Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Akhwat Suci Berakhlak Mulia

Akhwat Suci Berakhlak Mulia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Sabtu sore sehabis pulang dari kantor, aku ada janji reuni dengan sahabat kuliahku di salah satu café yang ada di mall. Meskipun cuaca tampak sedikit mendung, namun janji tetaplah janji yang harus ditunaikan. Lagipula, benih rindu dengan kawan-kawan seperjuangan agaknya perlu untuk diobati. Pukul empat lewat seperempat menit, kulajukan sepeda motor matic merahku menuju kawasan Gatot Subroto. Dua puluh menit berselang, aku telah tiba di parkiran mall. Sambil menunggu sahabat-sahabatku datang, aku keliling mall melihat-lihat pameran batik.

“Assalamu’alaikum…” sapa Tika dan Fida berbarengan saat melihatku.

“Wa’alaikum salam…” jawabku sambil menyambut salam ala kader dakwah dari mereka berdua.

Karena sudah hampir memasuki waktu shalat Maghrib, aku, Tika dan Fida ke mushalla mall terlebih dahulu sambil menunggu kedatangan Wulan.

Selang lima menit, Wulan juga datang. Sayangnya dua sahabatku yang lain tidak bisa datang. Suci sedang pulang kampung dan Nisa belum lepas dapur pasca melahirkan anak pertamanya. Suasana pun mulai ricuh. Tika mulai promosi bisnis yang sedang ia jalankan, Fida mulai merekomendasikan buku bacaan baru yang baru usai ia baca. Sementara Wulan lagi galau karena harus membagi dua jadwal janji hari ini pada waktu yang bersamaan. Aku hanya bisa senyum-senyum menjadi tumpahan curcol mereka.

Selesai shalat berjamaah, kami langsung menuju café karena perut juga sudah keroncongan, cacing pada demo. Makan sambil cerita ini, cerita itu, ngawur sana, ngawur sini persis saat kuliah dulu.

“Aku insya Allah dalam waktu dekat mau ke Batam, woi” cerita Wulan.

“Wah, pada merantau lagi nih…”

“Dapat tawaran kerja di sana?” Tanyaku

“Dapat kerjaan sih belum. Cuma lagi ada proyek sementara di sana. Nanti sambil-sambil cari kerjaan tetap juga di sana. Lagian kalian kan tahu, Batam itu kota impianku.”

“Hm, bakal jauh-jauhan lagi deh kita,” saat aku, Tika, dan Wulan lagi mellow, sahabatku Fida malah autis dengan Al-Qur’annya. Maklum, One Day One Juz nya belum kelar.

“Woi, aku dapat sms, Esti kerampokan! Ia luka-luka dan masuk UGD. Keadaannya cukup parah.” Celetuk Tika sambil membaca sms dari adik kelas kami saat kuliah dulu.

“Inalillahi wa’ ina illaihi rajiun, gimana ceritanya?”

“Belum jelas nih…”

Esti sahabat kuliah kami juga. Ia aktivis dakwah di kampus. Aku cukup dekat dengannya. Aku sibuk sms Rahmi untuk menanyakan keadaan Esti. Saat ini, Rahmi sahabat yang sudah seperti adikku sendiri ini memang tinggal di kost yang sama dengan Esti. Aku memang tidak langsung menelepon, karena menurutku kurang efektif. Mereka pasti lagi panik. Paling tidak, dengan sms saat keadaan sudah tenang, bisa dibalas. Namun ternyata hasilnya nihil tanpa balasan sampai esok pagi.

***

            Besoknya, aku sms Esti. Tapi tetap tak ada balasan. Malamnya Suci dan Tika meneleponku menceritakan kronologis yang mereka tau tentang musibah yang Esti alami dari grup BBM.

“Ternyata motif pelaku kepada Esti perampokan dan pemerkosaan,”

“Ya Allah, pemerkosaan? Kok bisa?” Teriakku kaget tak percaya. Karena aku kenal betul sahabatku yang sudah setahun ini merantau di Batam. Ia muslimah yang shalihah, berpakaian longgar dan lebar.

Besoknya aku telepon Rahmi untuk memperjelas musibah yang terjadi dan menjawab semua kesimpang siuran berita yang meruak di Medan.

“Rahmi masih di rumah kak, baru pulang dari kantor. Ba’da Maghrib baru ke rumah sakit sekalian bawa perlengkapan Kak Esti.” Terangnya saat aku meminta untuk mengobrol dengan Esti.

Dari telepon Rahmi menjelaskan kronologis musibah yang terjadi. Sore waktu Batam, Esti habis mengisi mentoring di salah satu sekolah. Merasa kelelahan dan ingin cepat sampai di kost, ia pun memotong jalan. Namun sayangnya, ia salah belok arah dengan jalur arah menuju kostnya, alhasil ia pun tersesat.

Jauh berjalan dengan sepeda motornya, ia pun bertanya kepada seorang pemuda yang berhenti di pinggir jalan. Ia menanyakan arah jalan menuju kostnya. Tanpa bershuuzhon, ia menurut saja saat pemuda itu mengajak untuk berbarengan, sebab pemuda itu katakan tujuan arah mereka sama. Setelah dipikir-pikir, tak ada tampang kriminal yang Esti lihat dari pemuda itu. Lagi pula Esti tetap dengan sepeda motornya, begitu juga pemuda itu dengan sepeda motornya sendiri.

Sempat mengobrol di perjalanan, tanya hal-hal yang wajar, tak juga menimbulkan kecurigaan di benak Esti. Sampai akhirnya, “Bang, kok makin jauh ya? dari tadi nggak sampai-sampai. Saya lupa-lupa ingat, sepertinya dari simpang tadi seharusnya sudah dekat. Ini juga kok makin sunyi.”

“Benar kok! Ya udah kita lewat jalan motong ini aja.” Ujar pemuda itu.

Esti tetap berusaha positif thinking. Namun kecurigaannya mulai memuncak saat jalan memasuki hutan dan tak ada rumah penduduk.

“Mana? kok nggak ada rumah penduduknya?”

“Itu sebentar lagi di depan.”

Karena Esti ia dengar semakin bawel, pemuda itu memberhentikan sepeda motornya secara mendadak, sambil menghalau jalan sepeda motor Esti yang sesaat sempat berpikir untuk berlawanan arah meninggalkan pemuda itu.

“Diam, selamat. Teriak aku bunuh!” Ancam pemuda itu sambil menodongkan gunting ke arah Esti.

“Loh, abang kenapa? kalau mau motor saya ambil aja, kalau mau handphone juga saya kasih. Tapi saya mau pulang.” Tawar Esti masih tetap berusaha tenang. Tapi tampaknya pemuda itu tidak senang dengan respon Esti. Ia menarik jaket Esti. Esti melakukan perlawanan, namun tetap saja kekuatannya terbatas dibanding pemuda itu. Esti diseret hingga ke bawah pohon. Jilbabnya telah lepas terlempar sembarang. Ia tetap melawan, meronta. Pemuda itu murka. Ia menggoreskan gunting ke leher Esti dan menikam tangan Esti. Sempat pula ia menikam berkali-kali perut Esti, tapi Subhanallah perut itu tak berdarah. Pemuda itu tak puas, ia pun menonjok muka Esti hingga giginya tanggal dan rahangnya sakit.

Dalam ketidakberdayaannya, Esti hanya berdoa, “Ya Allah, apapun agamanya laki-laki ini tetaplah hamba-Mu. Bukakanlah pintu hatinya. Aku tidak ingin mati dengan cara seperti ini.” Dengan izin-Nya, dalam samar-samar pandangan sahabatku yang telah melemah itu, pemuda itu langsung pergi dengan wajah ketakutan. Sempat pingsan beberapa saat, dengan sisa tenaga yang ia punya, sahabatku itu menelepon teman pengajiannya yang ia rasa dekat dengan lokasi kejadian. Tapi sayangnya, temannya itu tak memahami jelas lokasi yang Esti sebutkan.

“Tak ingin mati konyol, Esti meraih jilbabnya dan berjalan perlahan ke simpang jalan. Beruntung, ia menemui beberapa warga yang mau membantunya, setelah sebelumnya sempat dikira orang gila dengan pakaiannya yang berantakan. Warga pun membawanya ke rumah sakit terdekat. Ia menerima 72 jahitan.” kata Rahmi mengakhiri penjelasannya.

“Subhanallah, Esti memang muslimah yang luar biasa. Terharu sekali dengan doa di tengah kemalangan yang ia alami.” ucapku haru.

“Ia kak, saat sakitnya begini, ia pun tak meninggalkan tilawah Qur’annya. Ia juga tampak sabar dalam menerima takdir-Nya ini. Dan Alhamdulillah kak, banyak pihak yang membantu. Dari teman-teman PKS, ESQ, KAMMI. Dari soal dana, pelacakan pelaku, bahkan memproses berita-berita jelek tentang musibah ini yang jauh dari cerita sebenarnya juga diproses untuk pembersihan nama Kak Esti.”

“Alhamdulillah. Orang baik tentu banyak yang nolong, Dek. Salah banget ya itu pelaku, nggak sadar dia berurusan dengan siapa? Semoga tobat deh tuh orang. Mana tahu dengan kejadian ini, dia bisa insyaf.”

“Ya udah kamu siap-siap dulu, nanti kalau sudah sampai RS, sms kakak biar ditelpon lagi, kakak mau ngobrol dengan Esti. Tapi kalau dia tidur, titip salam saja, tidak usah dibangunkan. Kamu juga hati-hati ya,”

“Iya kak.”

***

Sejam berlalu. Aku tengah masak pisang goreng, Rahmi sms mengatakan Esti bisa di telepon.

“Assalamu’alaikum Junkusay,” sapaku dengan panggilan kesayanganku untuknya.

“Hehehhe, wa’alaikum salam,”

Esti menceritakan kembali kronologis kejadiannya padaku. Saat ini, keadaannya memang sudah lebih baik. Hanya saja suaranya masih kurang terdengar jelas karena menahan rasa sakit pada rahang wajahnya. Ia juga memintaku untuk membagikan kejadian yang sebenarnya dengan teman-teman yang lain, agar berita yang sampai ke Medan tidak ngawur. Tapi ia berharap, agar berita ini tidak sampai diketahui oleh orang tuanya. Ia tidak ingin membebani orang tuanya dan membuat mereka khawatir. Aku semakin terharu.

“Syafakillah Junkusay, I’am proud of you.”

Kesabarannya untuk mencintai takdir yang Allah takdirkan untuknya, membuatku semakin kagum dengan sosok sahabatku yang sejak tiga tahun lalu sudah mengabdikan dirinya untuk istiqamah di jalan dakwah. Aku hanya tidak habis pikir dengan pemuda kurang ajar itu. Bagaimana bisa dia terlalu tega memiliki niat buruk dengan perempuan yang sangat menghargai dan menjaga dirinya sebagai perempuan sebagaimana yang Allah perintahkan? Dan Alhamdulillah Allah menjaga semuanya untuk sahabatku Esti. Aku sendiri tidak bisa membayangkan jika hal tersebut terjadi padaku. Allah memang memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Ya, Esti adalah sahabatku. Dan dia akhwat suci berakhlak mulia.

“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman, agar mereka menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (An-Nur: 30)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis bernama Riska H Akmal. Lahir di Medan, Juni 1990. Seorang cerpenis yang bergiat sebagai anggota muda FLP-SUMUT.

Lihat Juga

Kemuliaan Wanita, Sang Pengukir Peradaban

Figure
Organization