang diatasnamakan cinta. ia tau ia salah, memberi harapan akan sesuatu yang belum pasti dapat ia berikan. Lelaki itu salah, keegoisan cintanya membuatnya merasa benar atas semua tindakannya. Mereka berdualah yang salah. Dan tidak sepantasnya mengambinghitamkan pihak atau hal lain untuk mendapatkan pembenaran. Tidak pula cinta.

Karena cinta itu tidak salah. Tidak pernah salah! Dan tidak akan salah! Perasaan sayangnya itu adalah tetap sebuah anugerah, yang dititipkan Allah agar ia merasainya. Agar hatinya peka dengannya. Agar ia bisa melihat, mendengar, meraba tanpa mata, telinga, dan tangannya. Agar ia bisa melihat, mendengar, dan meraba dengan hatinya, dengan jiwanya.

Ya, cinta mereka tidaklah salah. Tapi ‘ekspektasi memiliki’ yang tanpa sengaja mereka tumbuhkan dan akhirnya mengakar dengan begitu kuatnya itulah yang salah. Bukanlah cinta yang menyebabkan mereka merasai sakit seperti saat ini. Tapi ekspektasi memiliki yang tidak sampai itulah yang dengan sebegitu dahsyatnya telah memporakporandakan hati. Karena bukankah cinta itu membebaskan, mencerahkan, dan menenangkan? Sedangkan ekspektasi memiliki itu membelenggu, meredupkan, dan meresahkan.

Tiba-tiba muncul pertanyaan dalam hatinya. Benarkah lelaki itu mencintainya dengan setulusnya? Bukankah mencintai itu berarti berjuang untuk memberikan kebahagiaan kepada kekasih yang dicintainya? Mencintai apa yang menjadi kecintaannya? Lalu mengapa selama ini lelaki itu masih tidak bisa terima dengan keputusannya? Keputusan yang ia ambil dengan sadar jaga. Keputusan yang menyakitkan. Namun, keputusan itulah yang paling menenangkan hatinya. Keputusan yang ia anggap paling baik untuk semuanya.

Tidak tahukah lelaki itu, selama ia masih menggugat keputusan itu dan mencari-cari pihak untuk disalahkan, sungguh sebenarnya ia telah menyakiti hati perempuan itu lebih dalam. Semakin lelaki itu tidak terima, semakin dalam dan sakit pulalah goresan yang ia ukirkan di hati perempuan yang katanya ia cintai dengan segenap jiwa. Atau apakah memang lelaki itu mengharapkan agar ia merasai sakit itu? Sakit yang mencerabut ketenangan dan kebahagiaan dalam hatinya. Sakit yang jauh lebih pedih dari goresan pisau yang diiriskan di jarinya. Perih. Pedih. Sakit. Sakit sekali..

Tanpa tambahan rasa sakit karena laku lelaki itu, sungguh ia pun telah merasakan kepedihan yang sangat. Kepedihan karena tidak bisa bersanding dengan seseorang yang dicintainya. Seseorang yang telah ia bayangkan dipertemukan dalam singgasana cinta. Seseorang yang dalam mimpinya akan menjadi ayah dari anak-anaknya dan imam dalam kehidupannya. Kesakitan itupun masih harus ditambah pula, ketika ia harus merelakan dirinya hidup bersama dengan seseorang yang hingga saat ini belum bisa ia berikan sedikit saja cintanya. Tidak cukupkah segala kepedihan yang ia rasakan sekarang sebagai penebus dosa masa lalunya?

“Wahai lelaki yang kucintai, tidak cukupkah rasa pedih yang kutanggung saat ini? Rasa pedih yang mungkin jauh.. jauh.. lebih pedih dari kepedihan yang kau tanggung karena janji yang tak terjawantah? Tapi jika kau memang merasa ini semua belum cukup, maka silakan lakukan apa yang kau anggap benar untuk dilakukan. Teruslah kau sayatkan luka-luka itu di hatiku. Sedalam-dalamnya. Aku ikhlas menerima. Jika itu membuatmu bahagia. Tancapkanlah terus. Hingga aku tak mampu merasai rasa sakit lagi. Hingga aku mati dari rasa sakit yang kau sayatkan bertubi-tubi.”

Andaikan lelaki itu mau sedikit saja menurunkan keegoisan dalam cintanya, maka itu akan sangat berarti untuknya. Itu akan menggugurkan separuh lebih beban berat dan rasa sakit yang selama berbulan-bulan ini ditanggungnya. Mereka akan bersama-sama belajar untuk menyamuderakan cinta yang ada di hatinya dan melepas rantai-rantai belenggu ketakutan yang bisa jadi merupakan tipu daya syaitan yang akan menjauhkan mereka dari surga, ridha, dan cintaNya.

Walaupun ia tahu itu sangatlah sulit, tapi ia yakin. Jika keimanannya benar, hal itu bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Jika niat dan tujuannya hanya untukNya, maka ia yakin Allah pasti akan memudahkan jalannya sampai ke sana. Sebanyak apapun hambatannya.
Selama ini, mungkin cintanya baru sebesar dan sepanjang Nil, dan sudah begitu saja habis diberikan kepada lelaki yang dicintainya itu. Untuk mengurangi bagian cinta itu, ia tidak mampu. Lalu apa yang nanti akan diberikan untuk suaminya? Maka, sudah sewajarnya jika ia mulai belajar untuk menyamuderakan cintanya. Sehingga cinta itu tidak akan habis jika pun harus dibagi-bagikan kepada semua makhluk di penjuru mata dunia. Tanpa mengurangi porsi masing-masingnya. Tanpa zhalim kepada seorang di antaranya. Cintanya untuk lelaki itu dalam hatinya masih akan sebesar dan sepanjang sungai Nil atau bahkan bertambah lebih dari itu. Namun, ketika cintanya sudah menyamudera, maka ia tidak perlu bingung seberapa besar ia membagi cinta kepada suaminya. Karena ia bisa memberikan suaminya cinta seluas samudera segala segara. Cinta yang lebih besar dari cintanya kepada lelaki itu. Cinta yang sesuai dengan porsinya, tanpa harus mengurangi hak salah satunya. Lalu bisakah ia?

Menyamuderakan cinta. Tak hanya itu. Mereka berdua pun perlu belajar untuk melepaskan belenggu-belenggu ketakutan yang dibisikkan syaitan padanya. Menghindari prasangka-prasangka yang membuat mereka pesimis menghadapi masa depan. Syaitan telah menakut-nakuti mereka dengan ketakutan yang belum tentu akan mereka dapatkan. Menakuti mereka bahwa mereka akan mati jika tidak bisa saling membersamai. Mereka tidak akan pernah bahagia jika tidak bersanding di singgasana cinta. Tidak akan bisa mencintai suami atau istrinya kelak tanpa bayang-bayang cinta masa lalunya. Begitukah? Tidakkah itu hanya prasangka-prasangka yang dihembuskan syaitan untuk menghilangkan makna syukur, sabar, dan tawakal dalam hati mereka? Jika mereka punya niat yang benar, maka bisa saja dalam hitungan detik setelah melihat istri atau suaminya kelak, maka cinta yang begitu meluap dianugerahkan Allah untuknya? Sungguh, siapa yang tahu? Namun, Allah Maha Tahu..

Perempuan itu tersenyum. Bersama semburat merah fajar di kaki langit, pertanda hari telah berada dalam bilangan yang berbeda, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia akan membuang semua ketakutan-ketakutan itu. Dan ia akan menjalani apa yang telah ia putuskan dengan rasa sabar, syukur, dan tawakal. Walaupun sekarang rasa cinta itu masih menjadi milik lelaki itu seutuhnya, namun ia akan membuka hatinya selebar-lebarnya untuk suaminya. Ia akan belajar mencintai lelaki itu. Bagaimanapun sulitnya. Ia yakin akan janji Allah, bahwa ia akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang berjalan menujuNya. Ia yakin itu. Ia pegang janji itu. Harapnya, lelaki itupun begitu…

“Dengan asma Allah, Ya Rabb, inilah atsar-atsar yang akan kuukirkan sebagai pembuktian cintaku padaMu.. Dan semoga aku tidak akan berbelok sedikit pun dari janjiku.. Sampai kaki ini menapak lelah di jannahMu…”

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (91 votes, average: 9.51 out of 5)
Loading...

Tentang

Shabra Syatila lahir dan tumbuh dewasa di Yogyakarta. Sejak SD hingga SMA diselesaikan di Yogyakarta. Ia menggodok dirinya dalam dunia tarbiyah di sebuah kampus di bilangan Bintaro, Tangerang Selatan. �Meskipun merupakan produk sekolah sekuler, ia sempat mengenyam pendidikan di salah satu ma'had di Jakarta. Sekarang mengabdikan diri di salah satu� kementerian di Sulawesi Utara,� dimana Nabi Yusuf pernah menjabat sebagai pemimpinnya. Baginya, menulis adalah bagian dari memberikan yang terbaik yang bisa dilakukan untuk Allah. Kecintaannya kepada ilmu menjadikannya senantiasa ingin belajar dan terus belajar di universitas kehidupan. Saat ini, statusnya sudah menikah dengan satu istri. http://hasanalbanna.com

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization