dakwatuna.com – “Dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah “wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil”(QS. Al Isra: 23-24)
Pernah saya mendapat cerita dari seorang teman di kampus bahwa hari-harinya dirasakan resah dan gundah, kalau saat ini bias dikatakan galau mungkin ya. Dia cerita,
“Akhi kenapa saya merasa ga enak perasaan terus ya??”
“Lagi futur kali akh”, jawab saya kepada beliau.
“Mungkin kali ya”, sahutnya.
Keesokan harinya dia sms, “Akhi ibu saya sakit di kampung.”
Kisah ini saya tidak tahu apakah kebetulan atau bukan, antara galau dengan sakit ibunya. Tapi saya katakan bahwa ini sebuah perasaan, ikatan hati (ta’liful qulub) antara seorang anak dengan orang tuanya. Pada umumnya, ikatan antara seorang ibu dengan anak lebih kuat jika dibandingkan dengan ikatan seorang ayah. Tapi mayoritas rekan-rekan saya beropini seperti itu, dan insya Allah tidak bermaksud mengurangi posisi dan keberadaan ayah. Mengapa demikian? Berikut ada beberapa opini yang saya dapatkan dari beberapa rekan saya. Rekan saya yang pertama mengatakan bahwa “memang, Secara biologis hal ini disebabkan karena saat berada dalam kandungan, anak sudah sangat dekat dengan ibu yang dihubungkan dengan seikat tali yang kita kenal tari ari-ari. Dengan tali itu bayi mendapatkan nutrisi makanan, aliran darah dan aliran perasaan langsung dari sang ibu hingga melahirkannya”.
Rekan saya yang kedua mengatakan “Secara psikologis, hubungan antara anak dengan seorang ibu lebih kuat dikarenakan beberapa hal di antaranya. Pertama, Ibu telah merasakan hidup secara langsung dalam satu kehidupan yang sama selama sembilan bulan. Kedua, kuantitas kebersamaan dan komunikasi anak bersama ibu lebih banyak dibandingkan dengan seorang ayah. Ke tiga, seorang ibu lebih lembut dalam berkata dan mendidik anak. Ke empat, naluri seorang ibu lebih kuat kepada anak”.
Semoga opini ini bisa mewakili opini-opini yang ingin ditambahkan. Dalam tadhiyah/pengorbanan seorang ibu yang begitu besar ini, mulai dari mengandung 9 bulan ia bawa kita ke mana-mana hingga tidur pun susah dengan keberadaan kita di perutnya. Semoga Allah selalu memberikan Rahmat yang besar kepada setiap ibu yang senantiasa sabar menjaga, mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Surga itu ada di telapak kaki ibu. Rasulullah SAW pun saat ditanya seorang sahabat siapakah yang harus diikuti perintahnya, maka ibulah yang lebih dahulu dilaksanakan bahkan hingga tiga kali. Dalam Al Qur’an Allah SWT dengan sangat jelas berfirman kata ah atau is menjadi sebuah hal terlarang untuk dilakukan.
“Dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah “wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil” (QS. Al Isra: 23-24).
Pengorbanan yang tidak akan bisa balas dengan materiil ataupun lainnya melainkan kita berbakti dari mulai senyumnya yang segar hingga senyumnya pudar. Terima kasih Ibu, Umi, Bunda, Mamah, Enyak, Emak, Mamih .Wallahu’alam.
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: