Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Robohnya Kelas Kami

Robohnya Kelas Kami

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Epong Utami)
Ilustrasi. (Epong Utami)

dakwatuna.com – Pagi menyingsing, waktu baru saja menunjukkan pukul 05.00. Seusai shalat shubuh, tempat tinggalku yang memang tidak jauh dari sekolah diramaikan oleh suara bising anak-anak yang saling berkejaran. Hari itu adalah hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru. Selepas subuh para laskar borneoku yang memang sedari tadi telah tiba lebih dulu datang ke sekolah kini memasang tubuh mereka di depan kelas yang masih terkunci.

Lain hal yang baru saja selesai aku lakukan, aku masih memantaskan diri dan sibuk mencari pakaian yang aku kenakan di hari istimewa itu. Selesai dengan banyaknya pilihan, segera aku pun menuju sekolah dan menyapa satu persatu siswa-siswaku. Melewati mereka yang masih berlarian, aku pun menuju ruang guru untuk melempar badanku di atas sofa empuk. Belum lagi satu menit aku beristirahat, siswaku pun berteriak-teriak mencariku. “Ibu, Ibu, dimanelah kelas kami?” tanyanya pada ku. “kelas berapelah kita?”tanyaku kembali. “kelas IIB” jawabnya lagi.

“ayolah ikuti Ibu” ajakku pada mereka sembari menuju kelas yang letaknya berhadapan dengan ruang guru. Kenyataan menyadarkan kami, kelas yang semula digunakan sebagai asrama guru itu kini porak poranda seperti wilayah yang hancur lebur akibat terkena bom atom paska perang dunia kedua. Sepertinya akibat hujan selama tiga hari berturut-turut dan disertai dengan terjangan angin besar membuat atap-atap dari seng itu berterbangan dan lantai-lantai yang terbuat dari kayu tertimpa kayu atap sehingga lantai itupun kini amblas sampai membentuk lubang besar yang menganga.

Seng-seng yang terlepas berhasil diselamatkan serta diamankan di ruang guru hal ini dilakukan karena beberapa minggu terakhir atap seng di kelas IV dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Wajah yang penuh dengan kebingungan, akhirnya aku pun mengajak mereka masuk ke kelas IIA. Merekapun berduyun-duyun memenuhi ruangan yang ukurannya tidak lebih dari kamar kost.

Siswi yang tidak dapat bangku menangis karena tidak berhasil mendapat bangku hasil rebutan dengan kawannya yang lelaki. Kursi yang hanya tersedia untuk 20 orang itu terpaksa harus disusupi dengan jumlah 44 orang. Ketidakpuasan akhirnya membuat para siswa yang lelaki keluar kelas dan lebih memilih duduk di kelasnya yang lama, kelas IB. Aku yang mencoba mengatur kelas itu, meminta para siswa lainnya untuk memindahkan kursi dan meja yang kurang dari kelas yang rubuh ke kelas IIA.

Sebenarnya kelas yang tidak layak ini sudah sejak awal tahun akan dipindahkan ke ruangan baru namun terkendala pembangunan akhirnya siswa pun terpaksa harus belajar di ruangan yang sudah reyot dan mengancam keselamatan siswa. Kayu-kayu lantai sudah berdecit, atap yang terlepas dari posisinya, serta dinding yang catnya sudah terkelupas menambah suasana ancaman besar bagi keselamatan mereka.

Pembangunan ruangan baru pada akhirnya berjalan dengan alot, ruangan yang tanahnya hasil wakaf ini berulang kali berhenti pembangunannya diakibatkan tidak adanya material untuk pembangunan. Sebenarnya sang kepala sekolah sudah mengupayakan penambahan lokal ruangan sejak setahun lalu. Jumlah yang membludak tiap tahunnya untuk siswa baru ini tidak dapat menghentikan pendaftaran siswa baru maka kepala sekolah pun memutuskan untuk tetap menerima siswa baru daripada harus membuat mereka menunggu satu tahun lagi untuk bersekolah. Segala upaya pembangunan selain permohonan bantuan ke dinas, sumbangan bata pun dilakukan guna penambahan lokal di sekolah itu.

Aku dan siswaku mulai bergotong royong memindahan bangku-bangku dan meja tapi rupanya ruangan sempit ini tidak kuasa lagi untuk menambah anggota perlengkapan kelas. Upaya agar siswa dapat duduk justru menambah sesak kelas karena penuhnya bangku dan meja. Melihat kondisi tersebut, aku pun berkonsultasi dengan kepala sekolah untuk mencari solusi terbaik agar mereka dapat nyaman belajar. Perpustakaan adalah satu-satunya alternatif yang terpikirkan, tak ada ruangan lain selain ruangan itu yang dapat digunakan.

Tanpa pikir panjang, para siswa kelas IIB aku pindahkan ke perpustakaan. Kelas IIA yang sebelumnya disesaki dengan bangku dan meja harus dirapihkan kembali. Masih dengan satu rekan angkat bangku dan meja yaitu siswa ku kelas III, kembali aku meminta bantuannya untuk mengembalikan barang-barang tersebut ke tempatnya semula. Rupanya kelas lainpun, kekurangan barang tersebut. Alih-alih akan dipindahkan ke ruangan lama, pagi itu kami kembali disibukkan dengan acara mengangkat-angkat bangku dan meja. Di bulan ramadhan kali ini, di awal tahun ajaran baru ritual rutin memindahkan barang seperti kebutuhan yang perlu dicukupi. Hal ini karena, jumlah siswa yang tidak seimbang dengan ruangan kelas serta kelengkapan kelas lainnya.

Pada beberapa kelas lainnya yang tidak mendapat bangku dan meja dipaksa harus duduk bertiga. Dalam ruang yang terbatas dan siswa yang membludak menyiasati kegiatan belajar mengajar yang efektif menjadi satu hal yang harus dipikirkan olehku. Moment terbaik di tahun ajaran baru yaitu dengan menyuguhkan mereka kegiatan motivasi. Bersama kang Elan, pejuang kota bangun yang merupakan sama-sama guru SGI di wilayah penempatan ini. Kami pun bermain di luar kelas dengan beberapa permainan konsentrasi seperti gajah besar, semut kecil dan gerakan tangan yang berlawanan dari kata yang diucapkan.

Beberapa permainan kami adakan di lapangan, di depan kelas roboh itu semangat belajar sambil bermain tidak sedikitpun memudar dari wajah-wajah mereka. Selain permainan, mendongeng menjadi salah satu bahan kesenangan. Kang Elan dengan boneka dongengnya mulai bercerita tentang anak shalih dan anak pintar andalannya. Siswa-siswa yang mendengarkan dengan seksama memperhatikan cerita demi cerita yang dibawakan oleh kang Elan. Kegembiraan dan senyum-senyum para laskar borneo mewarnai hari itu meski kami sama-sama tahu setelah ini kami akan kembali disibukkan dengan padatnya jadwal pelajaran dan ritual rutin mengangkat dan memindahkan bangku dan meja.

Tak ada kelas untuk belajar bukan berarti kesenangan berkurang, nyatanya kelas rubuh itu menjadi agenda kedekatanku dengan para laskar borneo. Tentu dengan ritual mengangkat bangku dan meja, meski lelah karena kami sedang berpuasa tapi kami cukup puas dengan hasil kinerja kami ditambah belajar dan bermain di luar ruangan tidak membatasi kami untuk tetap bergembira di hari pertama, tahun ajaran baru.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumni Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa angkatan IV. sekarang menjadi volunteer sebagai Sekretaris KLIPNUS (Klinik Pendidikan Nusantara) menangani Training untuk Guru dan Siswa. serta KLIPNUS memiliki rumah baca yang disebut Kolong Ilmu. beberapa kegiatan kami diantaranya Indonesia Ceria dan Training for Teacher. Semoga Kami senantiasa bermanfaat. Klipnus : Build Better Indonesian Education

Lihat Juga

Program Polisi Pi Ajar Sekolah, Pengabdian Polisi Jadi Guru SD dan TK

Figure
Organization