Topic
Home / Berita / Opini / Membaca Masa Depan Perang Suriah

Membaca Masa Depan Perang Suriah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi - Peta Suriah (inet)
Ilustrasi – Peta Suriah (inet)

dakwatuna.com – Perang Suriah hendak memasuki tahun keenamnya dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Menurut estimasi PBB, hingga kini perang itu telah menelan lebih dari 400.000 korban jiwa dan menjadikan sekitar empat juta orang sebagai pengungsi.

Perang yang terpantik akibat penembakan demonstran oleh aparat keamanan Suriah pada tahun 2011 itu telah berkembang sedemikian rupa. Awalnya hanya dua pihak yang berkonflik: oposisi vis a vis pemerintah. Pada tahun 2014, dengan adanya deklarasi pembentukan khilafah oleh Abu Bakar Al Baghdadi, resmilah ISIS terlibat dalam konflik melawan oposisi dan pemerintah Suriah. Seiring waktu, bangsa Kurdi yang bercita-cita memerdekakan diri sebagai negara berdaulat juga melibatkan diri dalam perang tersebut.

Di tengah terjadinya kemelut konflik domestik di Suriah, komunitas internasional yang memiliki kepentingan di sana juga turut ‘meramaikan’ jalannya konflik. Tahun 2014, Amerika Serikat membentuk koalisi untuk memerangi ISIS di Irak dan Suriah. Koalisi tersebut memerangi ISIS dengan melakukan serangkaian serangan udara. Selain memerangi ISIS, AS juga memiliki agenda untuk membangun demokrasi di Suriah dengan mendukung pasukan oposisi –yang juga dibantu oleh Arab Saudi. Belakangan, AS juga menggelontorkan dana untuk mempersenjatai masyarakat Kurdi, baik untuk melawan ISIS maupun untuk menggolkan tujuannya menjadi negara merdeka.

Di sisi lain, pemerintah Suriah yang mendapatkan perlawanan dari segala arah tak kalah dukungannya. Setelah sekian lama dibela oleh Rusia –dan juga China- di Dewan Keamanan PBB sejak perang berlangsung, pemerintah Suriah resmi mendapat dukungan riil berupa bantuan militer pada 30 September 2015 dari negeri Beruang Putih tersebut. Selain dari Rusia, Iran dan organisasi Hezbollah Lebanon juga memberikan bantuan pada Assad atas dasar kedekatan ideologis dan merupakan antitesis keberpihakan Saudi pada oposisi.

Dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, resmilah permasalahan domestik Suriah menjadi suatu bentuk perang proxy kekuatan eksternal –baik regional: Saudi-Iran, maupun internasional: AS-Rusia. Adapun ISIS dan Kurdi adalah pihak pengganggu (instrusive system) yang juga menjadi “kerikil dalam sepatu” yang menyulitkan upaya resolusi konflik. Karena bagaimanapun juga ISIS dan Kurdi sulit untuk diajak berunding, apalagi salah satunya adalah kelompok teroris.

Staffan de Mistura, Utusan Khusus PBB untuk Suriah berpendapat bahwa Perang Suriah merupakan tragedi kemanusiaan paling buruk sejak Perang Dunia Kedua. Dalam pengalamannya mengawal 19 perang selama 46 tahun dengan PBB –termasuk Irak, Afghanistan dan Balkan- tidak pernah ditemuinya aktor-aktor terlibat dengan kepentingan masing-masing sebanyak yang ada di Perang Suriah.

Keberadaan Bashar Al Assad sebagai pemimpin pemerintah Suriah awalnya menjadi masalah utama. Beberapa kali dibahas dalam sidang Dewan Keamanan PBB, Assad tidak berkehendak menyerahkan kekuasaannya pada suksesi pemerintahan demokratis. Namun pada akhir 2015 lalu akhirnya Assad terpaksa tunduk pada keputusan komunitas internasional. DK PBB kemudian sepakat mengeluarkan resolusi 2254 –sebagai resolusi pertama yang disepakati oleh PBB terhadap Perang Suriah- yang menandai perlunya melakukan transisi pemerintahan di Suriah . Hanya saja, dalam resolusi tersebut Assad akan turun setelah dilaksanakan pemilu yang bebas dan adil sekitar 1,5 tahun ke depan.

Setelah DK PBB mengeluarkan resolusi itu, beberapa negosiasi Suriah-Suriah dilaksanakan pada awal Februari 2016 di Jenewa. Dalam negosiasi itu hanya dilibatkan pihak oposisi (High Negotiation Committee) dan pihak pemerintah. Adapun Kurdi dan ISIS tidak termasuk. Meski dengan itikad baik mendamaikan Suriah, PBB yang diwakili oleh Mistura gagal mencapai kesepakatan dalam negosiasi tersebut. Mistura mengatakan bahwa negosiasi akan berlanjut tapi hingga sekarang tak kunjung dilaksanakan.

Kabar terbaru, pada 10 September 2016 Rusia dan Amerika Serikat sepakat melaksanakan gencatan senjata. Bantuan logistik dan makanan berdatangan pada saat gencatan senjata tersebut. Namun lagi-lagi gencatan senjata itu runtuh seketika saat Senin lalu (20/9/2016) ada pihak membombardir Allepo bagian Timur. Seperti biasa, para pihak saling melontarkan tudingan satu sama lain atas kejadian itu.

Masa Depan Suriah

Sulit untuk menebak apa yang akan terjadi dengan negara dengan nomenklatur resmi Republik Arab Suriah itu. Hingga kini, Suriah telah terfragmentasi menjadi empat wilayah: (1) dikuasai pemerintah, (2) dikuasai pemberontak/oposisi, (3) dikuasai Kurdi, dan (4) dikuasai ISIS. Meski dalam beberapa sisi pemerintah Suriah masih bisa menjalankan negara, tapi Suriah telah jatuh dalam kondisi yang tidak stabil. Satu-satunya sebab mengapa pemerintah Suriah masih bisa berdiri adalah bantuan Rusia dan Iran. Apabila bantuan itu ditarik, pastilah pemerintah Suriah sudah jatuh.

Sayangnya, kalaupun pemerintah jatuh, itu juga akan menyebabkan buah simalakama bagi Suriah sendiri. Bisa jadi Suriah dikuasai oleh ISIS terlebih dahulu sebelum adanya transisi pemerintahan yang wajar. Belum lagi akan cukup membutuhkan banyak waktu bagi rakyat Suriah untuk melakukan rekonsiliasi pasca perang. Bisa juga terjadi seperti apa yang terjadi di Libya di mana oposisi yang bersatu melawan Qaddafi terpecah ketika di antara mereka berebut memegang kuasa di pemerintahan yang baru.

Ada juga kemungkinan Suriah terpecah menjadi beberapa negara, hanya saja kemungkinannya kecil. Karena untuk saat ini, pasukan koalisi oposisi Assad yang jumlahnya banyak itu masih memimpikan hengkangnya Assad dari Suriah ketimbang membuat negara tandingan di sebelahnya. Bagi mereka, tujuan Perang Suriah hanya satu: turunkan Assad lalu bentuk pemerintahan sesuai yang rakyat Suriah kehendaki (tentu dengan versi oposisi).

Bagaimanapun Perang Suriah tidak akan berakhir jika masing-masing pihak belum bisa mengendurkan kepentingannya. Masing-masing pihak masih berani mempertahankan kepentingannya dan berlaga di medan perang karena tentunya mereka masih memiliki sumber daya. Sumber daya itu adalah sumber perang itu sendiri yang didatangkan dari luar, yaitu pihak-pihak eksternal yang memiliki agenda perang proxy di Suriah. Agaknya itu yang perlu diatasi dan menjadi konsentrasi PBB dalam proses perdamaian Suriah.

Sayangnya PBB melalui utusan khususnya tidak bisa berbuat banyak karena yang berkepentingan dalam Perang Suriah juga bagian dari anggota tetap DK PBB: Amerika Serikat dan Rusia yang sewaktu-waktu dapat menjatuhkan veto ketika putusan DK tak sesuai kepentingan mereka. Kita hanya bisa berharap, barangkali ke depannya salah satu pihak ada yang mengalah demi perdamaian. Contohnya seperti apa yang dilakukan Mikhail Gorbachev yang akhirnya berkontribusi pada berakhirnya Perang Dingin. (dakwatuna.com/hdn)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Pengamat Timur Tengah.

Lihat Juga

Erdogan Bantah Turki Berniat Kuasai Wilayah Negara Lain

Figure
Organization