Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Prahara Tanah Impian

Prahara Tanah Impian

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (liveinternet.ru)
Ilustrasi. (liveinternet.ru)

dakwatuna.com – Indonesia itu kaya, Indonesia itu tanah surga, Indonesia itu luar biasa. Begitulah ungkapan kebanggaan pada Indonesia dari anak- anak bangsa. Kesyukuran senantiasa terucap karena telah menjadi bagian Indonesia. Tanah yang subur serta rakyat yang makmur, kekayaan alam berlimpah di mana-mana, mulai dari minyak bumi, emas serta tembaga. Penduduknya sejahtera, mengenyam pendidikan tinggi dengan segudang prestasi. Mengharumkan nama bangsa dengan memenangkan berbagai olimpiade yang ada, mulai dari lokal hingga internasional.

Siapa yang tidak bangga jadi warga Negara Indonesia, negara yang menjamin kesejahteraan rakyatnya. Hingga untuk menyalurkan sedekah pun sulit mencari yang layak menerimanya, karena mereka terus berlomba- lomba saling mendermakan hartanya. Orang tua memberikan perhatian penuh pada anaknya. Kebutuhan anak akan pendidikan tiada kurang suatu apapun. Hingga mereka pun terlahir menjadi pewaris negeri yang cerdas intelektual dan spiritualnya.

Tetapi kenyataannya tidak begitu Indonesiaku tercinta. Aku terhenyak melihat fakta- fakta di depan mata. Terutama di sini, di tempatku akan mengabdi setahun ini, sungguh membuatku ngeri dan ingin menangis beriba hati. Kemana kan kuadukan pedih perih di sudut hatiku ini, saat semua seakan menutup mata. Aku merasa sebatang kara, di bumi yang penuh durjana. Tanah surga itu tak membawa bahagia, kekayaan alam yang ada itu pun tak membuat sejahtera. Aku tidak tahu apa yang salah dan siapa yang harus disalahkan.

Mimpi- mimpi tentang Indonesia jaya sepertinya masih harus kupendam sementara. Melihat kenyataan di daerah yang tidak terlalu jauh dari Ibukota Negara namun seperti titik kecil di sudut negeri ini, seakan tak terperhatikan. Mengapa di sini begitu tertinggal…? Sekolah yang hanya dua ruangan tanpa sekat sempurna. Satu ruangan diisi oleh tiga kelas yang dipisahkan hanya dengan jarak meja antara kelas yang satu dengan kelas yang lainnya. Tidak ada hijab pembatas, jadi jika ada guru masuk mengajar ke ruangan itu maka langsung diborong memberikan pelajaran ke semua kelas. Lumayan menguras tenaga, dengan tingkatan materi yang berbeda, psikologi mereka yang juga berbeda membuat guru harus punya kerja ekstra. Selain mengajar di Madrasah Ibtidaiyah (MI) mereka juga harus mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) di samping MI. Guru di sini harus multi talenta meskipun tidak semua mereka adalah sarjana, serta gaji yang hanya tiga bulan sekali.

Di sini masih bagian Indonesia tapi mengapa seperti tak pernah terjamah sedikitpun. Jalanan yang tak ubahnya seperti sawah harus dilalui guru-guru untuk menuju sekolah. Padahal ini jalanan umum tapi sebenarnya tak layak untuk dilewati. Sepatu boot merupakan sepatu dinas guru-guru di sini, bukan pansus apalagi pantofel. Bisa dibayangkan bagaimana style mereka, baju seragam mengajar dan sepatu boot sebagai bawahannya. Kondisi siswanya jangan ditanya, sandal jepit menjadi andalan mereka menuju sekolah.

Begitu banyak permasalahan yang ditemui saat mengajar di daerah 3T (terpencil, tertinggal dan terdepan). Mulai dari sarana dan prasarana hingga lingkungan yang mempengaruhi psikologi anak-anak di sini. Salah satunya ialah kurangnya dukungan orang tua untuk pendidikan membuat anak-anak tidak punya motivasi belajar. Orang tua yang seharusnya menjadi “madrasatul ula” seakan kehilangan peran. Entah karena lupa atau memang tidak paham dengan posisinya. Tuntutan profesi sebagai petani yang berangkat pagi pulang petang dengan tubuh yang letih menyebabkan tidak ada waktu untuk sekadar menanyakan kondisi anaknya. Guru di sini sangat berharap aku bisa mendekati para orang tua dengan program parenting yang di amanahkan oleh SGI. Tetapi tetap aku diingatkan agar bisa bersabar menghadapi mereka yang tak mudah menerima saran yang diberikan. Aku rasa semua ini adalah tantangan yang harus ku taklukkan.

Aku dikirim ke sini sebagai relawan pendidikan dari Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI-DD). Sebuah jejaring divisi pendidikan dari salah satu lembaga zakat yang ada di Indonesia. Aku harus mengabdi selama satu tahun, baik dalam bidang pendidikan maupun sosial. Tak jarang aku bertanya pada diri sendiri mengapa aku harus berada di tempat seperti ini, bagaimana harus kujalani hari-hariku selama satu tahun ke depan di sini? Berada dalam kebiasaan baru yang sangat tidak biasa di hidupku tentu terasa sangat berat. Sebagaimana yang paling sulit dalam hidup itu adalah mengubah kebiasaan dan membiasakan yang belum jadi kebiasaan. Aku rindu keluargaku di tanah Sumatera, aku juga rindu dengan Ranah Minang tercinta. Namun saat aku tersadar aku ingat kembali bahwa hidup itu adalah pilihan dan setiap pilihan itu ada resikonya. Inilah jalan hidup yang telah kupilih, tentu aku harus siap menghadapi semua halangan dan rintangan yang menghadang.

Pembicaraanku dengan guru di kampung kecil ini membuatku tersadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa dan bukan apa-apa. Aku hanya sehelai rumput di padang rumput yang luas, hitam putih pun warnaku tidak akan merubah hamparan hijau padang rumput itu. Melakukan perubahan sendiri untuk lingkup yang besar adalah sebuah keniscayaan, namun berusaha menuju perbaikan itu adalah keharusan. Manajemen Qolbu Abdullah Gymnastiar selalu teringat setiap saat. Rumus 3M itu yang selalu membuatku terus bersemangat, “mulai dari diri sendiri, mulai dari yang paling kecil dan mulailah saat ini juga”. Tidak ada yang mustahil jika kita mau berusaha, yang penting ikhtir, doa dan tawakkal tetap jadi pegangan.

Tugasku sebagai relawan bukanlah untuk meratapi semua keterbatasan, tetapi menjadikan semua keterbatasan itu sebagai kesempatan untuk berkarya mengusahakan perubahan. Kewajibanku adalah berusaha hasilnya tetap saja semuanya adalah kuasa Allah Yang Esa. Semoga satu tahun penantian di daerah penempatan sebagai masa pengabdian dapat aku lalui dengan penuh ketabahan, kesabaran, ketulusan dan keikhlasan hati. karena aku di sini tak semata- mata mengajar tapi lebih kepada belajar.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Januarita Sasni, S.Si, SGI. Lahir di Sumatera Barat pada tanggal 25 Januari 1991. Menyelesaikan Pendidikan menengah di SMAS Terpadu Pondok Pesantren DR.M.Natsir pada tahun 2009. Menyelesaikan Perguruan Tinggi pada Jurusan Kimia Sains Universitas Negeri Padang tahun 2014. Menempuh pendidikan guru nonformal pada program Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa (SGI DD) sejak Agustus 2014 hingga Januari 2015, kemudian dilanjutkan dengan pengabdian sebagai relawan pendidikan untuk daerah marginal hingga Januari 2016. Sekarang menjadi laboran di Lab. IPA Terpadu Pondok Pesantren Daar El Qolam 3 sejak Februari 2016. Aktif di bidang Ekstrakurikuler DISCO ( Dza ‘Izza Science Community) sebagai koordinator serta pembimbing eksperiment dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Tergabung juga dalam jajaran redaksi Majalah Dza ‘Izza. Mencintai dunia tulis menulis dan mengarungi dunia fiksi. Pernah terlibat menjadi editor buku “Jika Aku Menjadi” yang di terbitkan oleh Mizan Store pada awal tahun 2015. Salah satu penulis buku inovasi pembelajaran berdasarkan pengalaman di daerah marginal bersama relawan SGI DD angkatan 7 lainnya. Kontributor tulisan pada media online (Dakwatuna.com) sejak 2015.

Lihat Juga

Tradisi Ilmu dan Pendidikan antara Islam dan Barat

Figure
Organization