Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Berimam Kepada yang Masbuq, Bolehkah?

Berimam Kepada yang Masbuq, Bolehkah?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

Assalamu’alaikum ustadz

dakwatuna.com – Saya mau menanyakan tentang bagaimana hukum menjadikan seorang masbuk dalam shalat berjamaah sebagai imam, apakah memang tidak ada haditsnya… lalu bagaimana jika masbuk yang dijadikan imam tersebut tidak menguatkan takbirnya (karena beranggapan tidak ada hadits yang membolehkan itu) dan kita mengikutinya hanya dengan mengetahui gerakannya saja.

Syukron jazakallah atas jawabannya ustadz.

 

Jawaban:

Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah Ba’d:

Masalah ini cukup sering ditanyakan dan cukup membingungkan sebagian penanya. Bolehkah hal ini ataukah justru bid’ah?

Dalam hal ini kami membagi menjadi dua model, yakni:

1. Jamaah shalat sudah selesai

Kasus ini terjadi jika seseorang mendatangi masjid, dan dia dapatkan jamaah sudah selesai shalat berjamaah. Lalu, dia shalat sendiri sendiri (munfarid) …., tidak lama kemudian datang orang lain yang juga ingin shalat bersamanya. Maka, yang seperti ini –shalat berjamaah di kloter kedua di masjid yang sama- ada dua pendapat, antara yang membolehkan seperti Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ishaq bin Rahawaih, Imam Asy Syaukani, dan lainnya. Ada pula yang memakruhkan seperti Imam Asy Syafi’i, Imam Sufyan Ats Tsauri, dll.

Untuk rinciannya silakan di buka di situs saya.

2. Seorang mengalami masbuq tapi masih sempat ikut berjamaah walau pun satu rakaat.

Pada kasus ini, baik dia dijadikan imam oleh jamaah di sampingnya yang sama-sama masbuq dengan cara mundurnya jamaah tersebut. Sederhananya, masbuq menjadi imam bagi masbuq juga. Atau ada orang lain yang baru datang ke masjid, lalu orang tersebut menjadi makmum bagi orang yang masbuq.

Nah, ini pun juga terjadi perbedaan pendapat di antara imam kaum muslimin. Sebagian ulama melarangnya karena tidak ada dalil khusus yang menunjukkan. Justru yang ada adalah sebaliknya, hendaknya mereka semua menyelesaikan shalat masing-masing saja. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bagi orang yang masbuq.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إ ذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ وَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Jika sudah iqamat untuk shalat, maka janganlah mendatanginya dengan tergesa-gesa dan tidak sopan, hendaknya kalian bersikap tenang. Apa yang kamu dapatkan dari shalat, maka lakukanlah seperti itu, ada pun yang tertinggal maka sempurnakanlah kekurangannya. (HR. Bukhari No. 908, Muslim (151) (602))

Dalam riwayat lain, juga dari Abu Qatadah:

بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ جَلَبَةً فَقَالَ مَا شَأْنُكُمْ قَالُوا اسْتَعْجَلْنَا إِلَى الصَّلَاةِ قَالَ فَلَا تَفْعَلُوا إِذَا أَتَيْتُمْ الصَّلَاةَ فَعَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا سَبَقَكُمْ فَأَتِمُّوا

Ketika mau duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau mendengar kegaduhan, lalu bersabda: “Apa yang terjadi pada kalian?” Mereka menjawab: “Kami terburu-buru untuk mengerjakan shalat.” Beliau bersabda: “Jangan kalian lakukan itu, jika kalian mendatangi shalat maka wajib bagi kalian untuk tenang, apa saja yang kalian dapati dari shalat maka ikutilah, ada pun yang tertinggal maka sempurnakanlah.” (HR. Bukhari No. 635, Muslim (155) (603))

Jika memang benar dibolehkan seorang masbuq berimam kepada masbuq lainnya, tentu hal itu tidak akan luput dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dia tidak akan melupakan itu untuk umatnya, apalagi ini adalah masalah sangat penting; shalat. Namun, yang ada adalah Beliau memerintahkan kita untuk menyempurnakannya sendiri-sendiri.

Kaidah dalam hal ini adalah:

فالأصل في العبادات البطلان حتى يقوم دليل على الأمر

“Maka, dasar dari semua ibadah adalah batal (tidak ada) sampai tegaknya dalil yang memerintahkannya.” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, Hal. 344. 1968M – 1388H. Maktabah Al Kuliyat Al Azhariyah, Kairo – Mesir)

Kenapa demikian? Berkata Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah:

…. أن الله سبحانه لا يعبد إلا بما شرعه على ألسنة رسله فإن العبادة حقه على عباده

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah disembah kecuali dengan cara-cara yang Dia syariatkan melalui lisan rasul-rasul-Nya. Karena, ibadah adalah hakNya atas hamba-hambanya.” (Ibid)

Guru beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah juga mengatakan:

فَلَيْسَ لِأَحَدِ أَنْ يَعْبُدَ اللَّهَ إلَّا بِمَا شَرَعَهُ رَسُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ وَاجِبٍ وَمُسْتَحَبٍّ لَا يَعْبُدُهُ بِالْأُمُورِ الْمُبْتَدَعَةِ

“Maka, tidak boleh bagi seorang pun menyembah Allah kecuali dengan cara-cara yang telah disyariatkan oleh RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik berupa kewajiban atau sunah, serta tidak menyembahNya dengan perkara-perkara yang baru (Al Umur Al Mubtadi’ah).” (Majmu’ Fatawa, 1/80. Cet. 3, 2005M-1426H. Darul Wafa)

Pihak yang melarang adalah kalangan Hanafiyah dan Malikiyah, berikut ini keterangan Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah:

فالحنفية قالوا : لا يصح الاقتداء بالمسبوق بعد قيامه لإِتمام صلاته . والمالكية وافقوهم : على ذلك ، إذا كان المسبوق أدرك ركعة مع إمامه ، لكن لو أدرك أقل من ركعة ، صح الاقتداء به .

Ada pun Hanafiyah, mereka mengatakan tidak sah mengikuti orang yang masbuq setelah berdiri untuk menyempurnakan shalatnya. Kalangan Malikiyah mengikuti pendapat mereka atas hal itu, apabila makmum masbuq yang dijadikan imam itu sempat mendapatkan satu rakaat bersama imam, tetapi kalau ia tidak mendapatkan satu rakaat pun bersama imam, kita boleh bermakmum kepadanya. (Fatawa Al Azhar, 8/487)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah juga lebih mengutamakan bahwa sebaiknya makmum masbuq tersebut menyempurnakan shalatnya masing-masing, toh keutamaan dan pahala berjamaah sudah mereka dapatkan selama mereka telah mendapatkan satu rakaat saja dari shalat jamaah yang mereka ikuti. Beliau berkata:

فإذا سلم الإمام من الصلاة، وأراد أحد المسبوقين أن يأتم بمثله بعد السلام، فيما بقي من صلاتهما ففي هذه المسألة وجهان لأهل العلم، وأكثر الفقهاء على المنع من ذلك، فالأولى لكل واحد من المسبوقين أن يتم صلاته بعد سلام الإمام، دون ائتمام أي منهم بالآخر، لأن كلا منهما قد حصل فضل الجماعة بإدركه ركعة فأكثر. والله أعلم

Jika imam salam dari shalatnya, dan salah satu masbuq menyempurnakan sisa shalatnya bersama orang yang sepertinya setelah salam, maka dalam masalah ini ada dua pendapat di antara ulama. Mayoritas ahli fiqih mengatakan hal itu terlarang. Maka, yang lebih utama bagi setiap orang yang masbuq adalah hendaknya menyempurnakan shalatnya setelah salamnya imam, tidak usah lagi mengangkat yang lainnya menjadi imam, karena setiap mereka sudah mendapatkan keutamaan jamaah ketika telah mendapatkan satu rakaat atau lebih. Wallahu A’lam (Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyah, No. 5494)

Sementara itu, ulama lain membolehkan seorang masbuq berimam kepada sesama masbuq. Dasar mereka adalah orang yang shalat sendiri (munfarid) BOLEH diangkat menjadi imam berdasarkan banyak riwayat shahih, maka seorang masbuq yang sudah berpisah dari jamaah sehingga dia menjadi shalat munfarid, boleh saja dijadikan imam oleh masbuq lainnya.

Dalilnya sebagai berikut:

Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma berkata:

بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ ثُمَّ قَالَ نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا ثُمَّ قَامَ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ خَطِيطَهُ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

“(Bittu) Aku mabit di rumah bibiku Maimunah binti Al Harits, istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pada malam itu nabi berada di sampingnya, lalu beliau shalat Isya, kemudian pulang ke rumahnya, lalu shalat empat rakaat, kemudian tidur, kemudian bangun, kemudian dia bersabda: “Bocah kecil (Al Ghulayyim)[1] ini sudah tidur.” Atau kata-kata yang serupa dengan itu. Lalu dia mendirikan shalat, dan aku berdiri di samping kirinya, maka dia memindahkanku ke kanannya, lalu shalat lima rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian beliau tidur, sampai aku mendengar suara dengkurannya, kemudian keluar untuk shalat (subuh).”(HR. Bukhari No. 117)

Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

جَاءَ رَجُلٌ وَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّكُمْ يَتَّجِرُ عَلَى هَذَا فَقَامَ رَجُلٌ فَصَلَّى مَعَهُ

Datang seseorang dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah selesai shalat, Beliau bersabda: “Siapakah di antara kalian yang mau menemaninya?” maka berdirilah seorang laki-laki dan shalat bersamanya. (HR. At Tirmidzi No. 220, katanya: hasan. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 4792. Imam Al Haitsami mengatakan perawinya adalah para perawi shahih. Lihat Majma’ Az Zawaid, 2/174)

Laki-laki itu adalah Abu bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah. (Nailul Authar, 3/185)

Kasus yang semodel ini cukup banyak, diriwayatkan oleh beberapa sahabat seperti istri Rasulullah sendiri, ‘Aisyah dan Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhuma.

Semua ini menunjukkan bahwa boleh menjadikan orang yang tadinya shalat sendiri lalu dia menjadi imam bagi orang lain ketika dia tengah menjalankan shalat munfarid-nya, sebagaimana seorang masbuq mengimami masbuq lainnya ketika mereka lepas dari jamaah sebelumnya. Kalau memang tidak boleh, pastilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan mengingkari yang dilakukan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma atau yang lainnya, justru sebaliknya Beliau mempersilakan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu menemani orang yang sedang shalat sendiri, padahal Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu sudah shalat sebelumnya.

Pihak yang membolehkan adalah kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah, Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah menjelaskan:

والشافعية قالوا : من اقتدى بمأموم مسبوق بعد أن سلم الإِمام ، أو نوى مفارقته : صح الاقتداء ، وهذا فى غير الجمعة أما فى صلاتها فلا يصح الاقتداء . الحنابلة وافقوهم : على ذلك .

Kalangan Syafi’iyah mengatakan: barang siapa yang mengikuti makmum yang masbuq setelah salamnya imam, atau dia berniat untuk memisahkan diri darinya, maka tetap sah mengikutinya. Ini pada selain shalat Jumat, ada pun pada shalat Jumat tidak boleh. Kalangan Hanabilah menyepakati mereka atas hal itu. (Fatawa Al Azhar, 8/487)

Pihak yang membolehkan di antaranya adalah Syaikh Hisyam ‘Afanah, Beliau berkata:

يقول السائل : إنه جاء إلى المسجد فوجد صلاة الجماعة قد انتهت وأنه اقتدى برجل مسبوق فصلى خلفه فما حكم صلاته ؟
الجواب : اقتداؤك بالمسبوق صحيح إن شاء الله على الراجح من أقوال أهل العلم وقد دلت على ذلك أحاديث …

Penanya: Ada seseorang datang ke masjid, dia dapatkan shalat jamaah sudah selesai, dan dia mengikuti seorang yang masbuq, lalu dia shalat di belakangnya, maka apa hukum shalatnya itu?

Jawab: Anda mengikuti seorang yang masbuq adalah benar adanya insya Allah, menurut pendapat yang lebih kuat di antara pendapat para ulama. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah hadits … (lalu disebutkan hadits-hadits yang telah kami sebutkan). (Fatawa Yas’alunaka, 2/15)

Ini juga menjadi pendapat Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab Rahimahumallah, Beliau berkata setelah memaparkan perbedaan pendapat dalam mazhab Hambali dalam hal ini. Beliau berkata:

والذي يترجح عندنا هو الوجه الأول، سواء نويا ذلك في حال دخولهما مع الإمام، أو لا، والله أعلم.

Pendapat yang lebih kuat menurut kami adalah pendapat pertama (maksudnya yang membolehkan, pen), sama saja apakah dia berniat melakukan hal itu dalam keadaan mereka berdua bersama imam yang sama, atau tidak. Wallahu A’lam. (Ad Durar As Saniyah fi Ajwibah An Najdiyah, 4/277)

Dan lain-lain.

Kesimpulan:

  • Masalah ini telah diperselisihkan para imam, dan mayoritas melarangnya.
  • Walau diperselisihkan hendaknya kita mengambil sikap atas perbedaan ini.
  • Namun bersamaan sikap itu, dilarang fanatik dengan salah satu pendapat di antara keduanya, dengan menyerang saudaranya yang mengikuti pendapat lain yang saudaranya itu benar. Hendaknya masing-masing pihak berlapang dada.
  • Pendapat yang kami kuatkan adalah pendapat yang mengatakan bahwa sebaiknya dilanjutkan shalat sendiri-sendiri saja, mengingat beberapa hal:

Pertama, dalil secara khusus, atau contoh yang benar-benar seperti itu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya tidak pernah ada. Ibadah ritual yang khusus secara juknis (petunjuk teknis) dan juklak (petunjuk pelaksanaan)-nya –seperti shalat- hendaknya memiliki pedoman tersendiri agar lebih selamat dan aman secara syariat. Kehatian-hatian adalah lebih utama diikuti …

Kedua, dalil-dalil pihak yang membolehkan yaitu dengan mengqiyaskan masalah ini dengan kasus-kasus orang shalat munfarid (sendiri) lalu ditemani orang lain untuk berjamaah, tidaklah sama dengan masbuq menjadi imam bagi masbuq lainnya, atau tidak sama pula dengan kasus seorang masbuq menjadi imam bagi orang yang baru sampai ke masjid. Istilahnya qiyas ma’al fariq – mengqiyaskan dengan hal yang berbeda.

Kenapa tidak sama? Sebab, seorang yang masbuq tentunya tadinya dia ikut berjamaah dengan seorang imam, dan dia tetaplah dihitung mendapatkan status berjamaah walau imamnya sudah selesai shalat selama ketika dia ikut shalat jamaah tersebut minimal dapat satu rakaat saja. Tentunya ini berbeda dengan kasus satu orang shalat sendiri lalu dia ditemani oleh orang lain untuk berjamaah seperti kasus-kasus yang dijadikan dalil pihak yang membolehkan. Bagaimana mungkin sama antara “menjadi makmum seseorang yang shalatnya tadinya memiliki imam (shalat berjamaah)”, dengan “menjadi makmum seseorang yang shalatnya tidak memiliki imam”?

Ketiga, ternyata qiyas dalam masalah ibadah ta’abudiyah -seperti shalat- tidak dibenarkan oleh banyak imam. Qiyas hendaknya hanya pada masalah-masalah muamalah. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء

Bab masalah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) harus berdasarkan nash, bukan karena qiyas atau pendapat-pendapat. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Juz.7, Hal. 465. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet. 2, 1999M-1420H)

Keempat, cukup bagi si masbuq melanjutkan dan menyempurnakan shalatnya sendiri-sendiri. Sebagaimana yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam perintahkan. Lagi pula dia telah mendapatkan “status berjamaah” selama mendapatkan satu rakaat saja, apalagi lebih.

Kelima, bahkan untuk orang yang masbuq ketika imam duduk tasyahud, walau dia tidak mendapatkan “status berjamaah” namun pahala orang berjamaah tetap dia dapatkan, Insya Allah. Lebih hebat lagi, ini juga berlaku bagi orang yang ketinggalan jamaah sama sekali, dia terlambat karena adanya uzur syar’i, sehingga jamaah sudah bubar, akhirnya dia shalat sendiri. Dia pun tetap mendapatkan pahala berjamaah karena dia menginginkan shalat berjamaah, namun dia tidak mendapatkannya karena halangan syar’i, bukan karena sengaja memperlambat dan mengulur-ulur. Misal: sebelum sampai ke masjid kendaraan yang dia pakai bermasalah, atau dia sakit perut lalu buang hajat, dan halangan syar’i lainnya.

Dalilnya adalah dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia pergi ke masjid (untuk berjamaah) dan dia lihat jamaah sudah selesai, maka ia tetap mendapatkan seperti pahala orang yang hadir dan berjamaah, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. An Nasa’i No. 855, Abu Daud No. 564, Ahmad No. 8590, Al Hakim No. 754, katanya shahih sesuai syarat Imam Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6163)

Berkata Imam Abul Hasan Muhammad Abdil Hadi As Sindi Rahimahullah:

ظَاهِره أَنَّ إِدْرَاك فَضْل الْجَمَاعَة يَتَوَقَّف عَلَى أَنْ يَسْعَى لَهَا بِوَجْهِهِ وَلَا يُقَصِّر فِي ذَلِكَ سَوَاء أَدْرَكَهَا أَمْ لَا فَمَنْ أَدْرَكَ جُزْء مِنْهَا وَلَوْ فِي التَّشَهُّد فَهُوَ مُدْرِك بِالْأَوْلَى وَلَيْسَ الْفَضْل وَالْأَجْر مِمَّا يُعْرَف بِالِاجْتِهَادِ فَلَا عِبْرَة بِقَوْلِ مَنْ يُخَالِف قَوْله الْحَدِيث فِي هَذَا الْبَاب أَصْلًا .

“Secara zhahirnya, hakikat keutamaan jamaah adalah dilihat dari kesungguhan dia untuk melaksanakannya, tanpa memperlambat diri atau menunda-nunda. Jika demikian, ia tetap dapat pahala jamaah, baik sempat bergabung dengan jamaah atau tidak. Maka, barang siapa yang mendapatkan jamaah sedang tasyahud, maka pahalanya sama dengan yang ikut sejak rakaat pertama. Adapun urusan pahala dan keutamaan tidak dapat diketahui dengan ijtihad. Jadi, sepatutnya kita tidak peduli dengan pendapat yang bertentangan dengan hadits-hadits di atas.” (Syarh Sunan An Nasa’i, 2/111. Cet. 2, 1986M-1406H. Maktab Al Mathbu’at Al Islami. Halab)

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajma’in.

Sekian. Wallahu A’lam

Catatan Kaki:

[1] Al Ghulayyim adalah panggilan kesayangan buat anak kecil, dan yang dimaksud adalah Ibnu Abbas. (Fathul Bari, Juz. 1, Hal. 212. Darul Fikr)

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (9 votes, average: 8.00 out of 5)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Para Imam Palestina di Ramadhan Nusantara

Figure
Organization