Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Mengapa Kalian Tidak Mau Sekolah, Nak?

Mengapa Kalian Tidak Mau Sekolah, Nak?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (ibnuoktaviandotcom.wordpress.com)
Ilustrasi. (ibnuoktaviandotcom.wordpress.com)

dakwatuna.com – Pendidikan saat ini menjadi dilema bagi setiap orang terutama untuk anak-anak bangsa yang akan/sedang menjalani pendidikan itu sendiri, yang mana kita ketahui nantinya, anak-anak bangsa inilah yang akan menjadi calon-calon pemimpin bangsa ini. Akan tetapi, tidak semua anak merasakan betapa pentingnya nilai dari pendidikan itu sendiri. Mengapa demikian? Pendidikan dimulai dari tingkat dasar yaitu Sekolah Dasar (SD), yang mana kita ketahui peran orang tua lah yang juga ikut serta bertanggung jawab untuk pendidikan anaknya sendiri. Namun, ternyata tidak semua orang tua yang berpikir bahwa pendidikan itu penting untuk masa depan anaknya. Masih ada, sebagian orang tua yang beranggapan pendidikan itu tidak penting bahkan ada juga orang tua yang membiarkan anaknya untuk tidak sekolah, sehingga pola pikir seperti inilah yang membuat anak-anakpun tidak berkeinginan untuk sekolah.

Inilah fenomena yang terjadi di negara kita, tepatnya di mana tempat aku mengabdi sebagai salah satu guru di madrasah ibtidaiyah. Sungguh sangat miris, ketika aku pertama kali mengajar di sekolah ini. “Sekolah” yang katanya” tempatnya anak-anak untuk menimba ilmu” dan setiap paginya bisa melihat, anak-anak berbondong-bondong menuju sekolah mereka, dengan membawa perlengkapan sekolah yang telah mereka siapkan dari rumah. Namun kenyataannya, tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Sungguh sangat minim anak-anak yang datang ke sekolah, bahkan setiap kelasnya hanya hadir 50% dari jumlah seluruh anak. Beginilah kondisi anak-anak yang berada di desa, untuk pergi ke sekolah saja, itu merupakan suatu prestasi yang sangat besar. Apalagi mengharapkan anak-anak untuk membawa perlengkapan sekolah. Kadang kala begitu banyak alasan yang dilontarkan anak-anak, “ibu tidak punya bulpoin”, atau “ibu lupa bawa buku tulis”. Ya, kalimat seperti itu sering kali di dengar. Namun, begitulah kondisi yang ada. Sehingga, sebagai guru, aku harus melakukan hal ekstra agar anak-anak tersebut minimal memiliki motivasi untuk berkeinginan sekolah. Banyak hal yang telah aku lakukan, mulai dari mencari akar permasalahan ‘mengapa, anak-anak tidak sekolah”? dan sampai memberikan solusi dari permasalahan tersebut karena jika “sikap tidak sekolah” diibaratkan sebuah penyakit, maka harus mengdiagnosis terlebih dahulu sebelum memberikan obat.

Salah satu diagnosisnya datang dari keluarga yaitu orang tua. Namun bukan berarti sepenuhnya berasal dari orang tua, banyak faktor-faktor lain yang mendukung seperti pengaruh lingkungan ataupun datangnya dari sekolah itu sendiri. Sebagian besar anak-anak di tempatku mengajar merupakan kelompok keluarga menengah ke bawah dengan kondisi keluarga yang membuatku haru, ada yang orang tuanya bekerja petani yang mengambil job dari sawah-sawah orang, ada juga yang bekerja di gunung dan bahkan yang lebih menyedihkan orang tuanya harus pergi ke luar negri bekerja sebagai TKI. Anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya, kadang kala harus dititipkan dengan neneknya atau dititipkan dengan sanak keluarga yang lain. Dengan kondisi seperti itu, anak-anak menjadi kurang terurus dikarenakan kurangnya perhatian dan pengkontrolan dari orang tua. Jika pun dikontrol dari jarak jauh, itu berbeda dengan pengkontrolan ketika bersama-sama karena sejatinya anak-anak yang masih berusia di bawah 12 tahun sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Tidak hanya itu, dengan kondisi ekonomi yang terhimpit, anak-anak pun ikut serta dalam memenuhi kebutuhan hidup, ada yang harus membantu orang tuanya pergi ke sawah, ada juga yang mengambil kerja sebagai kuli bangunan seperti mengangkat batu ataupun semen atau pergi ke gunung mencari kayu-kayu untuk dijual dan yang paling menyedihkan pekerjaan-pekerjaaan tersebut dilakukan anak-anak pada pagi hari. Sehingga, pada akhirnya yang menjadi korban adalah sekolah mereka.

Aku pun mencari solusi atas permasalahan tersebut, hingga akhirnya kuputuskan sebagai salah satu obatnya adalah program parenting yaitu mendatangi rumah anak-anak tersebut untuk bertemu langsung dengan orang tuanya atau walinya. Dari pintu ke pintu, aku bersilaturahmi dengan orang tua/wali anak-anak dengan tujuan sharing berharap orang tua bisa mendukung anak-anaknya untuk sekolah. Namun tidak semua orang tua/wali langsung mengikuti apa yang disarankan karena mengubah sebuah pola pikir yang telah mendarah daging butuh waktu apalagi dengan kondisi ekonomi yang terhimpit. Maka dari itu, aku mencari solusi lain, jikapun pendekatan ke orang tua belum bisa, masih ada cara lain yaitu pendekatan langsung ke anak-anaknya. Hal ini lah yang paling ampuh, pendekatan ke anak-anak bisa melalui pemberian motivasi-motivasi tentang pentingnya sekolah atau melaksanakan program-program sekolah yang membuat anak-anak ingin selalu sekolah seperti senam sehat ceria, ektrakurikuler pramuka, ektrakurikuler tari, pelaksanaan lomba-lomba seperti lomba “Aku rajin Sekolah” ataupun kegiatan-kegiatan lain.

Namun, ada hal yang lebih penting untuk semakin memicu anak-anak agar tetap sekolah yaitu melaksanakan proses pembelajaran yang membuat anak rindu dengan gurunya, sehingga anak-anak tidak ingin ketinggalan dalam mengikuti pembelajaran tersebut. Pembelajaran yang dimaksud bisa dibuat sekreatif mungkin dengan memberikan apersepsi berupa yel-yel atau tepuk-tepuk, kemudian pembelajaran diselingi dengan games atau nyanyi-nyanyian yang disesuaikan dengan materi bahkan pemberian reward pun sangat penting. Saat ini di kelas, saya menerapkan reward berupa stempel, yang mana saat anak-anak melakukan tindakan positif seperti yang saya inginkan, maka akan saya stempel buku tulisnya. Sedangkan, jika melakukan tindakan negatif yang saya tidak sukai, maka stempel tersebut akan dicoret. Kemudian, bagi yang mengumpuli stempel terbanyak maka akan mendapatkan hadiah dari saya. Pemberian stempel ini sangat membantu saya dalam mengatur tingkah laku anak, salah satunya anak-anak belajar bertanggung jawab terhadap buku tulisnya, sehingga tidak ada lagi “buku gado-gado” , tidak hanya itu anak-anak selalu berusaha untuk membawa buku tulisnya agar tidak ketinggalan stempel, bahkan anak-anak pun tidak berani untuk mensobeki buku tulisnya karena takut stempelnya hilang. Alhasil, dengan adanya pemberian stempel ini, saya tidak mendengar lagi alasan anak-anak tidak membawa ini dan itu.

Masih banyak solusi-solusi lain yang bisa diberikan untuk mengatasi permasalahan anak-anak yang tidak ingin sekolah, tinggal bagaimana mendesainnya secantik mungkin agar anak-anak tertarik dengan apa yang kita berikan sebagai guru mereka. Maka dari itu, peran guru sangatlah penting dalam kemajuan pendidikan anak-anak karena siapa lagi tempat bersandar anak-anak jika bukan gurunya. Sedangkan orang tua yang mereka harapkan, tempat mereka untuk berbagi cerita, berkeluh kesah dan sebagainya tidak terlalu memperhatikan mereka. Sungguh sangat beruntung, bagi yang memilih hidup menjadi seorang guru karena menjadi guru adalah ladang amal berbuat kebaikkan dan tentunya di tangan guru juga, tonggak masa depan anak-anak.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Selama 1 tahun sampai tahun 2015, Mahasiswa SGI_DD Angkatan VI (Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa). Saat ini ditempatkan sebagai guru di sebuah desa kategori 3 T (Terluar, Terpencil, Terjauh) tepatnya di Desa Tambalae, Kab Dompu, NTB.

Lihat Juga

UNICEF: Di Yaman, Satu Anak Meninggal Setiap 10 Detik

Figure
Organization