Topic
Home / Berita / Internasional / Amerika / Media AS Dikritik Akibat Heboh Terry Jones

Media AS Dikritik Akibat Heboh Terry Jones

Terry Jones dan bukunya yang menebarkan kebencian. (tv2nyhetene.no)

dakwatuna.com – Jakarta. Seorang yang tak terkenal, hanya dengan sesumbar punya rencana gila, mampu membuat petinggi AS “memohon” kepada dia agar membatalkan aksi itu.

Presiden Barack Obama, menteri pertahanannya, jaksa agung, hingga panglima perang mereka di Afghanistan, “tersandera” oleh rencana pendeta Terry Jones, yang punya umat tak sampai 50 orang. Debat nasional AS pun menghangat hingga ke seluruh dunia, dan tiba-tiba Jones membatalkan rencananya.

“Terry Jones cuma membual, tapi yang luar biasa, cukup dengan berita itu, terangkai suatu keadaan yang sangat mengganggu,” tulis kolumnis Huffington Post, Jason Linkin. Huffington Post adalah situs web berita ternama di Amerika Serikat.

Menurut Linkin, media AS, sebagai industri, cenderung “menggoreng” berita sehingga menjadi bombastis dan heboh, hanya untuk mendapatkan sensasi.

Jones memang cuma sesumbar tapi bualannya jadi santapan media AS dan akhirnya belasan orang tewas dalam kerusuhan menentang rencana Jones di Afghanistan dan India.

Perlakuan media AS sangat berbeda dengan kejadian serupa dua tahun lalu. Pada 2008, suatu sekte yang juga hanya segelintir orang, melakukan aksi seperti yang direncanakan Jones. Kelompok Westboro Baptist di Topeka itu bahkan sengaja merekam aksi mereka . Tapi, tak ada media yang peduli.

Kelompok sempalan itu memang sudah jadi biang hujatan semua pihak karena aksi-aksi destruktif mereka. Media tak peduli terhadap mereka karena tahu masyarakat tak akan tertarik pada aksi sekelompok orang sinting.

Kini, dua tahun berselang, Terry Jones yang cuma sesumbar saja malah jadi berita besar. Jones memanfaatkan momentum yang bisa membuat namanya meroket.

Momentum itu adalah perdebatan nasional atas rencana pembangunan community center yang berjarak 2 blok dari lokasi serangan 11 September 2001 di menara kembar World Trade Center New York (kini disebut Ground Zero). Terry Jones cuma menggunakan peluang dari momentum tersebut.

Perdebatan nasional itu adalah hasil “menggoreng” isu yang dilakukan media AS, kali ini yang jadi korban adalah rencana pembangunan suatu community Center. Menjelang 9 tahun peringatan serangan di WTC, media mengorek-ngorek, atau mengada-adakan, hal yang bisa membuat heboh.

Community center itu akan dibangun oleh Prakarsa Cordoba dan berdiri di atas lokasi bekas Burlington Coat Factory di 51 Park Place, Manhattan. Prakarsa Cordoba dipimpin seorang imam bernama Feisal Abdul Rauf.

Media AS, sekali lagi demi kepentingan sensasi, mulai menghubung-hubungkan community center itu dengan Ground Zero. Gorengan pertama adalah mempermasalahkan jaraknya dari Ground Zero. Kata kunci yang dipakai adalah “tak sensitif”.

Media meminta komentar dari sumber yang mengatakan pembangunan itu tak sensitif terhadap para korban WTC. Setelah itu, mereka mencari pendapat berbeda untuk “keseimbangan” berita tapi porsinya tak terlalu besar. Langkah selanjutnya adalah memilih sumber yang “mulutnya pedas” terhadap rencana tersebut, dan seterusnya hingga muncul perdebatan di tingkat nasional.

Ketika isu itu naik ke tingkat nasional, maka community center itu mulai dijuluki media sebagai “Masjid Ground Zero”. Menurut Jason Linkin, julukan itu sudah terlalu jauh. Community center itu tidaklah sebatas tempat ibadah, lokasi itu akan dilengkapi lapangan basket dan ruangan untuk berbagai komunitas agama termasuk ibadah untuk umat muslim.

“Dan sejak awal lokasinya memang bukan di Ground Zero,” kata Linkin. Dia mengingatkan bahwa perdebatan itu naif sebab selama ini sudah ada masjid di sekitar Ground Zero dan tak pernah jadi masalah.

Dia prihatin karena media luput mengedepankan Feisal Abdul Rauf. Sosok tersebut selama ini mendedikasikan hidupnya untuk menentang gerakan radikal seperti al Qaeda. Rauf juga mengajarkan para pemuda muslim bahwa Amerika Serikat adalah tempat bagi setiap orang yang ingin bebas beribadah. Rauf juga tergabung dalam masyarakat lintas agama demi membangun bangsa AS.

Menurut Linkin, isu “Masjid Ground Zero”, yang dari istilahpun sudah tak benar, dipompa demi kepentingan industri media. “Bisa saja kita bicara tentang krisis pengangguran negara ini, tapi itu artinya kita harus mengangkat suara kalangan miskin dan penggangguran. Tak ada untungnya (dari segi bisnis) menyuarakan mereka,” kata Linkin.

Demi kepentingan media , sesuatu yang tidak ada faktanya malah direkayasa menjadi “satu hal yang layak diperdebatkan” atau “sudut pandang yang menarik”.

Sumber berita atau komentator yang dimintakan pendapat adalah selalu sosok-sosok yang makin membuat panas suasana lewat kalimat-kalimat provokatif. Makin edan lagi, isu yang sudah digoreng tersebut sengaja dimasukkan sebagai isu dalam Pemilu sela.

“Setiap kandidat terpaksa mengeluarkan komentar,” keluh Linkin. Lalu, muncullah Terry Jones. Media pun mendapatkan bahan bakar baru; mulut besar Terry Jones yang menghubungkan aksinya dengan “Masjid Ground Zero”. Potensi kehebohan Terry Jones harus dipelihara, karena itu media AS yang menganut “bad news is good news” mengabaikan fakta bahwa dia orang bermasalah.

gelar kehormatan

Hanya sedikit yang mengulas tuntas sosok Terry Jones, salah satunya The New York Times. Harian tersebut menelusuri latar belakang Jones dan mendapatkan bahwa pria 58 tahun itu selalu bermasalah dalam pekerjaannya. Media lain, Politicsdaily.com, menulis bahwa Jones punya gelar kehormatan dari suatu sekolah tinggi teologi tak terkenal di California.

Dia berada di Jerman selama 20 tahun sebagai pendeta gereja sebelum kembali ke AS tahun 2001. Di Jerman, dia meninggalkan belang karena ada tuduhan mencampur keuangan gereja dengan bisnis furnitur pribadi mereka. Dia juga pernah didenda 3.000 euro karena menggunakan gelar doktor yang ternyata palsu.

Gereja Jones di Jerman juga menolak rencana pembakaran kitab suci tersebut dan memutuskan hubungan dengan Jones. “Hal yang dia hujat justru yang dia lakukan : jalan kekerasan,” kata Stephen Baar dari Gereja di Cologne.

Anak Jones, Emma, bahkan menyebut ayahnya maupun Dove World Outreach Center sebagai kelompok “punya keterbelakangan mental”. Emma sudah lama putus hubungan dengan orang tuanya.

Di AS, Jones dan istrinya, Silvia, juga dituding mengelabui anak didik mereka dalam bidang agama sebagai karyawan bisnis furnitur mereka. Anak-anak didik itu tak digaji. Pemerintah setempat juga menyelidiki dugaan penyelewengan pajak perusahaan Jones.

Fakta tersebut, semuanya luput dari masyarakat AS karena media butuh Terry untuk membuat isu berlarut-larut. Jones mengatakan sudah 150 wawancara menunggunya.

Tapi siapa sebenarnya yang paling menjadi korban dari praktik goreng berita? Korban terbesar justru rakyat AS, yang “diadu” untuk bersikap mendukung atau menolak rencana community center di Park51. Para kerabat serangan 9/11 juga terpaksa memilih sikap. Lebih dari seribu orang dari masing-masing kubu berunjuk rasa di sekitar lokasi Ground Zero pada 11 September 2010.

Cuma sebagian kerabat korban serangan 9/11 yang sadar bahwa Ground Zero telah digunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Alyson Low (39), yang kehilangan adiknya, Sara Low dalam serangan tersebut, menulis kalimat di sebelah foto mendiang adiknya saat peringatan peristiwa 9/11 di dekat Ground Zero.

“Hari ini hanya untuk adikku dan semua yang terbunuh sembilan tahun lalu,” tulisnya. “Saya bosan dengan pembicaraan soal lain, soal politik. Hari ini adalah hari untuk mereka yang gugur.”

Stephanie Parker, yang ayahnya juga tewas dalam serangan itu, mengemukakan “peringatan kali ini sudah ditumpangi.” katanya. Parker ikut bersama sekitar 2.000 orang lainnya berunjuk rasa mendukung community center itu. “Ini pertama kalinya aku turun ke jalan untuk memperingati serangan itu. Sebagai saudara dari korban, aku akan mendukung toleransi,” katanya.

Para konsumen media AS tak semuanya menelan mentah-mentah agenda tertenut yang disajikan. Seorang pembaca USATODAY, Lucinda Mosher, dalam suratnya mempertanyakan media yang memberi porsi besar kepada hal-hal yang menganggu dan membahayakan seperti rencana Jones.

“Sebaliknya, sosok maupun organisasi yang selalu mengusahakan kerjasama antar iman, keadilan dan kolaborasi, justru tertutupi,” keluh Mosher.

Dia mengingatkan, jika media benar-benar sebagai pilar demokrasi dan membuka diskusi menuju supremasi sipil, maka media punya kewajiban menjaga keseimbangan dalam wacana sipil, budaya dan keragaman agama.

Suatu studi menyebutkan bahwa satu berita tentang hal buruk baru bisa diimbangi oleh empat berita tentang hal baik. Masalahnya, media masih menganut “bad news is good news”. Berita tentang hal buruk lebih menarik perhatian pembaca, dan pada zaman ini, minat pembaca lebih mudah diketahui lewat jumlah hit di internet.

Sebelum praktik pemilihan isu memakan korban lagi, mungkin sudah saatnya media merenungkan ucapan Bill Keller, redaktur eksekutif The New York Times yang mengkritik pemilihan berita berdasarkan web traffic.

“Kita seharusnya tidak didikte oleh matriks. Kita yakin pembaca memilih kita karena kita punya pendirian sendiri dan tak ikut pendapat massa. Kita bukan American Idol.” (a038/a038/ART/ant)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (9 votes, average: 8.78 out of 5)
Loading...

Tentang

Tim dakwatuna adalah tim redaksi yang mengelola dakwatuna.com. Mereka terdiri dari dewan redaksi dan redaktur pelaksana dakwatuna.com

Lihat Juga

Sambut Ramadhan dengan Belajar Quran Bersama BisaQuran

Figure
Organization