Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Masih Ramai Tentang Poligami

Masih Ramai Tentang Poligami

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (ruangpsikologi.com)
ilustrasi (ruangpsikologi.com)

dakwatuna.com – Dari Pondok Pesantren Raudhatul Jannah, Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, tersiar berita selama dua hari (20-21/4) berlangsung konfrensi para pegiat poligami. Mereka, para keluarga poligami yang mengikuti kegiatan di pesantren milik Kiyai Mahfudz Saubari ini menyebut komunitas mereka dengan nama Grup Poligami Sakinah. Kegiatan ini mendapat sorotan media yang cukup luas. Pada satu stasiun TV berita nasional di hari Selasa (21/4) sampai tiga kali menyiarkan kegiatan ini. Bisa jadi, dalam beberapa hari ke depan, media (terutama televisi) akan meramaikan kegiatan ini dalam program-program debat mereka.

Bersamaan dengan pemberitaan kegiata ini, penulis mendapat “perhatian” dari para sahabat di media sosial, terutama dalam grup pertemanan yang penulis ada di dalamnya. Mungkin karena para sahabat itu menilai penulis adalah bagian dari keluarga poligami dan pernah menulis buku soal poligami.

Sebagian sahabat menyampaikan apresiasinya kepada kegiatan di Pacet itu dan kepada penulis sendiri. Tapi ada juga yang yang menganggap poligami, terutama istri kedua sebagai kedzaliman. Penulis punya keyakinan, para sahabat yang pandangan seperti itu sesungguhnya sudah terpengaruh dengan propaganda sekularisme, liberalisme dan feminisme.

Bahwa fitrah wanita tidak suka dimadu adalah benar. Bahwa ketika suami menikah lagi akan ada istri yang kecewa dan sedih, adalah sangat mungkin. Namun fakta ini kemudian tidak bisa ditafsirkan bahwa ketika seorang suami menikah lagi ia serta merta telah melakukan kedzaliman. Bagaimana mungkin kita berani melemparkan tuduhan terhadap sesuatu yang syari’at memberi ruang untuk melakukannya? Ketika syari’at menetapkan suatu hukum, di sana ada hikmah dan ruang penerimaan pada jiwa manusia. Pada mulanya mungkin terjadi penolakan. Di awalnya boleh jadi ada perasaan sedih. Jiwa terasa sempit. Namun dengan berlalunya waktu ruang penerimaan itu melebar dan melalui mekanisme penyesuaian diri akhirnya ia bisa menerima kenyataan bahwa ada istri lain di samping suaminya. Maka, dalam kenyataannya tidak sedikit wanita yang bisa menjalani kehidupan poligami dengan beberapa istri dari suaminya, baik sebelumnya ia tahu maupun tidak tahu proses pernikahan suaminya itu. Hal ini sangat mungkin karena Allah yang menetapkan syari’at, Maha Mengetahui jiwa wanita. Tidak mungkin Allah membolehkan sesuatu yang akan merusak dan menghacurkan jiwa manusia. Terlebih-lebih bagi wanita yang beriman, dia akan mengimani seluruh ketentuan Allah baik yang ringan maupun yang berat dalam keadaan lapang maupun sempit.

Adanya perasaan umum pada diri wanita seperti kecemburuan dan ketidaksukaan untuk berbagi suami, tidaklah harus menyebabkan terhalangnya pelaksanaan suatu syari’at. Ada beberapa perintah Allah dan Rasulullah yang secara fitrah manusia tidak menyukainya. Sebutlah perang atau peperangan. Fitrah manusia menginginkan kehidupan yang damai dan tenang. Namun demikian, dalam situasi tertentu Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk berperang. Allah berfirman: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)

Demikian pula, ujian kesedihan dan kepedihan berupa kekurangan dan kehilangan harta benda, ditinggal mati oleh orang-orang yang kita cintai adalah fragmen hidup yang akan dihadapi manusia kapan dan di mana pun. Firman-Nya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.”Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157)

Oleh karena ujian hidup adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari, maka setiap orang biasanya mempunyai mekanisme diri untuk menghadapi berbagai kesulitan dan tekanan yang dihadapi dalam kehidupan ini.

Terlebih lagi orang beriman, selalu punya mekanisme untuk mengendalikan perasaan-perasaannya, tekanan dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Selama ia yakin berada pada jalur yang benar, dengan bekalan agama yang dipahaminya berupa sabar, istiqomah dan tawakal, keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkannya, bahwa akan selalu ada jalan keluar, akan melekat pada dirinya. Di balik musibah dan kesulitan, orang beriman selalu percaya ada rahasia dan hikmah yang mungkin baru diketahuinya di kemudian hari, atau bahkan baru diketahuinya di hari perhitungan kelak. Ya, ada orientasi akhirat pada diri orang beriman, sehingga stamina dan daya tahannya menghadapi musibah, kesulitan dan tekanan fisik maupun psikologis jauh lebih dasyat dibanding orang yang tidak beriman.

Jadi, ketika seorang wanita beriman dimadu, ia tidak harus membunuh sifat-sifat kewanitaannya. Seharusnya seorang muslimah kemudian bisa mereposisi dan menata perasaannya agar tidak sampai melakukan sesuatu yang dibenci Allah SWT (Di sini kita tidak sedang bicara suami yang tidak bertanggung jawab, sebab suami yang tidak bertanggung jawab tidak hanya bencana bagi keluarga poligami, juga bencana bagi keluarga dengan hanya satu istri).

Peran lingkungan di sini pun sangat besar. Keluarga, saudara, teman, kolega atau siapapun juga setidak-tidaknya bisa memberi penguatan-penguatan, kalaupun tidak bisa memberi apresiasi kepada para istri yang menerima suaminya menikah lagi, atau wanita yang dinikahi sebagai istri kesekian, bukan justru melakukan tindakan demoralisasi dan memanas-manasi suasana. Namun kejadiannya seringkali tidak demikian. Ketika ada seorang istri yang menerima suaminya menikah lagi, orang malah menghakimi bahwa penerimaan itu hanya penampakan luar, sedang hatinya sesungguhnya hancur. Padahal tidak ada yang tahu persis isi hati seseorang kecuali Allah.

 

Kejahatan Intelektual

Tentang ketidaksukaan orang pada poligami, sebenarnya tak ada yang tahu persis mulai kapan poligami kemudian menjadi sosok hantu yang menyeramkan. Di awalnya barangkali musuh-musuh Islam yang menghembuskan permusuhan dengan mengangkat masalah ini. Setelah mereka menyadari bahwa umat Islam tidak bisa ditaklukkan dengan kekuatan fisik, mereka senantiasa mencari cara untuk menyerang Islam dengan mendiskreditkan ajaran dan syariat Islam, melempar keragu-raguan dan syubhat di sekitar hukum Islam serta menggambarkan dan menempelkan citra buruk pada diri Muhammad SAW. Dan salah satu sisi aturan Islam yang mereka jadikan sasaran tembak untuk melekatkan citra buruk pada agama Islam adalah masalah poligami. Demikianlah musuh-musuh Islam secara sistematis dan terencana tidak henti-hentinya menanamkan dalam fikiran manusia seolah-olah poligami adalah tradisi dan syari’at baru dalam Islam dan seolah-olah hanya Muhammad SAW sendiri yang melakukan poligami. Di sini, sejarah seperti tidak ada.

Dalam perkembangan berikutnya tidak hanya musuh Islam yang melakukan serangan ini, tapi juga dari kalangan Muslim yang telah dicuci otaknya, biasanya mereka adalah murid orientalis yang silau dengan kemajuan barat. Atas nama modernisme, dan pembebasan wanita, mereka menggugat hukum-hukum Islam yang mengatur masalah wanita dan keluarga. Isu-isu yang diusung adalah persamaan gender, hak asasi manusia, dan menafsirkan ulang ayat-ayat Alquran dan Hadits agar lebih berpihak kepada perempuan. Meskipun kelompok yang disebut terakhir ini berbeda waktu dan zaman dengan kelompok yang disebut pertama, namun substansi ide yang diusung tetaplah sama yaitu penolakan poligami sebagai suatu bagian dari syari’at Islam. Dasar-dasar pemikiran, argumen dan logika-logika yang digunakan sesungguhnya tidak berbeda walau dikemas dengan kemasan baru, sehingga kesan bahwa mereka sesungguhnya hanya mengekor dari pendapat-pendapat yang sudah ada, tidak dapat dihindari.

Poligami itu halal (QS. An Nisa: 3), dan sudah dicontohkan Rasulullah. Siapa yang membenci pernikahan poligami berarti dia membenci sunnah Nabi, dia bukan umatnya (HR. Bukhori). Mereka yang membenci Islam dan Nabi Muhammad-lah yang pertama-tama menciptakan stigma dan ungkapan-ungkapan kebencian terhadap poligami, seperti ‘merebut suami orang’ dan sebagainya.

Para pembenci Islam juga selalu mempopulerkan hadist tentang kemarahan Rasulullah SAW terhadap sahabat Ali r.a menantunya, ketika hendak memadu (berpoligami atas) Fatimah, putrinya. Dengan riwayat tersebut disimpulkan oleh para pembenci poligami, bahwa Rasulullah pada dasarnya mengharamkan poligami dan karena itu kita semua harus mengutuknya. Riwayat dimaksud lengkapnya sebagai berikut: “… Beberapa orang dari keluarga Bani Hasyim dan Bani Mughiroh meminta izin saya untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali. Tidak! Aku tidak akan mengizinkan, tidak bakal aku izinkan, tidak mungkin aku izinkan, kecuali Ali menceraikan putriku (Fatimah) lebih dahulu. Ketahuilah putriku adalah bagian dariku …“

Riwayat ini memang benar adanya. Akan tetapi, seperti biasanya, oleh kaum Feminis ada bagain-bagian dari riwayat tadi yang digelapkan. Bagian yang mereka gelapkan terdapat dua point yang sangat penting: Pertama, riwayat yang menjelaskan identitas perempuan yang hendak dimadukan Ali dengan Fatimah. Bahwa wanita yang tidak direstui Nabi untuk dimadu dengan Fatimah itu adalah putri Abu Jahal, orang sangat membenci dan memusuhi Rasulullah selama hidupnya. Jadi, keberatan Rasulullah bukan terhadap poligamii an sich, melainkan terhadap kelicikan mereka memecah belah keluarga Nabi dengan gagasan mempersandingkan putri beliau (Fatimah) dengan putrid Abu Jahal sebagai sama-sama istri Ali. Prasangka bahwa dengan kejadian itu berarti Rasulullah telah berubah pendirian dan mengharamkan poligami dibantah keras oleh beliau sendiri. Perhatikan penegasan Rasulullah sebagai point kedua yang digelapkan oleh kaum Feminis: “Aku tidak akan menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Akan tetapi demi Allah, tidak boleh terjadi putri utusan Allah berada di rumah sama dengan putri musuh Allah (sebagai istri-istri Ali), untuk selamanya.”

Boleh ditambahkan, bahwa ketiga hadist tentang penolakan Rasulullah terhadap rencana Ali untuk memadu Siti Fatimah dengan anak Abu Jahal ini tertuang dalam kitab Sahih Muslim dan dalam Jami’ al Ushul oleh Ibnu Katsir ini di bawah judul “Fadlilatul Fatimah – Keutamaan Fatimah”. Artinya, saking istimewanya kedudukan Fatimah, sampai-sampai Rasulullah memproteksinya untuk tidak disejajarkan dengan anak dari tokoh musuh Islam di bawah tangan yang sama, Ali. Maka, tidak seorang ulama atau awam yang memiliki kejujuran intelektual pernah memahami hadits itu sebagai dalih untuk mengharamkan atau mengkriminalisasi poligami, seperti yang dilakukan oleh kaum Feminis, apalagi dengan membuat kebohongan kepada Rasulullah dengan cara penggelapan sabdanya.

Dengan kejahatan intelektual sangat licik yang dilakukan oleh pegiat anti poligami, akan muncul citra yang sangat tercela, citra standar ganda (kemunafikan) pada diri Rasulullah sendiri: di satu pihak beliau menghalalkan poligami dan mempraktekkannya sendiri, tapi di lain pihak beliau mencela dan mengharamkannya untuk orang lain. Dari situ akan terlontar tuduhan: manusia teladan macam apakah Muhammad itu? Atau para penghujat poligami, memang ini menginsinuasi publik untuk ramai-ramai mengutuk Rasulullah sebagai pribadi munafik yang tidak pantas menjadi teladan (?)

Sedangkan pernyataan, bahwa, poligami itu menyakiti hati perempuan dan merusak rumah tangga orang, sesungguhnya itu adalah pernyataan yang sesat dan menyesatkan. Padahal Nabi Muhammad yang pelaku poligami itu mengatakan, sebaik-baik laki-laki adalah yang paling baik terhadap istrinya.

Sabda Nabi Muhammad kita dengar dan kita taati (sami’na wa atha’na). Tapi jika dikatakan poligam menyakiti hati perempuan dan merendahkan martabatnya, nanti dulu. Karena jika benar demikian, maka kesimpulannya, Muhammad Rasulullah tentulah suami paling buruk yang mencontohkan keburukan paripurna kepada umatnya. Kita tahu hati mereka yang membenci poligami terus mengatakannya demikian, meski masih menunggu waktu untuk mengatakannya secara terus terang. Tapi kita boleh bertanya: “Perempuan manakah yang disakiti oleh tindakan poligami suaminya? Perempuan yang termadu (istri pertama)? Atau istri-istri yang menjadi madu (yang dinikahi kemudian)?” untuk yang tersebut pertama, yang dimadu, barangkali benar. Tapi tidak yang menjadi madu, yang dinikahi belakangan. Karena jika iya, kenapa mereka mau? Bukankah mereka bebas menolaknya? Itu kelemahan pertama.

Kelemahan kedua, poligami dinilai menyakiti hati istri. Penilaian ini tergantung pada persepektif yang dianut. Bagi perempuan konservatif yang memaknai “poligami sebagai ancaman terhadap nafsu monopolistiknya atas suami – terutama materi yang ada di tangannya”, klaim “menyakiti hati” bisa dipahami. Bagi perempuan kategori ini, tentu saja poligami tidak ideal, karena mengganggu kepentingan egoistiknya. Poligami yang melibatkan perempuan egois umumnya memang penuh masalah, dan hampir pasti berakhir dengan kegagalan. Tapi bagi perempuan progresif yang memaknai “poligami sebagai peristiwa berbagi (sharing) kehidupan dan kebahagiaan dengan sesama perempuan yang memerlukan”, klaim “menyakiti hati” menjadi tidak relevan sama sekali.

Tentang ‘keadilan’ dalam poligami juga banyak yang mengeksplorasinya sehingga menjadi momok dalam poligami. ‘Keadilan’ ini juga menjadi amunisi yang paling sering dipakai untuk menembak pelaku poligami, sehingga timbul stigma bahwa poligami tidak boleh dilakukan karena mustahil bisa dilakukan oleh manusia biasa seperti kita ini. Dalil yang digunakan oleh pembenci poligami adalah ayat 129 surat An Nisa, “Kalian tidak bakal bisa berbuat adil terhadap istri-istrimu sekalipun telah berusaha keras….” Karena itu kesimpulan mereka, “Alquran pada dasarnya mengharamkan poligami”.

Kesimpulan ini lemah dan tidak fair, karena ditarik dengan membuang bagian ayat yang jatuh persis sesudah potongan ayat yang mereka kutip, yang justru menjadi kesimpulan Alqur’an sendiri setelah mengakui sulitnya menegakkan keadilan lahir-batin dalam poligami. Lengkapnya ayat tersebut adalah, “Kamu tidak akan bisa berbuat adil (lahir-batin) terhadap istri-istri kamu sekalipun sudah berusaha keras, oleh sebab itu janganlah terlalu condong kepada istri yang satu dan menterlantarkan istri yang lain. Tapi jika kalian terus memperbaiki keadaan dan bertakwa maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An Nisa: 129)

Sebagaimana diketahui, ayat An Nisa 129 ini turun ketika Rasulullah SAW merasa ‘bermasalah’ karena terlalu mencintai salah satu istri beliau (Aisyah, terutama) dan hampir mentelantarkan istri yang lain. Latar belakang ayat ini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah sendiri, “Bahwa Rasulullah SAW menggilir istrinya secara adil, kemudian beliau berkata, “Janganlah kiranya Engkau menyalahkan hamba dalam hal yang ada dalam kuasa-Mu, tapi tidak ada dalam kuasa hamba- yakni rasa cinta di hati.” (HR. Bukhari).

Mengakui bahwa keadilan (keseimbangan persis) dalam hal cinta tidak dimungkinkan, Alquran tetap membiarkan pintu poligami terbuka dengan catatan, “jangan terlalu condong pada istri yang satu dan mentelantarkan istri yang lain.” Jadi, yang dituntut dalam poligami adalah keadilan yang terukur (measurable) dan yang terkelola (manageable), khususnya dalam hal nafkah dan waktu kehadiran (gilir). Sementara adil (keseimbangan) dalam perasaan cinta yang manusia sendiri tidak mengontrolnya tidaklah dituntut. Ini sejalan dengan prinsip syariat dalam Alquran, “Allah tidak akan pernah membebani sesuatu yang tidak ada dalam kemampuannya.” (Al Baqarah: 286).

Seluruh madzhab memandang nikah secara poligami sebagai perkara normal (normal dan halal) belaka. Bahkan bisa suatu keutamaan. Kalau tidak, mana mungkin para nabi sebagai orang suci yang sudah disibukkan dengan tugas-tugas samawi untuk berdakwah dan membangun umat, masih mau repot-repot menjalaninya: Nabi Ibrahim, bapak seluruh umat beriman berpoligami dengan dua istri, konon 3, Nabi Ya’kub 4 istri, Nabi Dawud puluhan istri, Nabi Sulaiman ratusan istri, dan Nabi Muhammad dengan 9 istri. Apa yang ditradisikan oleh para Nabi dan Rasulullah SAW, mustahil tercela dalam dirinya. Melainkan sebaliknya. Itulah sebabnya, Syaikh Al Azhar Mahmud Syaltut berkata: “Karena keutamaan itulah para sahabat berpoligami, hanya sedikit saja diantara mereka yang tidak berdua istri.”

Jejak panutan suci seperti Nabi Ibrahim dan Muhammad SAW, sesungguhnya telah mencukupkan seluruh argument atas kehalalan atau keutamaan poligami. Sekiranya tidak ada ayat Alquran surat An Nisa: 3 maupun 129 pun, dengan sunnah mereka sudah lebih dari cukup untuk meyakini demikian. Jadi, dengan adanya nash Alquran maka hujjah kehalalan poligami menjadi berlapis, sehingga tidak ada satu celahpun untuk meragukannya. Wallaahu a’lam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Papela, Kec. Rote Timur, Kab. Rote Ndao. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan Bahagia, Bekasi. Pernah di redaksi Majalah Warnasari (Pos Kota Group) dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Lihat Juga

Kisah Nyata: Mualaf di Persimpangan Syariat-Nya

Figure
Organization