Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Aku (tak) Ingin Menikah

Aku (tak) Ingin Menikah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Sepi menjelang malam, di antara sentuhan hawa dingin lereng Sindoro yang khas. Terus kumenarikan jemari, merangkai kepingan mozaik memoar dalam sendiri.

Terangkai jelas dalam lobus parietalisku tentang diskusi bersama kak Yulia yang sering menemaniku check up rutin di RSUP DR. Kariadi, juga dengan kak Yayah kala itu. Tentang aku yang mendamba imam seorang dokter. Kata kak Yayah, “dokter itu biasanya menemukan jodoh gak jauh-jauh dari rumah sakit.” Dan dengan antusias aku menjawab, “gak harus dengan sesama dokter kak, kan bisa sama pasiennya.

Sebenarnya alasannya simpel sih, karena aku ingin suamiku sendiri yang mengobati sakitku, agar aku tak perlu berlama-lama menanti antrian di paviliun garuda ataupun poli 103, agar aku bisa segera ditangani ketika meringkuk kesakitan. Aku sudah terlalu jenuh dengan atmosfir rumah sakit, aku bosan. Aku ingin suamiku sendiri yang mendengar keluhan sakitku, ingin dia sendiri yang menusukkan jarum suntik di tanganku, karena aku merasakan betapa sakitnya ditusuk berulang kali untuk diambil sampel darah ataupun diinfus dengan kondisi nadiku yang selalu sulit ditemukan, akan beda rasanya ketika suami sendiri yang melakukan itu, karena dia pasti bisa memahami ketakutanku dan akan melakukan dengan sangat hati-hati juga penuh cinta.

Atau… masih teringat jelas ketika seseorang yang pernah berarti dalam fase awalku menapak dunia kampus, yang setiap aku sakit ataupun sedang menghadapi masalah pelik selalu berkata, “kalau ada yang meminang Anti lagi, terima aja. Biar ada yang membantu biaya berobat anti dan meringankan beban hidup anti.” Juga tentang keinginanku waktu itu, mengambil keputusan untuk menikah selang beberapa hari sepulang opname yang pertama.

Sederhana, hanya satu muara. Karena aku ingin ada yang menjaga, agar aku tak berjuang sendiri menghadapi sakitku, agar ada yang menguatkan, menemani juga mengimami shalatku kala aku harus terbaring lemah di bilik rawat inap RS, agar aku punya sandaran ketika menghadapi masalah yang meluruhkan sendi kekuatanku.

Aku lelah terus berjuang sendiri sedari aku masih belum mengenal abjad apalagi dinamika hidup, aku merasa beban ini berat di pundakku, menindih, menghimpit, memasungku dalam stagnasi bahkan ketakberdayaan diri, sekadar berdiri pun aku tumbang, jatuh tersungkur dalam kelemahan jasad juga sukma.

Namun kemudian, ketika aku terbangun dan menyadari semua itu hanya mimpi dalam imajinasi yang melambung tinggi. Aku belajar mengerti, aku harus tahu, pernikahan tidak sesederhana anganku. Pernikahan adalah keputusan untuk seumur hidup, tak bisa gegabah dalam mengambil keputusan. Tak cukup hanya atas dasar ego dan mimpi memiliki seorang sandaran, serta suami bukan seorang pelayan….

Pernikahan bukan saja mencari teman dan sandaran yang bisa menjagaku kala aku terbaring tak berdaya. Lebih dari itu… butuh filtrasi orientasi agar muara berfokus hanya karena ingin memperoleh keridhaan-Nya, juga butuh persiapan dari segala aspek dalam diri. Tentang keshalihan diri agar bisa menghidupkan ruh islami dalam peradaban yang terbentuk pada keluarga baru, tentang kesanggupan mental meluruhkan idealisme dan ego agar bisa berakulturasi dengan idealisme pasangan, tentang manajemen emosi yang harus terkendali ketika terbentur pada bilik perbedaan dengan pasangan, tentang proteksi hati terhadap muslihat cemburu buta, tentang kerelaan mendarmabaktikan diri dalam pengabdian terhadap keluarga, tentang keseimbangan bakti pada orangtua juga mertua dan penyesuaian diri terhadap keluarga pasangan agar bisa menempatkan diri pada kultur yang boleh jadi berbeda dengan yang biasa dijalani, tentang manajemen keuangan yang harus dipetakan secara bijak, tentang sudut pandang hidup yang tak lagi bisa sama seperti ketika masih sendiri. Lebih penting lagi, tentang cinta tak bersyarat yang tumbuh karena-Nya dalam pemenuhan kewajiban sebagai seorang istri, juga bekal keilmuan tentang bagaimana menjadi seorang ibu shalihah untuk anak-anak kelak.

Yaa Allah… izinkan aku bertutur, bercakap tentang isyarat hati

pada penghambaan yang kujalani

aku tak ingin menikah (jika cintaku masih bersyarat)

Aku takut… aku tak ingin cintaku hanya kesemuan dan akan terkoyak kala aku tak mendapat yang aku ingini.

Biar aku merangkai jejak ikhtiar dalam fase perbaikan diri meniti jalan untuk mencapai puncak kualitas iman, agar aku tak terperangkap, agar aku tak berkamuflase dalam jasad budak ambisi.

Biar… biar aku kini sendiri, mengikut titah takdir dalam ketangguhan diri yang kembali aku bangun, juga belajar membaguskan diri menggapai cantik sempurna sebagai muslimah sejati.

Yaa Allah… aku tak ingin menikah (jika bukan karena Engkau)

Aku takut cintaku membuatku lalai

Membutatulikan naluri, abaikan kepatuhan diri….

cermin kecil, dalam muhasabah tepian awal malam 19 Ramadhan

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Sosok biasa yang terus belajar untuk menjadi luar biasa, karena-Nya ...

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization