Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Karena Allah Semata

Karena Allah Semata

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (rawaea.deviantart.com)

dakwatuna.com – Diam. Itu yang biasa Fulan lakukan bila rekan-rekan kerja menjadikan dirinya sebagai bahan ledekan. Lebih baik diam. Sebab menanggapi pun hanya akan membuat ledekan mereka semakin berkembang. Belum menikah di usia berkepala tiga, dimana teman seusianya rata-rata sudah berkeluarga dan mempunyai anak, ada yang dua bahkan ada juga yang tiga, membuat Fulan sering menjadi bahan ledekan rekan-rekan sekantornya.

“Bulan Haji sudah lewat, kamu belum juga kawin, Lan?” salah seorang rekan kerja Fulan membuka obrolan, atau lebih tepatnya ledekan, beberapa menit sebelum jam makan siang.

“Boro-boro kawin, punya pacar saja belum,” celetuk rekan kerja lainnya. “Sudahlah Lan, jangan terlalu pilih-pilih, segeralah kawin. Hati-hati, kelamaan membujang nanti bisa berkarat!” lanjutnya, yang disambut dengan gelak tawa rekan kerja lainnya.

Dan seperti biasa, Fulan hanya menanggapinya dengan diam dan senyum. Tak perlu merasa sakit hati. Cukup sering ia mendengar semacam ini, seolah-olah tak ada yang lebih menarik bagi mereka selain menjadikan dirinya sebagai bahan guyonan.

Dan pilihan Fulan memang cukup ampuh untuk tidak membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan. Diam dan atau tersenyum adalah jurus yang tetap akan ia gunakan selama ledekan dan guyonan yang mereka lontarkan masih dalam batas kewajaran.

Tapi apa yang terdengar siang itu sungguh tak bisa hanya Fulan tanggapi dengan diam ataupun tersenyum. Bukan marah, tapi Fulan merasa perlu meluruskan apa yang baru saja diucapkan salah seorang rekan kerjanya ketika ia menolak untuk makan siang bersama karena hari itu ia sedang berpuasa.

“Sudah aku bilang, buruan kawin, biar ada yang masakin. Jadi kamu tidak puasa melulu!” celetuk salah seorang rekan kerja sambil tertawa. Dan meskipun guyonannya kali ini tidak di’amin’i rekan kerja lainnya, ia yang memang paling rajin meledek Fulan merasa guyonannya tak kalah lucu dari biasanya.

Bukan saja tidak lucu, tapi celetukannya kali ini memancing reaksi Fulan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Maaf! Sebagai laki-laki normal, saya pun ingin menikah. Sungguh! Tapi mau bagaimana lagi, barangkali Allah belum mengizinkan. Sampai saat ini Allah belum mempertemukan dengan jodoh saya. Karena itu saya coba meredam hasrat alami saya dengan berpuasa.” Fulan menjawab dengan hati-hati. Ia tak ingin justru rekan kerjanya yang jadi tersinggung, meskipun sebenarnya ia yang lebih pantas tersinggung.

“Biar cepat dapat jodoh?” sahut rekan kerjanya, masih belum menyadari kekeliruannya.

Fulan menjawabnya dengan menggeleng.

“Atau, biar cepat kaya?” rekan kerja Fulan kembali bertanya. Kali ini ia sambil tertawa.

Sambil tersenyum Fulan menjawab. “Bukan, bukan karena itu semua. Saya berpuasa bukan karena terpaksa sebab tidak ada yang memasak untuk saya. Meski rasanya tidak enak, insya Allah saya bisa masak sendiri. Atau kalau saya lagi malas masak, di sekitar kontrakan saya masih banyak warung nasi. Juga saya berpuasa bukan agar cepat dapat jodoh, apalagi cepat kaya.”

“Lalu?”

“Saya hanya mengikuti pesan Rasulullah kepada pemuda yang ingin menikah tapi belum mampu, agar berpuasa karena puasa itu perisai baginya. Saya sudah siap dan insya Allah mampu untuk berumah tangga, baik secara fisik, hati maupun materi. Tapi sampai saat ini Allah belum menunjukkan wanita mana yang akan menjadi jodoh saya. Saya bukan pilih-pilih, tapi memilah dan memilih calon pasangan adalah satu keharusan agar rumah tangga selamat dunia hingga akhirat.”

“Maaf, kalian tentu lebih tahu dan lebih berpengalaman dalam hal ini.” Fulan menambahkan. “Dan selain mengikuti anjuran rasul, tujuan utama saya berpuasa adalah karena mengharap ridha Allah semata. Mengapa? Karena ketika Allah ridha dengan kita, apapun yang kita inginkan, kita butuhkan, akan Allah kabulkan. Insya Allah. Maaf, saya tidak bermaksud menggurui, saya hanya mengingatkan, terutama diri saya sendiri bahwa apapun yang saya lakukan semestinya karena Allah semata, bukan karena kepentingan dunia yang hanya sesaat. Dengan ridha Allah, dunia akhirat insya Allah selamat. “

Sunyi. Tak ada satu pun rekan kerja yang menanggapi, termasuk yang tadi memulai obrolan ini.

“Maaf, Lan. Saya tak bermaksud menyinggung perasaanmu” akhirnya ia menyadari kesalahannya.

“Sudahlah, fren. Saya tidak tersinggung kok. Silakan makan siang, sudah waktunya istirahat.” Jawab Fulan sambil tersenyum. Ia sengaja memanggil fren untuk mencairkan suasana. Tak ingin Fulan berlama-lama dalam suasana yang tidak nyaman. Yang terpenting adalah rekan kerjanya bisa mengambil pelajaran, dan tidak sembarangan memilih obrolan.

***

Saya sepakat dan sependapat dengan Fulan. Bahwa segala sesuatu yang kita lakukan semestinya adalah karena Allah semata. Pekerjaan yang sama belum tentu di mata Allah nilainya sama. Semua tergantung niat ketika akan melakukannya.

sama-sama berpuasa belum tentu sama-sama bernilai ibadah, tergantung niatnya. Ketika berpuasa karena terpaksa, tidak ada yang memasak seperti yang rekan kerja Fulan katakan, ingin cepat kaya, diet dalam rangka menurunkan berat badan atau berbagai macam alasan duniawi lainnya, maka tak ada pahala yang ia dapatkan selain apa yang ia inginkan.

Barangkali dengan berpuasa ia memang bisa berhemat sehingga ia bisa menabung lebih banyak, lebih cepat kaya karena kaya dalam pandangannya selalu diukur dengan harta. Atau dengan berpuasa ia bisa menurunkan berat badannya hingga tercapai berat yang ideal. Itu mungkin-mungkin saja. Tapi sesungguhnya orang yang seperti ini sangatlah merugi.

Semestinya, kalaupun benar di rumah tidak ada makanan, tidak ada yang memasak, ingin berhemat, atau ingin memiliki berat badan yang ideal, tetap niatkan puasa karena Allah semata. Mengharap ridha Allah, bukan yang lainnya.

Seperti yang Fulan katakan, ketika Allah ridha kepada kita, maka Allah akan mencukupkan yang kita inginkan, memberikan yang kita butuhkan. Jangan arahkan yang kita kerjakan untuk kepentingan duniawi saja, itu tidak bernilai ibadah. Niatkanlah karena Allah, karena dengan demikian, dunia akhirat tercakup semuanya.

Allah Mahatahu apa yang kita inginkan, kita butuhkan. Mari benahi niat sebelum melakukan sesuatu. Pastikan karena kita mengharap ridha Allah semata. Insya Allah.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (16 votes, average: 9.38 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang pembaca yang sedang belajar menulis.

Lihat Juga

Sebuah Nasihat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Figure
Organization