Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Pelaku Nikah Muda itu Ibuku!

Pelaku Nikah Muda itu Ibuku!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (jilbabcantig.blogspot.com)
ilustrasi (jilbabcantig.blogspot.com)

dakwatuna.com – Gerimis kala itu menambah khidmat kebersamaan empat mata kami. Ada aku yang lebih sering merencanakan masa depan, sedang lawan bicaraku asyik bernostalgia dengan masa lalunya. Iya, wanita di sampingku itu adalah ibuku. Teman mengobrol di setiap waktu, terlebih ketika liburan semester perkuliahan.

“Ibu, apa kabar? Selama 1 bulan ini kesehatan Ibu bagaimana?” tanyaku memulai percakapan. Ibuku memang sejak lama memiliki penyakit Diabetes millitus dan sudah sering mengalami kecelekaan-kecelakaan seperti luka yang awalnya kami (bapak dan kakak-kakak) beranggapan bahwa luka itu tidak bermasalah namun nyatanya luka itu membutuhkan pengobatan dan perawatan lebih dari 3 bulan lamanya.

“Alhamdulillah, Ibu baik Nak. Lihat lutut Ibu, sudah tertutup lukanya, Alhamdulillah” jawab Ibu dengan wajah meneduhkan seolah sakit di lututnya tertupi dengan kehadiranku. Iya, luka itu memperlihatkan seperti apa tulang yang tertupi daging di bagian tempurung lutut.

Mudah saja membuat Ibu sedih sehingga penyakitnya pun mudah kambuh, cukup mengingat aku yang sedang berada di perantauan untuk mencari ilmu, apalagi ketika aku mengabari bahwa aku sedang sakit, dan berulang kali nasihat untuk menjaga kesehatan aku terima dari beliau dan nasihat itu “Nak, kalau sudah waktunya makan, langsung makan saja tidak perlu menunggu sampai benar-benar lapar, stop dulu mengerjakan tugasnya lalu dilanjut setelah makan.”

Ya, begitulah. Perhatian Ibu saat ini memang hanya terfokus padaku, karena aku adalah anak bungsu kesayangannya. Aku anak keempat dan semua saudaraku adalah perempuan. Kata Ibu, dulu memiliki anak pertama ketika usia 14 tahun, dan anak pertama Ibu adalah kakak tiriku dengan suami pertamanya (sekarang mantan suami Ibu sudah meninggal). Kakak tiriku adalah seorang perempuan. Di saat kakak tiri berusia 2 tahun, Ibu dan Bapak kakak tiri bercerai sehingga, saat itu usia Ibu baru 17 tahun dan menikah lagi dengan Bapak.

Kala senja, pernah aku bertanya tentang masa gadis Ibu. “Ibu dulu nikah usia berapa?”

Dengan gamang Ibu menjawab, “Usia 14 tahun Nak. Dulu kata kakekmu, ibarat disinetron, Ibu itu kembang desa Nak. Ada seorang perangkat desa yang menyukai Ibu, ada juga pengusaha beras yang juga menyukai Ibu. Sebelum Ibu menikah dengan suami pertama, Ibu sering diganggu dengan bertanya ‘Nanti kau ku lamar ya, Halima.’ Mungkin karena mereka terpesona dengan paras Ibu sehingga mudah lidah mereka berucap seperti itu. Karena Ibu orang yang cukup cuek dengan hal yang seperti itu, yang Ibu lakukan hanya diam, dan selang beberapa bulan ada perangkat desa yang pernah suka sama Ibu itu melamar Ibu saat usia Ibu 14 tahun. Dan kakekmu menyetujuinya. Kata kakekmu begini ‘Dari pada anak gadisku diganggu oleh yang bukan mahramnya, memang lebih baik aku menikahkan dia, agar terjaga kehormatannya sebagai perempuan’ Ibu pun menyetujuinya.”

Ya… Ibuku adalah pelaku nikah muda pada zamannya. Di mana pendidikan belum terlalu mudah dijangkau oleh semua kalangan, mudahnya memalsukan kartu tanda penduduk agar banyak wanita dapat menikah di usia 17 tahun sesuai kebijakan pemerintah padahal nyatanya usia mereka masih di bawah 17 tahun, dan sekelumit permasalahan sosial lainnya.

Dan, meski Ibu bukan seorang yang berpendidikan tinggi, akan tetapi ilmu agama yang diperoleh dari sebuah pondok pesantren di mana Ibu pernah menuntut ilmu di sana tetap melekat dalam relung hatinya. Ibu berupaya mengikuti tuntunan agama terlebih kakek yang masih memiliki keakraban dengan salah satu pemuka agama di dekat kampung sebelah. Lumayan kuat dari segi agama di keluarga kami. Keluarga yang tetap menuntut jika kelak anak gadisnya menikah maka yang harus ditemui laki-laki tersebut adalah walinya bukan si gadis. Dan terbukti, ketiga kakakku, dan kakak tiriku menikah dengan lelaki yang telah disetujui keluarga kami, dan hanya tersisa aku yang paling bungsu.

“Jangan pacaran ya Nak! Karena lelaki yang memang niat untuk membersamaimu pasti datangnya ke kami (Ibu dan Bapak) bukan kepadamu. Maka belajarlah yang rajin, cari ilmu yang berkah. Ilmu yang berkah itu didasari dengan hati yang niat belajar karena Allah” nasihat ibu untuk menyemangatiku agar tidak berpacaran dan semangat mencari ilmu.

Nasihat “Jangan pacaran” seolah menjadi ramuan mujarab ketika hiruk pikuk dunia remaja yang memborbardirkan pacaran. Secara pribadi, rasa suka terhadap lawan jenis memang terkadang ada, dan bahkan bergelora. Bergelora ketika wanita seusiaku dengan komitmennya menerima pinangan lelaki yang nanti disebutnya sebagai suami. Melihat keharmonisan mereka sungguh menjadi stimulan bagiku untuk tetap memantaskan diri, menambah ilmu agama sekaligus ilmu pengetahuan. Karena perempuan adalah tiang negara, maka sudah sepantasnya perempuan itu memiliki wawasan yang luas, tetap lembut, tegas namun bukan keras kepala, santun dan penuh kasih sayang serta perhatian.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization