Topic
Home / Berita / Opini / Mengapa Terjadi Khilafiyah?

Mengapa Terjadi Khilafiyah?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Secara bahasa, khilafiyah berarti perbedaan pendapat. Yang kita maksudkan di sini, bukanlah perbedaan pendapat antara Islam dan kufur, karena Allah tidak menerima agama selain Islam. Bukan pula antara orang-orang shalih dengan para pemuja hawa nafsu, karena hawa nafsu itu menyesatkan dan merusak. Melainkan yang kita maksudkan adalah perbedaan pendapat di antara para ulama pewaris nabi dalam masalah fiqhiyah yang bersifat ijtihadiyah.

Contohnya, apakah menyentuh istri itu membatalkan wudhu? Apakah duduk tahiyat untuk shalat yang dua rakaat itu dengan cara iftirosy (seperti tahiyat awal) atau tawarruk (seperti tahiyat akhir)? Apakah bacaan basmalah dalam fatihah ketika shalat itu dikeraskan (jahr) atau dipelankan (sirr)? Apakah telunjuk jari ketika tahiyat itu digerak-gerakkan atau cukup dengan menunjuk saja? Semua itu telah dibahas tuntas oleh para ulama, dan tercatat rapi di dalam kitab-kitab rujukan. Tidak ada yang baru. Yang baru adalah tahu-nya kita, karena baru mempelajari.

Lalu, mengapa terjadi perbedaan pendapat semacam itu? Bukankah qurannya satu, haditsnya sama-sama dari rasulullah saw, dan bahasanya sama yaitu bahasa Arab? Inilah yang akan kita jawab bahwa ada sebab-sebab ilmiyah yang memungkinkan terjadinya khilafiyah.

Sebab-sebab Ilmiyah:

  1. Thabi’atul-Lughah

Sebab yang pertama adalah thabi’atul-lughah atau karakter bahasa. Kita mengenal kata yang disebut musytarok. Yaitu kata yang mengandung lebih dari satu makna.

Contoh, kata quru’ dalam firman Allah swt

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Wanita-wanita yang dicerai handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Qs. Al-Baqarah/2: 228).

Kata quru’ adalah bentuk jama’ dari qor’ yang memiliki dua makna, yaitu suci dan haid. Lalu apa makna yang dimaksud di dalam ayat? Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat dengan makna yang pertama. Sehingga wanita yang dicerai wajib menunggu selama tiga kali suci dari haid. Masa tunggu itu disebut iddah, dan tidak boleh menikah selagi masih dalam mas iddah. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat bahwa maknanya adalah haid. Sehingga masa iddah wanita yang dicerai adalah tiga kali haid.

Contoh lainnya, kata lamastum dalam firman Allah swt:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً

“dan jika klian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)” (Qs. Al-maidah/5: 6).

Kata lamastum dalam ayat mempunyai dua makna. Pertama menyentuh dalam arti bersentuhannya kulit dengan kulit itu membatalkan wudhu. Sebagian ulama mengkhususkan bahwa yang membatalkan wudhu adalah sentuhan dengan syahwat. Kedua menyentuh dalam arti hubungan intim, sehingga yang membatalkan wudhu adalah hubungan intim suami istri, sedangkan bersentuhan kulit saja tidaklah membatalkan.

  1. Riwayat Hadits

Boleh jadi suatu hadits telah sampai dkepada seorang ulama sehingga ia menyimpulkan hukum berdasarkan hadits tersebut, sedangkan ulama yang lain belum mendapatkannya sehingga menyimpulkan hukum berdasarkan dalil-dalil umum yang ada. Dengan demikian, kesimpulannya bisa berbeda.

Contoh dalam masalah ini adalah wanita yang suaminya meninggal dunia ketika ia sedang hamil. Berapa lama masa iddahnya? Ada ayat yang menerangkan bahwa iddah wanita yang suaminya meninggal dunia adalah empat bulan sepuluh hari. Yaitu ayat:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجاً يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْراً

“Orang-orang yang meninggal dunia diantara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, (hendaklah para isteri itu) menangguhkan diri (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari” (Qs. Al-baqarah/2: 234).

Ada pula ayat yang menerangkan bahwa iddah wanita yang sedang hamil adalah sampai melahirkan kandungannya. Yaitu ayat:

وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

“dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya” (Qs. At-Thalaq/65: 4).

Dari kedua ayat di atas jelaslah bahwa iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan, sedangkan iddah wanita yang suaminya meninggal adalah empat bulan sepuluh hari. Lalu bagaimana dengan iddah wanita yang hamil dan ditinggal mati suaminya?

Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa iddahnya adalah ab’adul-ajalain atau yang lebih lama diantara dua iddah. Kalau empat bulan sepuluh hari belum lahir, maka iddahnya adalah sampai melahirkan. Sedangkan kalau sudah melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari, maka iddahnya menunggu hingga genap empat bulan sepuluh hari. Jadi yang diambil adalah yang lebih lama diantara iddah hamil dan iddah ditinggal mati suami. Pendapat ini disimpulkan dengan menggabungkan kedua ayat di atas dan mengamalkan kedua-duanya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa iddahnya adalah hingga melahirkan. Sehingga bila suaminya meninggal, dan keesokan harinya melahirkan, maka selesailah masa iddahnya, dan ia sudah halal menikah lagi jika menginginkannya. Para ulama yang mengatakan pendapat ini, mendasarkannya pada hadits rasulullah saw. Yaitu:

عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نَفَسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ. فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ، فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ.

“Dari Miswar bin Makhramah bahwa sesungguhnya Subai’ah Al-Aslamiyah melahirkan beberapa hari setelah suaminya meninggal dunia. Kemudian ia datang kepada nabi saw untuk minta izin akan menikah. Maka nabi saw pun mengizinkannya, lalu ia pun menikah” (Hr. Bukhari).

Di dalam hadits ini, rasulullah saw memfatwakan bahwa iddahnya adalah hingga melahirkan. Ayat yang berkenaan dengannya adalah Qs. At-Thalaq/65: 4 tentang iddah wanita hamil. Sekiranya riwayat hadits ini sudah sampai dan diketahui oleh para ulama yang mengatakan pendapat pertama, tentu mereka akan mendasarkan hukum sesuai dengannya, tanpa perlu berijtihad. “Jika suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku”, demikian jargon para ulama. Jadi, sampai tidaknya suatu hadits kepada para ulama dalam suatu masalah merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat.

  1. Validasi Riwayat Hadits

Boleh jadi suatu riwayat hadits telah sampai, akan tetapi diantara para ulama tidak yakin dengan keabsahan riwayat tersebut, atau terjadi perbedaan dalam penilaian terhadap shahih atau dha’ifnya. Sehingga bagi yang menilainya shahih akan menjadikannya sebagai dalil, sedangkan yang menilainya dhaif tidak mengambilnya sebagai dalil.

Contohnya, apakah wanita yang telah diceraikan tiga kali oleh suaminya masih berhak mendapatkan tempat tinggal dan nafkah selama masa iddahnya? Syekh Utsaimin dalam kitabnya, al-khilaf bainal-ulama, menyebutkan pendapat Umar bin Khattab ra bahwa ia tetap mendapatkan tempat tinggal dan nafkah.

Ketika diinformasikan kepadanya bahwa Fatimah binti Qais ketika diceraikan tiga kali oleh suaminya, lalu bertanya kepada rasulullah saw tentang hak tempat tinggal dan nafkah, beliau saw menjawab:

لَا نَفَقَةَ لَكِ وَلَا سُكْنَى

“Tidak ada hak nafkah dan tempat tinggal untuk Anda” (Hr. Muslim)

Umar bin Khatthab tidak yakin dengan riwayat yang disampaikan Fatimah binti Qais tersebut dan mengatakan: “Apakah kita meninggalkan kitab allah dan sunnah nabi kita karena riwayat seorang perempuan yang kita tidak tahu boleh jadi ia hafal atau lupa”. Umar lebih tenteram mengacu pada umumnya ayat berikut:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ

“Tempatkan mereka (isteri-isteri yang dicerai) dimana kalian bertempat tinggal…” (Qs. At-Thalaq/65: 5). Sehingga beliau tetap berpendapat adanya hak tempat tinggal dan nafkah selama masa iddah untuk wanita yang telah dicerai tiga kali.

  1. Fahmun-Nash

Fahmun-Nash adalah cara memahami nash atau suatu teks baik dari qur’an maupun hadits. Sebagai contoh, Ibnu Umar ra mengatakan: Nabi saw bersabda kepada kami ketika pulang dari perang ahzab:

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ

“Janganlah seseorang melaksanakan shalat asar kecuali di perkampungan Bani quraizhah” (Hr. Bukhari).

Ketika waktu shalat asar tiba dan mereka masih di perjalanan, sebagian mereka melaksanakan shalat di perjalanan, karena waktu shalat telah ditentukan, dan maksud sabda nabi adalah agar mereka mempercepat perjalanan hingga asar sudah tiba di sana. Sedangkan sbagian lainnya menunggu hingga tiba di Bani Quraizhah, baru menunaikan shalat asar, karena berpegang teguh pada leter lek (harfiah) hadits.

Bagaimana sikap nabi saw ketika mendapat laporan tentang perbedaan pendapat tersebut? Ibnu Umar ra mengatakan:

فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

“Beliau saw tidak menyalahkan salah satu dari mereka” (Hr. Bukhari).

  1. Metode Ijtihad

Motode ijtihad para ulama ahli ijtihad telah dibukukan dalam satu disiplin ilmu yang disebut ushulul-fiqh. Antara para imam madzhab yang banyak dikuti oleh umat Islam di berbagai penjiru dunia, terdapat beberapa perbedaan dalam metode ijtihad.

Imam Malik mengambil amalan penduduk Madinah hingga masa beliau sebagai dalil, apabila tidak dijumpai dalil dari Quran dan sunnah, sedangkan ulama lainnya tidak. Pertimbangan Imam Malik bahwa mereka adalah generasi yang menyaksikan langsung generasi sebelumnya yang dibimbing oleh rasulullah saw dan mengalami sendiri peristiwa-peristiwa di mana wahyu Allah diturunkan. Sehingga tidak mungkin mereka bersepakat dalam penyimpangan.

Imam Abu Hanifah dan kalangan Zhahiriyah tidak mengambil kesimpulan hukum berdasarkan mafhum mukholafah, sementara jumhur (mayoritas) ulama mengambilnya dengan persyaratan yang ketat, antara lain tidak bertentangan dengan apa yang jelas-jelas ditunjukkan oleh nash.

Keniscayaan

Dengan adanya sebab-sebab ilmiyah di atas, dan masih ada lainnya, maka perbedaan pendapat diantara para ulama menjadi sesuatu yang tidak bisa hindari, dan bukanlah hal yang proporsional kalau kita ingin menghapuskannya dan menjadi satu pendapat saja. Karena, yang akan terjadi justru pemaksaan satu pendapat kepada semua orang. Padahal rasulullah saw sendiri memberikan toleransi atas perbedaan pendapat sepanjang masih dalam frame pemahamal dalil yang dibenarkan.

Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara kita menyikapi khilafiyah? Insya Allah kita bahas pada edisi berikutnya.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pengasuh Pesantren Nurul Ihsan, Cilacap (Menyiapkan dai hafizh dan mandiri). Alumni LIPIA S1 Syariah, 1991. Penulis buku "Diary Perjalanan Haji", "99 Cahaya Kebajikan".

Lihat Juga

Grand Launching SALAM Teknologi Solusi Aman Covid-19 untuk Masjid

Figure
Organization