Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Mari Sejenak Resapi Keberimanan Kita

Mari Sejenak Resapi Keberimanan Kita

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Mari sejenak meresapi keberimanan kita. Di sini, di jeda kesibukan kita. Di sela-sela kesibukan yang dari hari ke hari menyita waktu. Menguras energi. Hingga melemahkan otot-otot dan persendian. Hingga menegangkan ujung-ujung saraf. Seolah tanpa akhir. Dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Dari satu tugas ke tugas lainnya. Dari satu proyek ke proyek berikutnya. Tanpa ada waktu khusus kita hajatkan untuk benar-benar meresapi karunia terbesar ini: keimanan kita.

Beruntung kita ditakdirkan Allah dengan keimanan hingga saat ini. Tidak semua orang yang ada di sehamparan bumi ini seberuntung kita memiliki iman. Iman yang benar, iman yang akan menjadi jalan menuju keselamatan. Iman yang akan mengantarkan kita pada perjumpaan dengan Rabb Penguasa alam. Iman yang akan melindungi kita dari azab yang kedahsyatannya tak terperikan. Di akhir kehidupan kita. Di sana. Di balik kematian kita.

Dengan keimanan inilah, kita bisa berharap Allah menyelamatkan dari kengerian siksa dan seburuk-buruknya balasan. Dan kita berharap, bahwa dengan iman yang kita rawat dan jaga ini, dimasukkan-Nya kita ke dalam surga dengan diliputi keridhaan-Nya. Semoga kita termasuk di antara mereka yang dipanggil Allah, Rabb semesta, dengan penuh kesayangan, “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr: 27-30).

Keimanan yang membuat kita bisa berbesar hati dan memiliki harapan akan kebaikan-kebaikan dari kesudahan perjalanan hidup kita. Keimanan yang telah menggembirakan kita dan menghilangkan duka lara dan kesedihan kita tatkala Allah ‘Azza wa jalla menghibur kita, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 139). Ya, hanya dengan keimanan ini, derajat kita ditinggikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semoga keimanan ini tetap tergenggam kuat di antara ruas-ruas jemari sampai saat kita menghadap-Nya. Lalu, kita persaksikan di hadapan-Nya kelak. Semoga keimanan ini tetap bersemayam di relung-relung batin, mengisi ruang-ruangnya, memenuhi seluruh jasad, mengaliri setiap pembuluh darah dan memenuhi seluruh sel-selnya. Meliputi imajinasi dan pikiran kita. Hingga kita membawanya menghadap Allah Ta’ala. Tak tercecer barang sedikit. Tanpa tertinggal barang sepenggal. Sungguh, tak adalah harapan dan cita-cita kita selain tetapnya keimanan itu bersama kita, hingga tibanya ajal kita.

Mari, di sini, kita luangkan waktu untuk menikmati indahnya iman ini. Indahnya kebersamaan kita dengan keimanan. Indahnya keimanan yang dengannya amal-amal kita tak akan pernah disia-siakan-Nya. “Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 171).

Iman dan amal-amal yang menyertainya adalah simpanan terbaik kita selama di sini yang akan menjadi saham untuk masa depan di sana. Di negeri akhirat, tempat semua kehidupan bermuara dan tak ada lagi muara berikutnya. Di negeri yang tak ‘kan ada lagi negeri selainnya. Di kehidupan yang tak ‘kan ada lagi kehidupan sesudahnya. Dan, dengan keimanan yang kita bawa inilah kita akan mengisi hari-hari yang kita lalui di sana. Semoga Allah Tabaraka wa Ta’ala memberi kita akhir kehidupan yang baik, seperti yang senantiasa kita harapkan kepada-Nya.

Marilah kita syukuri nikmat keimanan ini. Keimanan yang dengannya kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan di sini menjadi begitu bernilai. Menjadi begitu berharga. Karena ada pahala dan balasan terbaik yang telah disediakan-Nya. Iman yang memberi bobot terhadap amal yang kita lakukan, sekecil apa pun. “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 97).

Kehidupan yang baik. Semestinya ini yang menjadi obsesi terkuat kita. Dan menjadi angan-angan terbesar kita untuk suatu saat nanti bisa menggapai dan meraihnya. Allah menjanjikan balasan yang jauh lebih baik dari amal yang kita lakukan. Ini karunia yang teramat agung bagi kita, manusia biasa yang tak luput dari kekurangsempurnaan dari amal-amal yang dilakukannya.

Berhentilah sejenak, di sini. Dan renungkanlah keagungan ini. Ini semua adalah buah dari keimanan. Dengan ini, kerja-kerja kita selama di dunia tidak hilang begitu saja. Semua ada pahalanya. Semua ada balasannya. Karena iman yang menjadi bingkai dan pengikatnya. Inilah keberuntungan kita yang teramat besar dengan dien yang telah dianugerahkan Allah kepada kita.

Karena keberimanan inilah kita bersyukur kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala atas kemurahan-Nya. Sementara orang-orang di luar kita tak akan mendapatkan apa pun dari usaha dan kerja keras mereka selama di dunia. Walau mereka mengorbankan harta dalam jumlah yang tak terkira. Walau mereka hasilkan banyak karya monumental yang menjadi simbol peradaban. Amal mereka sia-sia belaka.

“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (QS. al-Kahfi: 104-105).

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan.” (QS. al-Anfal: 36).

Mari, sesaat istirahatkan jasmani untuk menyelami keberimanan kita. Lalu bersyukur atas takdir Allah terhadap kita. Mudah-mudahan Allah menetapkan kita dalam keimanan hingga saatnya Ia memanggil. Semoga pengakuan keimanan kita adalah keimanan yang disertai kejujuran hingga Allah pun membenarkannya.

Kita juga berharap, kebaikan kita saat ini dalam amal-amal yang dilakukan membawa kita pada sebaik-baik akhir kehidupan. Dan mati dalam keadaan husnul khatimah. Kita berlindung kepada Allah dari keadaan yang seakan-akan kita sosok calon penghuni surga, tetapi pada detik-detik terakhir menjelang diangkatnya ruh, ternyata kita termasuk orang yang dilemparkan-Nya ke dalam neraka yang menyala-nyala. Na’udzubillahi min dzalik.

Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama waktu itu pula, kemudian menjadi mudghah selama waktu itu pula. Kemudian Allah mengutus Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan mencatat empat perkara yang telah ditentukan, yaitu rezeki, ajal, amal perbuatan, dan sengsara atau bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Tuhan selain-Nya, sesungguhnya ada seseorang di antara kalian beramal dengan amalan penghuni surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sehasta saja. Namun ketetapan (Allah) mendahuluinya sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka ia pun masuk neraka. Dan ada seseorang di antara kalian beramal dengan amalan penghuni neraka sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sehasta saja. Namun ketetapan Allah mendahuluinya sehingga ia beramal dengan amalan penghuni surga, maka ia pun masuk surga.” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Kita memohon kepada Allah semoga kita dimasukkan-Nya ke dalam golongan orang-orang yang mendapatkan husnul khatimah dan berlindung kepada Allah dari akhir kehidupan yang buruk atau su’ul khatimah.

Karena itu, mari kita menyelami makna keimanan kita kepada-Nya. Bahwa, keimanan ini tidak menemukan maknanya yang hakiki kecuali pada kepasrahan kita kepada Allah Ta’ala. Kepasrahan total kepada Allah Yang Menguasai seluruh kehidupan kita. Kepasrahan jasmani dan ruhani atas segala aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan-Nya, lalu kita ikuti dengan sepenuh penyerahan diri. Hanya dengan cara ini kita menjadi muslim yang sebenarnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa: 65)

Penghayatan akan hakikat ini mudah-mudahan melahirkan semangat dan kemauan kuat pada diri kita untuk istiqamah dalam keimanan. Untuk istiqamah dalam menapaki jalan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan amal dan kerja-kerja keshalihan. Dari rangkaian waktu yang kita lalui dan lintasan masa yang kita jalani. Amal shalih dan ketaatan yang bisa memantapkan iman hingga terus bertambah kokoh dan kuat. Lalu tinggi menjulang menggapai langit. Ketaatan yang diliputi ketulusan dan keikhlasan, tanpa diembel-embeli motivasi duniawi yang akan menyebabkan amal-amal itu jadi hampa.

Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika. Keistiqamahan dan keteguhan yang akan semakin membuat kita mencintai keimanan kita. Semakin kita menyukai keberimanan kita. Selamanya. Hingga tiba saatnya layar peran kita dilabuhkan, menutup masa singgahnya kita di dunia, dan berakhirlah pengembaraan. Wallahu A’lam Bish-shawab. 

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ayah dari tiga orang puteri (Asma, Waffa, dan Aisyah). Lahir di Kuningan, Jawa Barat. Kini tinggal di Bogor.

Lihat Juga

Keimanan Adalah Keberpihakan

Figure
Organization