Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Kendaraan Sebuah Gagasan

Kendaraan Sebuah Gagasan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Visi global Islam itu terangkum dengan sangat singkat dalam surat al-Anbiya 107, “wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil ‘alamin”. (Tidaklah kami mengutus kamu wahai Muhammad melainkan sebagai penebar rahmat untuk seluruh semesta). Rahmat itu berbentuk cinta, kebaikan, kontribusi dan manfaat.

Dari awal, misi ini sudah dipahami para sahabat yang jumlahnya segelintir di rumah-rumah kecil kota Mekkah. Dalam 13 tahun, model generasi terbaik itu menjalani kehidupan dakwah yang perlahan tapi pasti, menaiki tangga peradaban. Walaupun hasil dakwahnya tidak lebih dari 200 orang, tapi para sahabat tidak pernah gagal fokus dari misi agung rahmatan lil ‘alamin, yang ingin saya sebut dengan “Global Rahmat”.

Dakwah kecil itu perlu memiliki kendaraan yang lebih kuat, di teritori yang lebih subur dan egaliter untuk tumbuhnya pemikiran peradaban. Itulah Yatsrib, Madinah, dalam waktu 10 tahun, visi global Islam itu memiliki kendaraan yang kokoh, kencang, tidak memiliki banyak aksesori tapi dipastikan relevan sesuai kebutuhan zaman, yaitu negara Madinah.

Oleh sebab itulah, negara Madinah di zaman Rasul, belum membangun banyak infrastruktur, sistem-sistem kehidupan yang rumit, tapi mencetak generasi pemimpin masa depan. Persis, setelah wafatnya sang Nabi, umat Islam telah memproduksi sekelompok massa yang berkapasitas pemimpin. Bukan hanya mengelola kota atau wilayah, tapi bahkan memimpin imperium.

Generasi yang dikatakan Rasul “Khairul Quruni Qarni” (generasi terbaik adalah generasiku) terbukti memberi landasan kokoh bagi terbangunnya peradaban Islam 14 abad setelahnya. Sepanjang kurun waktu itu, umat Islam selalu mempunyai kendaraan kuat untuk menopang misi peradabannya.

Saat itu berbentuk negara imperium, kekhilafahan, dari Umayyah, Abbasiyyah hingga Ustmaniyyah. Walaupun di antara 3 imperium itu juga ada negara-negara kecil, atau masa-masa kekosongan, tapi relatif umat Islam selalu mempunyai tokoh yang memberi alternatif institusi besar sebagai kendaraan sebuah gagasan besar: Global Rahmat. Seperti saat di Andalusia terjadi kekosongan, Abdurrahman bin Mu’awiyyah-lah yang mendirikan ulang imperium baru daulah Umawiyyah di selatan Spanyol.

Berabad-abad umat Islam merasa percaya diri, karena setiap satu dinasti tumbang, selalu ada narasi baru, pendiri baru, yang membawa umat ini dengan kendaraan kuat, dan mengangkut mayoritas umat Islam ke terminal global rahmat. Karena sifatnya mencakup mayoritas umat Islam, itulah sebabnya disebut Jama’atul Muslimin artinya Kelompok Umat Islam.

Banyak ulama bahkan memasukkan bab baiat terhadap pemimpin tertinggi umat Islam dalam bab Aqidah, dan menambahkan hadits Rasul tentang mati jahiliyyah bagi yang tidak berbaiat.

Kurva peradaban itu, walau bergelombang naik turun kecil, namun relatif menanjak terus, meninggi, dari titik nol jahiliyyah di masa pra-kenabian, hingga puncak kegemilangan Ustmaniyyah di zaman Sultan Sulaiman al-Qanuni.

Kurva itu baru menurun landai hingga ke titik nadir di akhir daulah Ustmaniyyah hingga runtuhnya di tahun 1924. Di awal abad 20 itu, untuk pertama kalinya umat Islam tidak memiliki kendaraan perjuangan untuk gagasan besar global rahmat, setelah sebelumnya 14 abad umat Islam selalu mempunyai kendaraan besar, mencakup mayoritas umat. Maka kelompok umat Islam yang bermula dari negara madinah itu (jamatul muslimin) hilang sudah.

Keresahan kolektif yang mengisi dada para pemikir dan dai umat adalah ‘bagaimana mengantarkan umat ini pada misi globalnya’. Para dai pembaharu menawarkan berbagai jenis kendaraan. Ada yang baru berwacana pemikiran tanpa bentuk organisasi yang terlalu jelas seperti Khairuddin at-Tunisi, Rifa’ah Thahthawi.

Ada yang dominan politik (Pan Islamisme-nya Jamaluddin Al-Afghani), ada yang didominasi Jihad seperti Abdullah Azzam. Ada yang fokus dengan pendidikan seperti Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh. Ada pula yang mengintegarsikan kemajuan pemikiran peradaban At-Tunisi, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, visi politiknya Al-Afghani, juga kebutuhan organisasi modern, yaitu Hasan al-Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin. Bahkan gerakan terakhir ini menginspirasi lebih dari 80 negara berpenduduk mayoritas muslim.

Semua kendaraan pasca runtuhnya daulah ustmaniyyah adalah sarana. Sarana mewujudkan cita-cita besar global rahmat, yang dalam istilah Hasan al-Banna ‘Ustadziyatul ‘alam’. Kendaraan-kendaraan seperti ini mutlak diperlukan, karena umat tidak bisa bergerak sebagai individu-individu soleh tanpa pemikiran strategis dan organisasi yang dinamis. Kendaraan itu bisa jadi banyak, berbeda nama, berbeda cara melaju, berbeda cara menyeru, bahkan terus bermunculan kendaraan-kendaraan baru.

Tidak ada yang aneh, tidak ada yang salah, dan ini bukan bentuk perpecahan umat, apalagi jika dianggap 72 katagori golongan-golongan sesat sesuai hadits Nabi. Karena kendaraan-kendaraan ini, menurut Dr. Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, hanyalah ‘jamaah minal muslimin’ (bagian dari kelompok umat Islam) bukan kelompok umat Islam itu sendiri (jamaatul muslimin).

Semuanya mempunyai tawaran proyek keumatan untuk memenangkan agama ini. Proyek itu bukan berarti sistem khilafah, bahkan tidak harus sama sekali. Apapun bisa. Membangun negara sendiri sebagai negara yang berdaulat, berdaya, teknologis, demokratis, sejahtera, relijius, lalu punya posisi global, boleh jadi tawaran sebuah kendaraan umat Islam.

Maka relevansi sebuah kendaraan diukur oleh sejauh mana kendaraan ini mampu mengantarkan umat Islam pada misi ‘global rahmat’. Jika ada analisis relevansi sebuah kendaraan, bahkan jika ada perubahan sikap dari satu kendaraan ke kendaraan yang lain tidak akan memberi konsekuensi ‘mati dalam keadaan jahiliyyah’.

Analogi-analogi pemimpin sebuah Jamaah minal muslimin bagaikan imam salat yang harus ditaati mutlak, metafor Talut dan Nabi Musa, apalagi menyamakan yang berbeda sikap dengan 300 rombongan perang Uhud yang mundur, menunjukkan ketidakpahaman akan metodologi Qiyas dan logical fallacy yang akut.

Karena kendaraan adalah sarana, ijtihad ulama dan anak pikiran untuk menjawab ‘Ihtiyaajaat al-‘Ashr’ (tuntutan zaman) dalam bahasa Said Hawwa. Maka variabel-variabel tuntutan zaman seperti analisis lingkungan strategis, capaian dakwah, politik, sosial, situasi lokal, nasional, global trend bahkan ‘future projection’; semua itu harus menjadi evaluasi tahunan bahkan kontemplasi harian seorang muslim.

Andaipun hasil evaluasi itu membelalakkan mata, mengucurkan air mata, lalu menimbulkan keresahan, justru di sanalah perubahan dan pembaharuan bermula. Maka dada harus dikuatkan, nafas harus dipanjangkan, pikiran harus dimatangkan dan kaki mulai dilangkahkan. Yang dibutuhkan umat ini bukan kenyamanan perasaan yang mematikan dan meruntuhkan, tapi kejujuran yang membangun kesadaran dan keresahan yang menggerakkan. (elvandi/dakwatuna.com)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Muhammad Elvandi lahir di Bandung, tahun 1986. Ia menyelesaikan seluruh pendidikan dasarnya di Bandung: SDN Cibuntu 5, SLTPN 25 dan SMUN 9. Bahasa Arab mulai dikenalnya dari dasar selama dua tahun di Ma’had Al Imarat dan bahasa Inggris selama sembilan bulan di LIA. Skill kepemimpinannya terlatih sejak pramuka, menjadi ketua IKMA rohis SLTPN 25, ketua bidang tarbiyah PRISMAN SMUN 9, dan president UCC (United Conversation Club) dan presiden mahasiswa BEM Al Imarat. Pengalaman menulis pertamanya adalah sebuah novel kepahlawanan di zaman perang salib ‘Syair Cinta Pejuang Damaskus‘ tahun 2006. Pertengahan tahun 2007 mendapatkan beasiswa kuliah S-1 di Universitas al-Azhar Mesir, jurusan Da’wah wa Tsaqâfah al-Islâmiyyah hingga selesai tahun 2011. Selama menjadi mahasiswa di Mesir kembali menekuni aktivitas kepenulisan hingga terbit buku ‘’Inilah Politikku’’. Juga terjun dalam organisasi mahasiswa dan menjadi ketua BPA-PPMI. Dan menjadi pembicara di puluhan forum Keislaman, Kepenulisan, Leadership, Public Speaking dan Politik. Ia menggemari sastra secara umum, juga buku-buku sejarah, pemikiran, dan politik. Tahun 2011 Elvandi meneruskan kuliah ke Perancis. Mempelajari bahasa Perancis dalam setahun di Saint Etienne lalu mengambil Master Filsafat di Institut Europeen des Sciences Humaines de Paris hingga 2014. Ia menjadi konsultan pendidikan dan keislaman untuk komunitas pekerja perusahaan Internasional Total Paris, juga menjadi pembicara keislaman dan keindonesiaan di KBRI Perancis, KBRI Autria, KBRI London, Forum Keislaman IWKZ Berlin, SGB Utrech Belanda, KIBAR United Kingdom, dan beberapa komunitas muslim lokal di Newcastle, Manchester, Glasgow dan Aberdeen. Tahun 2014 Elvandi mengambil mengambil Master kedua di University of Manchester pada program MA Political Science: Governance and Public Policy yang diselesaikan di pertengahan 2015. Saat ini Elvandi membangun beberapa lini bisnis di Indonesia dan Eropa, juga menjadi pembicara di forum-forum dalam dan luar negeri, serta menjadi dosen di Telkom University Bandung. Elvandi juga membina berbagai komunitas anak muda di Indonesia. MUDA Community (www.muda.id) adalah komunitas Muslim Berdaya yang fokus membangun kemampuan pemikiran dan ilmu-ilmu keislaman di generasi muda. Juga AFKAR Institute, adalah lembaga kajian strategis, Think Tank yang mengkaji tema-tema strategis keumatan di level Indonesia dan global.

Lihat Juga

Bentuk-Bentuk Penyimpangan di Jalan Dakwah (Bagian ke-3: Persoalan Jamaah dan Komitmen (Iltizam))

Figure
Organization