Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Ikhwan Yang Kucintai, Menikah Dengan Murabbiyahku

Ikhwan Yang Kucintai, Menikah Dengan Murabbiyahku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (kawanimut)
Ilustrasi. (kawanimut)

dakwatuna.com – “Assalamu’alaikum…,” sapaku pada Kak Amanda yang tengah sibuk dengan ponselnya di kamar.

“Wa’alaikum salam… Hei, An, sudah pulang kamu? Tumben cepat?” celoteh Kak Amanda sambil terus sibuk memekuni layar ponselnya.

“Hari ini enggak jadi liqa’, murabbiyahku tiba-tiba sakit,” ucapku tak bersemangat.

“Oh, ya sakit apa dia?”

“Katanya sih, maagnya kambuh.” Kak Amanda hanya manggut-manggut mendengar jawabanku barusan.

“Senang banget, Kak. Sedang SMS siapa sih?”

“Siapa lagi?” Kak Amanda tersipu mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.

“Kakak sedang SMS-an sama Kak Fatih?” selidikku.

“Yupz! Tepat sekali! Dia itu sangat menyenangkan ya, An?” nampak sekali raut kebahagiaan terpancar dari wajah manisnya yang putih mulus.

Astaghfirullah, Kakak! Kak Fatih itu sedang halaqah, Kak. Jangan diganggu dong!” tegurku pada kakakku yang sepertinya sedang terserang wabah virus merah jambu itu.

Kak Fatih adalah murabbi kelompok liqa ikhwan di sekolahku. Dia juga seorang aktifis rohis di kampusnya yang tak jauh dari sekolahku. Karena itulah dia beserta teman-temannya berinisiatif membina kelompok keagamaan di sekolahku.

Kak Amanda mengenalnya saat menjemputku di sekolah suatu sore. Saat menungguku yang masih ada agenda liqa itulah dia mengenal Kak Fatih yang kebetulan juga tengah menunggu temannya. Sebenarnya, Kak Amanda dan Kak Fatih satu kampus. Hanya saja, mereka berlainan fakultas.

Rupanya, perkenalan sore itu menghadirkan keakraban di antara mereka. Sejak saat itu, kuperhatikan tingkah Kak Amanda mulai berubah. Dia mulai rajin shalat, mengaji, dan membenahi pakaiannya dari yang semula agak ketat menjadi pakaian longgar yang tidak lagi menampilkan bentuk tubuhnya, serta mengganti jilbabnya menjadi jilbab lebar yang benar-benar jilbab, bukan lagi jilbab yang dililit-lilit sedemikian rupa.

Subhanallah… Alhamdulillah ya Allah. Engkau telah memberikan sedikit demi sedikit hidayah-Mu pada Kak Amanda,” ucapku dalam syukurku.

Belakangan, baru kuketahui bila perubahan-perubahan kakakku itu termotivasi oleh Kak Fatih. Pernah suatu ketika, aku iseng membuka kotak pesan kakakku saat dia tengah di kamar mandi. Kutemukan seabrek pesan singkat dari Kak Fatih. Kak Amanda begitu rajinnya melontarkan pertanyaan-pertanyaan seputar keislaman dan Kak Fatih pun dengan sabarnya menjelaskan secara detil setiap pertanyaan Kak Amanda.

“Ya, Allah… sudah sedekat inikah mereka rupanya?” pekikku dalam hati

***

“An, kok bisa ya Kak Fatih baik banget gitu?” tanya Kak Amanda selepas shalat Isya.

“Aduh, Kakak ini. Baru juga selesai shalat sudah ngomongin dia lagi. Jangan-jangan tadi pas lagi shalat, Kakak mikirin dia, ya?” Kak Amanda tersipu malu.

“Hmm… memang… baik gimana, Kak?” selidikku.

“Ya, baik. Dia itu lembut, sabar, udah gitu perhatian lagi.”

“Kakak suka sama Kak Fatih?” lagi-lagi aku menangkap rona merah pada wajah kakak.

“Cewek mana sih, An, yang nggak suka sama ikhwan sejati macam dia? sederhana dan bijaksana,” dengan semangatnya pujian demi pujian terhadap Kak Fatih terlontar dari bibir Kak Amanda.

“Hmm… Dia memang sejatinya ikhwan sempurna, Kak. Ya, setidaknya untuk masa sekarang ini. Tapi sebaiknya Kakak hati-hati.”

“Hati-hati? Maksud kamu??”

“Pastinya, bukan cuma Kakak yang memiliki perasaan seperti itu untuk seorang ikhwan sebaik dia. Annisa cuma nggak ingin nantinya Kakak menjadi kecewa karena terlalu dalam mengharapkannya,” ucapku sok menasihati.

“Kamu juga menyukainya, An?” tanya Kak Amanda harap-harap cemas.

“Kak… Annisa ini masih terlalu kecil untuk hal seperti itu. Baru juga kelas 3 SMA.”

“Gimana kalau ternyata Kak Fatih memilih kamu?” aku tersentak menerima pertanyaan itu.

“Jodoh itu sudah ada yang mengatur, Kak. Yang pastinya, Annisa bakal bersyukur banget bisa mendapatkan hatinya. So, Kakak harus menerimanya dengan ikhlas, ya? hehe,” jawabku berusaha santai.

Kak Amanda melempar gulingnya ke arahku, “Huu..!”

Aku menarik selimut dan membenamkan diriku di dalamnya. Membiarkan kehangatannya memelukku di sepanjang malam. Mengusir gundah yang tiba-tiba bertebaran dalam hatiku bersama secercah cemburu yang bergelayut di jiwaku.

***

Ada perasaan yang mulai mengganggu. Saat setiap hari aku harus menyaksikan raut kebahagiaan di wajah Kak Amanda setiap dia memegang ponselnya. Saat setiap malam aku harus mendengarkan cerita kakakku satu-satunya itu tentang kekagumannya pada Kak Fatih. Perasaan apa ini? Apa ini namanya cemburu?

Perlahan, aku mulai menjaga jarak dengan murabbi kelompok ikhwan itu. Aku nggak ingin perasaanku jatuh terlalu dalam pada kesehajaan ikhwan dambaan itu. Aku pun tak ingin membuat Kak Amanda kecewa bila dia mengetahui kedekatanku dengan Kak Fatih.

“Sudahlah, An. Nggak penting mikirin hal begituan. Mending fokus sama halaqah aja. Mana sebentar lagi Ujian Nasional,” aku berbicara pada diriku sendiri.

Terkadang… begitu ingin bercerita kepada murabbiku tentang kemelut perasaan ini. Tapi, aku malu. Aku malu karena telah gagal menjaga hatiku.

“SMS yang nggak penting itu sebaiknya nggak usah terlalu dihiraukan. Untuk menjaga hati aja,” begitulah kata murabbiyah cantikku itu saat aku kepergok tengah berSMS-an ria dengan Kak Fatih.

Ya, jauh sebelum Kak Amanda mengenal dan menjadi akrab dengan Kak Fatih, aku telah lebih dulu akrab dengannya. Aku sering berbagi cerita dengannya dan Kak Fatih sendiri pun seolah tak lagi segan untuk bercerita apapun padaku. Dia begitu mengerti aku dan selalu memberikan semangat ketika aku mulai goyah. Kak Amanda nggak pernah salah. Karena Kak Fatih memang sangat baik dalam memperlakukan perempuan. Dia sangat lembut, terbuka, dan begitu dewasa. Mungkin, memang seperti itulah sikapnya pada setiap perempuan. Tapi sejauh ini, kurasa aku hanya menganggapnya sebagai seorang kakak laki-laki yang begitu menjaga dan melindungi.

***

Aku menghempaskan tubuhku di kasur yang lumayan empuk. Hari ini terasa begitu melelahkan. Padahal, aktifitasku berjalan seperti biasanya, sekolah dan ikut ekstra kurikuler –Mading, KSI (Kelompok Studi Islam), Pramuka- lantas pulang ke rumah.

Usai mandi, aku berjalan menuju rak buku yang terletak di sudut kamar, bermaksud meraih novel kesayanganku yang belum habis kubaca seri kelimanya. Tetapi entah kenapa, sorot mataku menyinggahi sebuah buku bersampul kuning yang tidak terlalu tipis dan tanganku pun tergerak untuk meraihnya.

“Ini kan, buku Kak Fatih?” gumamku setelah mengenali buku yang sering di tenteng sang murabbi itu. Aku menemukan sehelai kertas biru beraroma di antara halaman buku itu. Dengan perlahan dan sangat hati-hati kubuka lipatan kertas manis itu.

Assalamu’alaikum, Kak Fatih…

Maaf telah lancang menuliskan surat ini untuk Kakak. Tapi, hanya lewat surat ini ana berani untuk menyampaikan rasa terimakasih kepada Kakak yang selama ini telah bersedia membimbing dengan penuh kesabaran.

Jujur, ana sangat bersyukur bisa mengenal Kakak. Karena melalui Kakaklah, ana dapat memahami akan pentingnya menjaga diri dan merasakan keindahan Islam. Ana benar-benar sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Kakak. Walaupun akhirnya, persahabatan ini memiliki arti lain di hati ana. Maaf, ana telah jatuh cinta pada kesederhanaan dan kesahajaan Kakak. Jika boleh, ana sangat mengharapkan Kakak untuk menjadi imam ana ke surga nantinya. Aaamiin.

Wassalam…

-Amanda-

Tubuhku tiba-tiba gemetar membaca isi tulisan itu. Kak Amanda… Kak Amanda berniat untuk mengungkapkan perasaannya pada Kak Fatih. Bahkan, secara terang-terangan dia mengatakan bahwa dia mengharapkan Kak Fatih untuk menjadi imamnya. Itu artinya….

Setetes butiran bening jatuh dari mataku. Segera kuseka dengan jemariku sebelum tetesannya terlanjur melunturkan ungkapan hati itu. Kulipat kembali kertas itu dan kukembalikan ke tempatnya. Aku pun kembali menuju ranjang tanpa sempat memungut buku yang tadinya ingin kubaca. Kubenamkan wajahku di bantal, dan tangisku pun pecah menyeruak.

Aku tau dan aku sadar, cemburu itu… benar adanya.

            Ada… saat kutahu dia begitu dekat denganmu.

            Jauh melebihi kedekatanku dengannya

            Aku tau dan aku sadar, cemburu itu…

            Tak sepantasnya membenam di jiwaku.

            Karena aku… Bukan siapa-siapa…

Hari ini, aku baru benar-benar mengerti tentang kemelut yang kurasakan selama ini. Ya, ternyata, benar itu adalah cinta. Ternyata, aku pun jatuh cinta pada Kak Fatih. Tapi aku masih terlalu kecil untuk berbicara tentang cinta. Mungkin, Kak Amanda memang lebih berhak mendapatkan Kak Fatih. Kak Amanda cantik, baik, dan usia mereka hanya terpaut 2 tahun lebih tua Kak Fatih. Sedangkan aku jauh lebih muda 4 tahun dari Kak Amanda.

Ya, Allah… Ajarkan aku untuk ikhlas melepaskannya.

***

“Annisa…,” Kak Amanda memanggil saat aku hendak pergi ke sekolah bersama ayah.

Aku pun menghentikan langkah dan membalikkan badan.

“Ada apa, Kak?”

“Hari ini kamu ada agenda liqa’, kan?” tanyanya penuh harap.

Aku hanya mengangguk heran, dan Kak Amanda menyerahkan sebuah buku padaku.

“Titip ini buat Kak Fatih, ya?”

Deg! Jantungku terasa berhenti berdetak. Kusambut buku itu dengan senyuman, kemudian berangkat ke sekolah diantar ayah.

“Assalamu’alaikum, An. ‘Afwan, Kakak nggak bisa liqa’ hari ini. Ada kepentingan yang nggak bisa ditinggalkan. Minta tolong disampaikan sama teman-teman, ya? Syukron,” Kak Nabila, murabbiku mengirim SMS pada jam istirahat pertama. Aku pun langsung mengabari teman-teman yang lain.

“Assalamu’alaikum, An. Hari ini Kakak nggak bisa liqa’. Tapi, tadi sudah Kakak sampaikan sama Ikhsan. Hanya saja, sore ini Kakak pingin ketemu kamu, bisa?” tak lama berselang, SMS Kak Fatih ikut-ikutan nimbrung di kotak masukku.

“Wa’alaikum salam. Insya Allah bisa, Kak. Jam berapa?”

Ba’da Ashar, ya? Sebaiknya ketemu di mana? Di sekolah atau Kakak mampiri ke rumah kamu aja?”

“Hmm… ba’da Ashar sih ana udah di rumah, Kak. Kalau nggak repot, boleh deh Kakak aja yang ke rumah.”

“Oke… kalau begitu, nanti sore Kakak langsung ke rumah Annisa aja.”

“Sip, Kak.”

Obrolan via SMS itu berakhir seiring berbunyinya bel delapan kali pertanda jam istirahat telah berakhir.

Sepulang sekolah, kuserahkan kembali buku yang tadi pagi dititipkan Kak Amanda padaku.

“Lho, kenapa?”

“Hari ini nggak ada liqa’, Kak?” kulihat seraut wajah yang dilanda kekecewaan tepat di hadapanku.

“Tapi, katanya Kak Fatih hari ini mau ke sini, ba’da Ashar.”

“Serius kamu, An? Mau ngapain?” senyum mengembang di bibir Kak Amanda seolah menghapus selaksa kesedihan yang tadi sempat singgah. Aku pun tersenyum mengiyakan pertanyaan kakakku itu kemudian berlalu menuju kamar mandi.

Usai shalat Ashar, aku melanjutkan membaca novel kesayanganku. Sementara Kak Amanda nampak tengah sibuk memoles dirinya di depan cermin.

“Apa mungkin kali ini, Kak Amanda akan nekat ngomong langsung tentang perasaannya ke Kak Fatih, ya? bukan lagi melalui surat.” gumamku dalam hati.

Bersamaan dengan itu, kudengar ucapan salam dari luar rumah disertai ketukan pintu tiga kali.

“An,” Kak Amanda mengisyaratkan aku untuk membukakan pintu. Aku pun beranjak dari tempat tidur.

“Wa’alaikum salam…,” sahutku sembari membuka pintu.

“’Afwan, An, mengganggu waktunya sebentar.”

Nggak apa-apa, Kak. Mari silakan masuk,” aku mempersilakan sang murabbi itu masuk dan duduk di ruang tamu.

Tak lama kemudian, Kak Amanda muncul dengan membawa baki berisi air minum dan satu toples makanan ringan, lalu menyuguhkannya pada Kak Fatih.

“Silakan, Kak. Oh iya, tumben ke sini. Ada apa, Kak?” aku melirik sekilas pada Kak Amanda.

“Ana cuma ingin mengantarkan ini saja secara langsung sama kalian. Karena ana sudah menganggap kalian ini seperti saudara sendiri. Ana berharap kalian berkenan untuk hadir,” ujar Kak Fatih tanpa basa-basi.

Aku menerima amplop hijau itu dan perlahan mengambil isinya kemudian membacanya.

            Walimatul ‘Ursy

            Muhammad Al-Fatih Fadhillah dengan Nabila El-Jihan.

            Minggu, 18 Maret 2012

Aku tersentak membaca undangan itu, ada selaksa kesedihan yang menyeruak dalam bathinku.

Barakallahu… Selamat ya, Kak. Nggak nyangka banget kalau Kakak ternyata berjodoh dengan murabbiku sendiri, Kak Nabila,” ucapku berusaha tersenyum sembari menyerahkan kertas undangan itu pada Kak Amanda. Kulihat Kak Amanda hanya terdiam dengan genangan airmata yang berusaha disimpannya agar tak sampai terjatuh di hadapan Kak Fatih.

“Alhamdulillah… Orangtua ana yang memilihkan dia untuk ana. Baiklah, kalau begitu ana pamit ya? Terimakasih atas waktu kalian. Ana benar-benar berharap kalian berkenan hadir di walimah ana nanti,” Kak Fatih pun beranjak dari tempat duduknya. Aku mengantar kepulangannya hingga depan pintu.

***

Aku menatap Kak Amanda dengan wajah sendu. Dapat kurasakan kepedihan mendalam yang dirasakan Kak Amanda saat ini. Kak Amanda membalas tatapanku dengan sejuta gambaran kesedihan di raut wajahnya. Kemudian dia beranjak dan menghambur memelukku.

“An, ternyata benar ya. Laki-laki yang baik hanya untuk perempuan yang baik dan begitu pun sebaliknya.”

“Sudah lah, Kak. Mungkin memang bukan Kak Fatih yang terbaik untuk Kakak.”

“Bukan Kak Fatih yang nggak baik buat Kakak, An. Tapi justru Kakaklah yang belum baik buat dia.”

“Allah pasti punya rencana indah di balik semua ini,” ucapku berusaha menegarkan Kak Amanda, atau lebih tepatnya menegarkan hatiku.

Kak Amanda berlari menuju kamar. Menumpahkan segala rasa indah yang telah tergores di hatinya. Sementara itu, aku memungut kembali kertas undangan bernuansa hijau itu. Mencoba meyakinkan lagi hatiku. Bahwa perasaanku telah terbunuh oleh pernikahan para murabbiku.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Banjarmasin.

Lihat Juga

Jalan Meraih Taqwa

Figure
Organization