Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Antara Tawakal dan Makhluk Sosial

Antara Tawakal dan Makhluk Sosial

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (nurlienda.wordpress.com)
Ilustrasi (nurlienda.wordpress.com)

dakwatuna.com – Aristoteles menyatakan bahwa manusia merupakan zoon politicon, yang berarti manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain. Maka setiap manusia memiliki kecenderungan menyukai dan membutuhkan kehadiran sesamanya sebagai kebutuhan dasar yang disebut kebutuhan sosial.

Di sisi lain manusia juga memiliki kecenderungan bertuhan yang porsinya jauh lebih besar daripada kecenderungan bersosial. Kecenderungan ini diterjemahkan berbeda-beda sesuai perkembangan peradaban manusia. Ketika manusia masih hidup nomaden mengandalkan goa sebagai tempat bernaung, kecenderungan bertuhan membuat manusia mulai menyembah kekuatan alam seperti bulan, petir, matahari, dan sebagainya. Begitupun ketika manusia memasuki fase beternak, bentuk Tuhan pun berubah ke bentuk hewan yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Begitupun ketika masa jahiliyah, masyarakat Arab menjadikan berhala sebagai pelindung yang dianggap mampu memberikan keamanan hidup. Ketika manusia menyadari kelemahannya, kecenderungan ini akan selalu ada dan pencarian sosok Tuhan ini terus berlanjut hingga manusia memperoleh rasa aman.

Maka dapat disimpulkan bahwa manusia sebenarnya mencari kekuatan terbesar yang mampu menjamin keberlangsungan hidup. Kecenderungan ini dalam Islam kemudian tertuang dalam konsep tawakal.

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٦٤﴾

“Hai Nabi, cukuplah Allah menjadi Pelindung bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu” (Al-Anfal: 64)

Cobalah tengok Nabi Ya’qub ‘alaihissalam ketika dilanda kesedihan berupa kehilangan putranya, Yusuf, sehingga anak-anaknya yang lain mengiranya akan bertambah sakit dan sedih. Sabda Nabi Ya’qub saat itu perlu diteladani setiap muslim:

 “Dia (Ya’qub) menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.” (Yusuf: 86)

Memang bukan berarti manusia tidak boleh meminta bantuan kepada orang lain. Allah pun memerintahkan hamba-Nya untuk tetap saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan. Manusia tetaplah makhluk sosial yang akan membutuhkan orang lain. Namun perlu diingat, bahwa setiap pertolongan manusia pun tidak lepas dari campur tangan Allah. Maka selain berterima kasih kepada manusia, berterimakasihlah kepada Allah sebagai wujud syukur.

Kawan, ingatlah baik-baik. Ketika hidup ini terasa semakin berat hingga kau merasa tiada seorangpun yang mau berdiri bersamamu, Allah selalu bersamamu. Ketika cobaan terasa semakin berat hingga kau harus merintih dan menangis, merintihlah dan menangislah! Lakukan itu ketika kau tenggelam dalam sujudmu di malam hari. Kalau kau belum bisa membuat teman-temanmu paham, jangan salahkan mereka jika mereka tidak memahamimu. Namun percayalah Allah akan selalu setia memahamimu, walau kau tak pernah menyatakan kepadaNya. Dan jika kau mengeluhkan sesuatu hanya kepadaNya, bersiaplah mendapatkan pertolongan yang tak pernah kau kira.

Jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. (Ali Imran: 160)

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 9.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Mahasiswa aktif Jurusan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada angkatan. Asal Sleman masih menjabat sebagai Ketua Keluarga Mahasiswa Teknik Fisika FT UGM periode 2013-2014.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization