Topic
Home / Pemuda / Mimbar Kampus / Jangan Remehkan Masjid Kampus

Jangan Remehkan Masjid Kampus

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (panoramio.com)
Ilustrasi. (panoramio.com)

dakwatuna.com – Langit terasa gelap, begitupun warna dan auranya, masih juga menggelayuti hati. Beda ketika ia telah berkomitmen dengan keimanan dan ketakwaannya, hatinya akan terus bercahaya di kondisi segelap apapun. Maghrib baru saja berlalu, aku gas motorku dengan perlahan melintasi jalan yang tak kunjung habis, menuju sebuah rumah di dekat bukit, rumah yang tak asing lagi bagi kami para aktivis dakwah kampus Universitas Tadulako. Rumah berwarna putih dengan pekarangan yang sangat luas, ada beberapa pohon mangga tumbuh di pekarangan itu. Pintu masuk ke rumah sederhana itu terletak di bagian selatan dengan pintu yang hanya bisa dimasuki motor dan pintu bagian barat yang besar dan bisa di masuki mobil. Pagar yang menjadi batas pekarangan pun hanya pagar kayu sederhana yang berwarna putih. Beberapa kayu sudah tampak lapuk tetapi masih bisa melindungi pekarangan luas dan rumah sederhana itu dari hewan-hewan ternak yang ingin masuk. Perlahan kuparkir motor di depan pintu bagian barat, kudorong pelan-pelan pintu pagar lalu masuk ke dalamnya. Motor yang kupakai hanyalah motor tua namun memiliki banyak sejarah perjuangan sejak dari masa jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Motor tua yang tahun ini genap berusia kurang lebih sebelas tahun, dengan segala kisah suka maupun duka. Motor tua produk Jepang yang sudah kuanggap bagai kuda perang. Dipakai sebagai kendaraan menjalankan kegiatan-kegiatan organisatoris dan pergerakan mahasiswa. Mengantar sang pemilik motor untuk mengisi mentoring, mengisi training, menghadiri undangan, dan menghadiri forum-forum diskusi pemuda. Aku berjalan melintasi pekarangan lalu mengucapkan salam sesampainya di teras rumah itu.

Saat itu masih tahun 2012, amanah sebagai ketua lembaga dakwah kampus masih berada di pundakku. Kulihat sosok Bapak yang tak lagi muda dan sudah berumur, rambutnya sudah memutih, matanya agak sayup namun masih mampu menatap tajam lawan bicaranya. Dari jauh telah tampak aura kebijaksanaan. Bapak DR. Ir. Hamid Nur, MS namanya. Beliau berprofesi sebagai guru besar dan anggota dewan senat di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Beliau juga menjabat sebagai Ketua Panitia Hari Besar Islam (PHBI) Universitas Tadulako dan juga salah satu pembina kami di Lembaga Dakwah Kampus. Beliau duduk di beranda rumahnya sambil tersenyum ramah kepadaku, mengajakku untuk duduk di sampingnya. Detik yang beralun-alun tak membuatku gelisah karena aliran petuah-petuah ini begitu alami. Petuah-petuah khas aktivis pra-reformasi yang sudah merasakan asam garam dan pahit kecut dinamika kemahasiswaan di zaman orde baru. Saat di mana kebebasan berekspresi benar-benar dikekang dengan dalih kesejahteraan bisa terwujud karena ekonomi yang berdikari. Terlalu tinggi ekspektasi pemerintah di zaman orde baru, tidak realistis, justru yang terjadi adalah kesenjangan sosial yang semakin berjarak di tambah lagi kebebasan bisa saja dibungkam dengan teror ideologi dan teror timah panas.

Petuah-petuah yang disampaikan oleh orang tua yang sangat kami hormati ini berisi tentang visi dan misi besar, ada sejuta bahkan tak terhitung jumlah manfaat dari gagasan ini. Tentang dua hal yang tak bisa dipisahkan seumur hidup, tentang dua suar cahaya di kampus bumi kaktus yang akan terus berdampingan mengantar masyarakat intelektual ini menuju puncak peradaban.

Beberapa saat jantungku langsung berdegup kencang, darah mengalir semakin cepat, sempat merinding kudengar ide-ide ini. Begitu banyak ide yang langsung terbersit buru-buru kukumpulkan dan kuramu dalam satu konsep komprehensif di dalam kepalaku. Saat darahku semakin banyak terpusat di kepala karena berpikir, menganalisa, dan coba mengingat setiap untaian kata dari pembina lembaga kami ini. Ide-ide klasik dan mulai terlupakan oleh sebagian besar aktivis dakwah ini membuat emosiku mengalir bagai air namun terkontrol, mataku sempat terbelalak, badanku panas dingin namun bukan gejala demam, adrenalinku terpacu, tubuhku pun sepertinya gemetaran menahan aliran ide-ide yang ingin segera diaktualisasikan dalam program kerja dan kerja nyata. Sesekali kutengok BlackBerry-ku untuk mengecek recent updates dari BlackBerry Messenger. Saat itu aktivis yang punya smartphone masih sangat sedikit, entah harganya terlampau mahal atau masih kurangnya kesadaran dakwah via informasi dan media yang multi ple effect-nya luar biasa. Nasihat-nasihat dari pembina lembaga kami ini sangat luar biasa, mengingat beliau juga dulunya adalah seorang aktivis dakwah kampus juga. Beberapa short message service (SMS) masuk namun aku tak menghiraukannya. Derasnya aliran gagasan ini membuat kularut di dalamnya, untuk menganalisa, mengambil hikmah, dan tidak sabar untuk segera bergerak di lapangan.

Lanjut kisah, karena begitu derasnya aliran ide emas ini, hatiku dan jiwaku ingin menitikkan air mata, tak tahu apakah aku berhak gembira, berhak kecewa, atau biasa-biasa saja mendengarnya. Ternyata aku memang tetap harus menunjukkan ekspresi untuk menunjukkan antusiasme. Aku tak dapat menyangkalnya, ide inilah yang kemudian milestone perubahan ketika Rasulullah SAW membangun contoh peradaban ideal di Kota Madinah Al-Munawarah. Gagasan inilah yang menjadi kunci kemenangan para panglima-panglima besar Islam ternama di zamannya sebut saja Khalid bin Walid, Shalahuddin Al-Ayyubi, Sultan Muhammad Al-Fatih, dan Thariq Bin Ziyad. Para tokoh-tokoh yang tak pernah memisahkan urusan agama dan negara, urusan Islam dan pemerintahan, serta menyadari bahwa Dakwah dan Masjid adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan juga.

Sejenak, aku kembali mengingat-ingat dan menyegarkan kembali memori daya pikir. Flashback sejenak pengalaman yang kudapat ketika mengunjungi beberapa Lembaga Dakwah Kampus yang turut diperhitungkan eksistensinya di tingkat nasional. Mampu menjadi penggerak unit dakwah lain yang tergabung dalam Forum Silaturrahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK). Lembaga Dakwah Kampus yang mampu menjadi pusat inspirasi dan motivasi gerakan mahasiswa di daerah manapun. Sebut saja Lembaga Dakwah Kampus Jamaah Nurul Huda Universitas Sebelas Maret Solo, Lembaga Dakwah Kampus Keluarga Mahasiswa Islam Institut Teknologi Bandung, dan Lembaga Dakwah Kampus Salam Universitas Indonesia. Lembaga Dakwah Kampus yang selalu mengurusi Dakwah sambil mengurusi Masjid, tidak pernah menabrakkan antara urusan pembenahan internal strukturnya dan pelayanan terhadap jamaah masjid kampus, selalu mengutamakan urusan dakwah kampus dan masjid kampus tanpa memihak.

Dengan sepenuh kejujuran dan kacamata yang bebas dari segala prasangka, hal ini belum di perhatikan di Lembaga Dakwah Kampus di Kampus Bumi Kaktus ini. Padahal inilah Jalan menuju Tadulako Madani yang sering dikoar-koarkan tanpa memahami substansi sebenarnya. Dakwah Kampus dan Masjid Kampus tidak boleh sama sekali terpisah!! Bila ingin Kampus madani tak hanya sekedar mimpi, camkan hal ini!! Inilah jalan menuju kampus madani, menuju tadulako madani. Benahi dan beraksi dengan segera setelah membaca tulisan ini. Dengan perlahan, memperhitungkan dan mematangkan proses, step by step, slow but sure, dengan keyakinan dan azzam yang terpancang sambil menatap ke depan dengan penuh optimisme. Dari hati yang terdalam, serial menuju tadulako madani ini akan terus berlanjut, sambil terus mencoba menjadi teladan akan ucapan, karena perjuangan adalah pelaksanaan dari kata-kata yang terucap maupun tertulis. Sambil terus menantikan dan mencari ghirah sesungguhnya dari para pejuang dakwah kampus.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumni Universitas Tadulako Sulawesi Tengah, Penulis Lepas, Trainer Nasional Faktor Destruktif Remaja Kemenpora RI, Trainer Nasional Character Building Kemenpora RI, Aktif di KAPMEPI Sulawesi Selatan.

Lihat Juga

Seminar Nasional Kemasjidan, Masjid di Era Milenial

Figure
Organization