Topic
Home / Berita / Internasional / Agresi Militer Terhadap Qatar, Mungkinkah?

Agresi Militer Terhadap Qatar, Mungkinkah?

Qatar (operationworld.org)

dakwatuna.com – Doha. Konflik negara-negara Teluk dengan Qatar, semakin menimbulkan tanda tanya terutama setelah Qatar menolak 13 tuntutan yang diajukan oleh Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir. Bagaimana kelanjutan dan kemana arah konflik menjadi perhatian utama.

Agresi militer seolah menjadi ketakutan tersendiri. Hal ini mengingat kompleksitas konflik dan manuver yang ditunjukkan masing-masing pihak terkait. Diperparah dengan kemungkinan mediasi yang diupayakan pihak ketiga menemui kegagalan.

Sesuai apa yang telah dirangkum oleh “Arabi 21” dan pembicaraan dengan beberapa pengamat militer, ada pengecualian terkait agresi militer dalam konflik Qatar ini. Pengecualian timbul karena adanya beberapa alasan yang akan disajikan dalam laporan kali ini.

Meskipun dalam beberapa kesempatan, Menteri Pertahanan (Menhan) Qatar, Khalid al-Attiyah mengisyaratkan kesiapan negaranya untuk menghadapi agresi militer. “Qatar siap untuk membela dirinya jika memang diperlukan. Mereka (negara pemboikot) bertujuan untuk mmenggulingkan Amir Qatar (Syeikh Tamim bin Hamad Al Tsani),” begitu katanya dalam sebuah kesempatan.

Dalam kesempatan lain, Menhan mengatakan, “Diharapkan kami tidak sampai pada tingkat intervensi militer. Namun kami selalu dalam keadaan siap. Kami siap untuk melakukan pembelaan terhadap negeri kami.”

Akan tetapi, agresi militer ini nampaknya masih sangat jauh untuk terealisasi. Sebab-sebabnya, adalah sebagai berikut:

Sebab pertama, tidak menjadi opsi utama.

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), serta negara-negara lain yang mengikuti keduanya, memberlakukan pemboikotan terhadap Qatar yang diawali dengan pemutusan hubungan diplomatik. Konflik pemboikotan darat, laut dan udara tersebut tidak dimulai dengan agresi militer. Negara-negara pemboikot juga tidak melambaikan ancaman kepada opsi ini.

Sangat jelas bahwa opsi agresi militer tidak tersedia dalam konflik ini. Para pengamat juga bahkan berpandangan bahwa jika opsi ini tersedia, maka negara-negara pemboikot sudah tentu memulai konflik dengan agresi militer daripada sekedar pemboikotan. Ada banyak kendala yang menghalangi negara-negara tersebut untuk menjalankan agresi militer ini.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik, Hasan Nafiah kepada “Arabi 21” mengatakan bahwa dirinya tidak mengira akan adanya intervensi militer dalam perkembangan konflik. “Jika negara-negara pemboikot hendak melanjutkan eskalasi, mereka masih memiliki berbagai sarana yang belum dilakukan,” tambahnya.

Ia juga menejalaskan, opsi agresi militer tidak menjadi tujuan dari konflik yang ada. Namun ada upaya untuk menyusun kembali Kawasan.

Sebab kedua, tidak ada terobosan signifikan terkait kebijakan Doha.

Kolumnis dan pengamat asal Palestina, Sari Arabi kepada “Arabi 21” mengatakan, “Tidak ada terobosan yang jelas pada kebijakan Qatar, atau perselisihan baru dengan kebijakan Arab Saudi dan UEA.” Tidak ada alasan yang meyakinkan untuk masyarakat internasional guna melakukan langkah lebih lanjut seperti agresi militer.

“Sebaliknya, sejak 2014 Qatar telah membuat konsesi yang signifikan seperti penutupan kantor perwakilan Al-Jazeera di Mesir, mengubah kebijakan editorial di Al-Jazeera, serta keikutsertaan Qatar dalam perang di Yaman bersama Arab Saudi,” tambahnya.

Sebab ketiga, tidak adanya oposisi di internal Qatar yang mungkin dimanfaatkan.

Selama ini Qatar sangat menjaga konsolidasi internalnya. Hal ini tampak dengan tidak adanya ancaman dari oposisi internal yang kuat terhadap pemerintahan Qatar yang mungkin dimanfaatkan untuk menebar ketakutan kepada rakyat, merongrong stabilitas politik, memancing eskalasi militer, atau mendukung kudeta terhadap pemerintah berkuasa.

Meskipun ada upaya kudeta di tahun 1996 yang didukung oleh Arab Saudi dan UEA, tapi konsolidasi internal Qatar saat ini jauh lebih terjaga. Tidak ada suara bagi oposisis internal. Di samping itu, Amir Qatar dan kebijakan internasionalnya menjadi seperti konsensus diagonal. Hal ini sebagaimana didengungkan dalam respon yang ditunjukkan warga Qatar terkait konflik, yang banyak tersebar di jejaring media sosial.

Sebab keempat, hukum internasional.

Nafiah menjelaskan bahwa tidak ada satupun hukum internasional yang mengizinkan intervensi militer terhadap suatu negara. Agresi merupakan hal yang terlarang dan diharamkan dunia internasional. Menggunakan kekuatan atau ancaman militer, tambahnya, sangat diharamkan oleh Piagam PBB.

Kekuatan militer, imbuhnya, hanya dapat dilakukan pada dua keadaan saja. Pertama dalam rangka membela diri. Ini jelas bukan keadaan yang dialami negara-negara pemboikot dengan Qatar. Kedua berkaitan dengan keamanan kolektif. Yaitu ketika Dewan Keamanan (DK) PBB memutuskan penggunaan kekuatan militer terhadap negara agresor, atau perdamaian dan keamanan internasional yang dilanggar.

Dari sini, maka setiap langkah militer dalam konflik Qatar, jelas menyalahi aturan dan sangat dilarang oleh hukum internasional, tambahnya.

Negara-negara pemboikot juga menerima banyak kritikan dari negara-negara seperti Amerika, Jerman, Prancis, Turki, Iran dan lainnya sebab pemboikotan yang mereka berlakukan untuk Qatar. Tuntutan negara pemboikot, bahkan juga disebut dengan “tidak logis”.

Pemboikotan yang dilakukan Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir tidak mendapat sambutan dari dunia internasional. Hal ini dapat dipahami karena sebab pemboikotan terlihat buram dan tidak dapat dipahami sepenuhnya.

Sebab kelima, tidak ada skenario pasca agresi militer.

  1. Nafiah berpandangan bahwa pemberlakuan agresi militer juga harus diiringi dengan apa yang terjadi setelahnya. Tujuan dan apakah semua sarana penyelesaian habis sehingga menyisakan agresi militer juga pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab.

“Solusi militer hampir pasti dikesampingkan. Tidak akan pernah ada agresi militer, sebagaimana juga tidak ada skenario setelahnya,” tambahnya.

Nafiah juga berpandangan bahwa konflik masih sangat liar dan belum dipelajari dengan baik. Juga tidak diketahui pasti apa yang diinginkan negara-negara itu dengan pemboikotan terhadap Qatar.

Agresi akan menimbulkan kekalahan militer di Qatar dan mengganti sistem pemerintahan menjadi sistem militer. Yang seperti ini, jelasnya, sangat mustahil terjadi di sebuah negara yang terdapat pangkalan militer negara besar macam Amerika Serikat di dalamnya, serta pangkalan militer regional seperti milik Turki.

Sebab keenam, hubungan Qatar dengan sekutunya seperti Turki.

Qatar tampak menikmati hubungan mesranya dengan negara penting macam Turki. Seperti telah diketahui, Turki secara lantang mengumumkan dukungannya kepada Qatar dalam konflik dan juga mengirimkan bantuan pangan pasca pemberlakuan boikot.

Bahkan, setelah diizinkan parlemennya, Turki menambah kekuatan militernya di Qatar. Hal ini berdasarkan pada kesepakatan yang dibuat kedua negara pada tahun 2007 silam.

Oktay Yilmaz, seorang pengamat politik Turki menegaskan kepada “Arabi 21”, “Parlemen (Turki) mempercepat persetujuan resolusi, ini merupakan bukti dukungannya kepada Qatar. Erdogan juga dengan lantang mengumumkan bahwa pemboikotan pada Qatar tidak dapat dibenarkan, dan negaranya solid dengan Qatar.”

Sebab ketujuh, hubungan Qatar dengan NATO.

Salah satu poin tuntutan negara pemboikot pada Qatar adalah mengakhiri kerjasama militer dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Mengapa?

Jawabnya adalah pertanyaan yang diajukan oleh Nafiah, “Apakah ada keuntungan bagi negara-negara Teluk dengan tuntutan penghentian semua bentuk kerjasama militer Qatar dengan Turki?”

Kedua tuntutan (pemutusan kerjasama militer dengan NATO dan Turki), menurut Nafiah, merupakan persoalan yang aneh dan tidak logis sama sekali.

Nafiah menambahkan, semua negara memiliki hubungan tidak langsung dengan NATO. Negara-negara Teluk juga memiliki kerjasama dan pelatihan militer dengan negara-negara anggota NATO.

Hubungan antara Qatar dengan NATO sangat menonjol pada beberapa tahun terakhir. Yang paling penting adalah kunjungan bersejarah ayah Amir ke Markas NATO pada 17 November 2006 lalu.

Di sisi lain, Qatar juga berupaya keras untuk menguatkan kerjasama efektif dengan negara-negara Istanbul Cooperation Initiative dan NATO.

Sebab kedelapan, sikap Amerika Serikat.

AS mengibaratkan Qatar sebagai sekutu dan mitra strategis. Hubungan keduanya mencakup banyal kerjasama baik dibidang ekonomi, politik, dan maupun militer. Selain itu, AS juga menyebut Qatar sebagai saldo rekayasa di Kawasan tersebut. Mantan Direktur CIA, David Petraeus mengungkatkan, “Qatar menerima utusan Hamas dan Taliban atas permohonan kami.” Pernyataan ini sebagaimana dimuat surat kabar Prancsi, “Le Journal de Dimanche”.

Sesuai dengan sikap yang ditunjukkan AS hingga saat ini, Washington belum berpikir untuk mencari alternatiif lain terkait pangkalannya di Qatar. Bahkan, menurut Fox News, pemerintahan Trump tengah mempelajari kemungkinan untuk menggelar KTT Arab di Washington untuk penyelesaian.

Terkait ini, Nafiah mengatakan, “Negara-negara Arab tidak mungkin menyerang sebuah negara yang terdapat pangkalan militer AS dan Turki di dalamnya. Jika dilakukan, itu akan mengubah konflik menjadi perang regional dan menjadi ancaman terhadap hubungan Teluk dengan AS.”

“Faktor AS menjadi sangat penting. Semua pihak akan jera jika menjalankan langkah militer,” tambanya.

Bahkan, Menlu UEA menegaskan kepada Senator dari Partai Republik AS, bahwa UEA tidak membuat pangkalan AS di Qatar terpengaruh dengan konflik yang berlangsung. Sedangkan Dubes Qatar di Turki menegaskan, AS menolak pemboikotan meskipun banyaknya pernyataan yang saling bertentangan dari pemerintahan Trump.

Sebab kesembilan, pernyataan negara-negara pemboikot.

Negara-negara pemboikot, utamanya UEA, dalam banyak kesempatan menegaskan bahwa negaranya tidak berupaya mengubah sistem pemerintahan di Qatar. Konflik hanya sampai pada pemisahan, tidak pada eskalasi militer, tambahnya.

Sebab kesepuluh, tabiat rezim di Qatar dan keanggotaannya dalam Dewan Kerjasama Teluk.

Qatar merupakan negara herediter konstitusional. Di dalamnya terdapat Dewan Menteri yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Amir. Dewan Menteri ini menjelma sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi di sana dan bertugas membenarkan semua hukum perundang-undangan yang dibuat Amir.

Selain itu, Qatar juga memiliki Majelis Syura yang terdiri dari 35 anggota. Majelis ini bertugas untuk mempelajari masalah politik, administrasi dan ekonomi yang diajukan oleh Dewan Menteri. Di Qatar juga terdapat Dewan Pertimbangan yang juga dibentuk oleh Amir.

Meski bagaimanapun, sampai saat ini Qatar adalah anggota di Dewan Kerjasama Teluk. Keanggotaan Qatar belum dibekukan atau dikeluarkan darinya. Hal ini juga menjadikan agresi militer menjadi sebuah pengecualian dalam kelanjutan konflik. (whc/dakwatuna)

Sumber: Arabi 21

Redaktur: William

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization