Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Dua Hari Terakhir

Dua Hari Terakhir

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Tempias mentari memasuki celah-celah jendela kamar di asrama kami, pagi yang rimbun pun merayapi dan memaksaku bangun dari perbaringan setelah melepaskan kelelahan semalam. Aktivitas di hari minggu ini di asrama SGI DD (Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa) tidak ada perkuliahan. Aku pun bersama teman-teman sepaviliun bersantai menikmati hari libur. Dua hari ini bapakku tidak meng-sms, biasanya hampir tiap hari beliau menanyai kabarku di asrama, hanya sekedar bertanya apakah aku sudah makan? Atau apa yang aku lakukan hari ini?. Akhirnya aku putuskan untuk meneleponnya, dari seberang sana ku dengar Bapak ku berkata sedang bersantai menonton televisi dan sedang tidak mempunyai pulsa makanya belum sempat menanyai kabarku. Terkadang aku merasa risih, sudah sebesar ini Bapak masih saja mengkhawatirkan keadaanku.

Ku ceritakan lebih dulu, saat itu aku sedang mengikuti pelatihan di SGI DD untuk mendapatkan ilmu sebagai bekal sebelum penempatan selama enam bulan dan diharuskan tinggal di asrama. Sudah satu bulan lebih kami dibina di tempat ini dan seminggu lalu bapak bersama emakku datang mengunjungiku ke asrama saat Hari raya Idul Kurban rindu padaku katanya dan sekaligus mengecek tempat tinggalku selama di asrama. Sehari sebelum hari ini, aku melihat dosenku bersama ketiga anaknya berjalan di halaman asrama. Dosenku memiliki usia lebih tua dari bapakku dan kami biasanya memanggilnya ayah. Entah mengapa dihari itu aku merasa rindu pada bapakku padahal baru seminggu lalu ia mengunjungiku mungkin karena nanti aku akan meninggalkan dalam waktu lama di wilayah penempatan makanya aku menjadi melow seperti ini.

Tanpa firasat apapun, pagi itu adikku menelepon katanya bapakku sakit seperti tahun lalu yang hampir merenggut nyawanya. kakinya tidak bisa digerakkan secara tiba-tiba dan sebenarnya bapak tidak menginginkan adikku untuk menghubungiku takut aku khawatir kepadanya katanya. Aku sangat tahu sifat bapakku itu, beliau memang orang yang keras kepala dan tidak ingin terlihat lemah dimata anak-anaknya terlebih sifat lembut dan perhatiannya itu hampir tidak mau ia katakan kalau beliau sedang sakit. Adikku yang saat itu sengaja bermain di rumah kawannya barulah bisa meneleponku. Aku mencoba berpikir kalau itu hanya penyakit tuanya saja karena kondisiku yang memang tidak dibolehkan pulang kalau belum izin sehari sebelumnya dan juga tidak boleh menginap di rumah.

Aku menenangkan adikku dan menyuruhnya untuk mengajak bapak ku itu pergi ke klinik periksakan ke dokter. Selang beberapa jam adikku mengabarkan kembali kalau ia sudah membawa bapak ke klinik dan dari hasil pemeriksaan beliau hanya kelelahan. Sekejap kabar tersebut membuat aku sedikit tenang, tapi di siang itu entah mengapa aku masih merasa tidak tenang walaupun pernyataan dokter sudah mengatakan beliau hanya kelelahan tapi ciri penyakit yang dikatakan adikku itu sama seperti tahun lalu itu membuat aku merasa tidak tenang. Tahun lalu tengah malam tiba-tiba bapak kehilangan napasnya dan tak ku temukan detak jantungnya lagi, saat itu ku pikir aku telah menjadi anak yatim karena tubuhnya pun sudah dingin. Mama hanya bisa menangis, tapi entah mengapa aku justru tidak bisa menangis.

Aku pun menggerak-gerakkan tubuh bapakku dan menggosok-gosok tangannya yang telah dingin dengan tanganku, aku hanya berharap bapak tidak kedinginan. Lalu tiba-tiba bapakku pun tersedak dan menemukan napasnya kembali tapi sikapnya aneh beliau tidak bisa merasakan kehadiran kami. Ia berteriak-teriak dan menangis seperti memohon kepada orang yang tampak nyata itu. Dari teriakkannya, ia seperti menangis dan berbicara untuk tidak menjemputnya. “umak… umak… jangan, anak ku masih masih butuh aku kasihan mereka kalu ditinggal” katanya sembari memelukku dengan sangat erat. Saat itu aku memang belum lulus kuliah, telat satu semester itu sebenarnya membuatku merasa bersalah pada beliau. Keterlambatan kelulusanku ini akan semakin memberatkan beliau. Aku tahu beliau sudah lelah bekerja menjadi buruh jahit. Dari pekerjaannya itulah beliau bisa menghidupi keluarganya. Aku tidak pernah menyesal terlahir dan bisa hidup bersama beliau.

Setelah beliau berteriak-teriak, beliaupun tersadar kembali. Semalaman kami menunggunya untuk tidur, beliau bilang tidak ingin tidur karena takut mimpi buruk lagi. Tapi kami yang melihat kejadian itu  tahu kalau itu bukanlah mimpi. Sampai tiga kali bapak kehilangan napas dan detak jantungnya semalaman. Kami sekeluarga pun memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Selama seminngu bapak di rumah sakit, walaupun di rumah tidak ada uang sama sekali untuk membawanya tapi bantuan datang dari arah yang tak disangka-sangka. Bapakku sehat kembali tanpa adanya hutang dimanapun.

Lolos dari maut setahun lalu itu, kini menghantui kembali. Akupun memutuskan untuk pulang dengan izin kepada dosenku. Awalnya aku tidak mendapatkan izin tapi air mataku tak terbendung saat menceritakan penyakit bapak dan akhirnya aku pun diberikan izin untuk pulang dan menginap satu hari dengan janji untuk kembali lagi ke asrama esok paginya sebelum perkuliahan dimulai. Sebelum pulang ke rumah, aku menemui sahabatku Muthia untuk meminjam uang karena aku bermaksud untuk membawanya ke rumah sakit yang dulu merawatnya. Sesampainya di rumah, bapak dan mama kaget melihat kepulanganku. Mamaku pun berkata “syukur bisa pulang, bapak sakit dari kemarin tapi emak gak dibolehin nelepon lu sama bapak”. Tanpa ekspresi apapun akupun menanyai sakit bapak, bagaimana dengan keadaannya?. Aku tidak ingin bapak merasa kalau aku mengkhawatirkan keadaanya karena itu akan membuatnya merasa bersalah.

Bapakku masih dengan sifat kerasnya mencoba berjalan dan memperlihatkan keadaanya baik-baik saja. Malam di rumah, kaki bapak kembali tidak dapat digerakkan dan memerlukan bantuan mama untuk membawanya ke kamar mandi untuk membuang hajatnya. Adikku yang bersegera mau menolong ditepis olehnya. Biar mama saja yang membantunya, lagi bapak tidak ingin terlihat lemah dihadapan kami. Malam itu pun aku sibuk mempersiapkan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) untuk besok microteaching karena besok aku akan maju untuk praktek mengajar dihadapan kawan-kawanku saat perkuliahan. Bapak yang melihatku sibuk masih menungguiku untuk istirahat. Tidak tega dengan dirinya akupun mulai tidur dan barulah beliau bisa beristirahat.

Esok paginya, aku memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit tapi tiba-tiba bapak kehilangan nafas dan detak jantung sama seperti tahun lalu. aku mencoba tenang hanya membantunya untuk mengucapkan lafadz Allah dan beliau bisa mengikutiku walaupun terbata-terbata. Kembali ia pulih dan mengatur nafasnya dengan baik, tanpa pikir panjang lagi aku meminta tolong tetanggaku untuk mengantar kami dengan mobilnya ke rumah sakit. Di rumah sakit, bapak di bawa ke ruang UGD. Kembali beliau tidak bernafas dan dibantu oleh alat bantu nafas. Berkat pertolongan pertama dari dokter kembali bapak bisa bernafas namun tiba-tiba keadaan beliau semakin drop bapak seketika koma. Sampai siang, aku bolak balik di rumah sakit menanyakan ruang ICU apakah sudah ada yang kosong. Rupanya di hari itu rumah sakit penuh, dokter pun memintaku menelepon rumah sakit lain yang menyediakan ruang ICU.

Rumah sakit lain yang ku telepon pun sama ruang ICU penuh. semakin siang keadaan bapak semakin memburuk, beberapa kali bapak harus dipompa untuk mengembalikan nafasnya. Akhirnya dokter meminta kami untuk mengaji, surat terakhir yang sangat bapak ingin pelajari surat Yassin kami bacakan untuknya. Terlahir di desa dengan masyarakat yang tidak mengerti agama membuat selama hidupnya tidak bisa mengaji dan itulah yang membuatnya merantau khawatir anak-anaknya akan sama dengan beliau. Surat cinta terakhir untuknya pun menghantarkan beliau dihari terakhirnya bersama kami di rumah sakit. Pukul 16.00 hari senin bapak meninggalkan kami sekeluarga.

Aku melihat wajahnya begitu tenang, lafadz Allah terakhir yang diucapkannya membuatku aku tidak bisa menangis. Bagaimana aku bisa menangis bapak terhebatku kini menemui penciptanya yang lebih mencintainya. Kini beliau tidak akan merasakan sakitnya lagi tanpa kami bisa merasakannya. Sebelum mengantarnya pergi ke tempat peristirahatannya, aku menciumnya dan membisikan ke telinga beliau “Ba, Aku mencintaimu karena Allah tapi Allah lebih mencintaimu. Aku bangga padamu, bapak terhebatku selamat jalan dan terima kasih telah mendidik kami dengan baik. Ikhlaskanlah kami disini seperti kami mengikhlaskan kepergianmu”.

Hal yang membuat ku mengikhlaskan kepergiannya, kami sekeluarga ada disamping beliau dan menuntunnya mengucapkan lafadz Allah yang kelak akan menolongnya. Dan beliau sudah dapat melihatku wisuda, seperti harapannya sejak lama. Kata beliau, akulah yang menjadi kebanggannya dan menundukan pandangan hina orang-orang yang sering menghina kemiskinan kami.

Redaktur: Aisyah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumni Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa angkatan IV. sekarang menjadi volunteer sebagai Sekretaris KLIPNUS (Klinik Pendidikan Nusantara) menangani Training untuk Guru dan Siswa. serta KLIPNUS memiliki rumah baca yang disebut Kolong Ilmu. beberapa kegiatan kami diantaranya Indonesia Ceria dan Training for Teacher. Semoga Kami senantiasa bermanfaat. Klipnus : Build Better Indonesian Education

Lihat Juga

Jalan Meraih Taqwa

Figure
Organization