Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Sepotong Mimpi

Sepotong Mimpi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

bermimpi-ilustrasi-_111031080029-604dakwatuna.com – Senja kali itu bukanlah senja seperti biasa. Kurasakan darah berdesir dalam nadiku. Mengalir begitu kuat dan mencekatku.

Peristiwa itu bermula sejak segerombolan orang yang datang ke kampung rumahku. Mereka memakai baju seperti seragam militer dan berlarian menuju ke segala penjuru. Kami segera masuk rumah dan mengunci pintu rapat-rapat. Apa yang mereka lakukan adalah memaksa, bahkan menyeret orang ke luar rumah dan dibawa ke depan masjid. Itu yang kulihat saat mengintip mereka lewat korden jendela. Di saat ketakutan melihat aksi mereka, pintu rumahku digedor  amat keras. Ayah merengkuh tanganku. Gemetar sekujur tubuhku. Mereka lantas masuk dan tangan kami saling diikat dengan tali. Mereka membawa kami ke masjid, tempat di mana semua orang dikumpulkan.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang mereka mau? Siapa mereka? Yang kudengar hanya jeritan dan tangisan. Aku membisu tidak berani melihat ke arah manapun. Aku tidak tahu apa yang kurasakan, kalau tanganku tidak terikat dengan ayah. Mungkin ingin mati saat itu juga. Kulihat ayah juga diam dan aku mulai menggenggam erat tangannya.

“Tenang, Nduk. Allah bersama kita.”

Tiba-tiba aku ingat si kecil, keponakanku. Di mana dia? Oh Allah. Aku melihat ke sekeliling dan ternyata tangannya diikat juga dengan ibunya, kakakku. Hatiku miris melihat dia hanya diam dan melihat wajahnya yang bingung. Aku hanya menangis.

Orang-orang berseragam itu mengelilingi kami dengan membawa senapan dan memastikan bahwa semua yang dikumpulkan tidak melawan. Salah seorang di antara mereka kemudian berbicara di altar depan.

“Duduk bersila dan genggam tangan di sebelah kalian! Berdoalah seperti yang kami lakukan!”

Kami duduk dan menggenggam tangan satu sama lain, meskipun tangan kami saling terikat. Lalu kami mengikuti mereka. Tubuh kami digoyangkan seperti terkena angin dan mengucapkan sesuatu. Aku sama sekali tidak tahu apa itu artinya. Oh, ayah. Aku tidak mengerti.

“Turuti saja. Ikuti saja. Demi anak-anak kecil, demi bayi-bayi yang sudah lahir ataupun yang masih dalam kandungan. Pura-pura saja ikuti apa yang mereka mau. Sungguh, cobaan terbesar kita adalah mempertahankan iman dan keyakinan kita dalam kepura-puraan itu. Kami semua sudah sepakat. Jangan ada yang melawan.” Oh, Ayah. Inikah yang engkau maksud malam itu. Siapa mereka sesungguhnya?

Kami semua disuruh berdiri. Lalu satu per satu dari mereka masuk ke dalam barisan dan memeriksa satu per satu dari kami. Sungguh hinanya, mereka menatap keji pada setiap perempuan. Aku perempuan. Ia menjabat tangan ayahku lalu menjabat tanganku. Walau diikat, aku mengelak.

“Tidak apa.” Kata salah satu dari mereka sembari tersenyum.

Aku tidak menangis. Aku tidak menjerit. Semua hanya tertahan di hati. Terkunci di dalam mulut. Setelah semua diperiksa, ikatan tali pun dilepas. Lalu mereka menyuruh kami mengambil suatu benda di depan barisan. Kami dibebaskan memilih apa yang mau diambil. Aku tidak tahu apa yang mereka mau. Pisau-pisau kecil, pedang, keris, golok. Semua benda itu yang ada di depan. Apa ini? Aku tidak mengerti. Aku tidak berani mengambilnya. Apa yang akan terjadi?

Ayah mengambil empat pisau kecil sebelum diambil orang lain. Ia satu, diberikan padaku satu, kakakku satu, dan ponakanku yang empat tahun satu. Oh, Allah. Apa ini? Kulihat kakek yang sudah lama kukenal, menangis berdiri. Ia bingung, karena yang ia lihat tinggal satu, yaitu golok yang begitu besarnya. Oh, Allah.

Kami kembali ke dalam barisan. Seseorang di antara mereka berbicara lagi di depan dan menceritakan suatu kejadian di masa lampau. Sebuah cerita yang memilukan. Sejarah kelam. Bagaimana sebuah keluarga dibinasakan dengan sadisnya. Dipenggal kepalanya lantas ditancapkan ke tombak dan diarak. Begitu juga keluarganya yang perempuan dirantai kakinya dan diarak. Oh, Ayah. Barulah aku tahu siapa mereka. Aku menangis sejadi-jadinya. Kini tahulah aku apa yang harus aku lakukan dengan pisau kecil di tanganku. Barulah aku tahu, apa yang akan terjadi pada si kecil, keponakanku.

“Allah, Engkau berkuasa atas segala sesuatu. Kami terdzalimi saat ini dan aku berdoa kepada-Mu. Aku menyerahkan seluruh raga ini begitu juga raga anak-anakku, raga orang-orang yang menyembah kepada-Mu. Selamatkanlah iman kami. Selamatkan keyakinan kami. Tidak peduli apa yang akan terjadi pada raga ini.”  Suara ayah berdesir ke dalam hatiku. Aku pasrah. Semoga Allah memberikan kekuatan yang sempurna untuk si kecilku. Semoga tiada sakit yang ia rasakan.

Mengalirlah darah pada tangan dan wajahku. Mengalir juga pada ayah, kakak, dan si kecil. Ini bukan aksi bunuh diri. Kugigit bibirku setiap kali aku mulai melakukannya. Oh, Allah. Si kecil sama sekali tidak menangis dan itu meragukan orang-orang yang berseragam. Lantas, mereka mendekat. Aku takut dan ketakutan juga terlihat pada wajah ayahku. Aku tidak tahu bagaimana perasaan kakakku. Si kecil dirampas dari tangan kakakku. Lalu orang itu menyayat tangan dan wajahnya.

“Astaghfirullah…” Aku hanya bisa menjerit dalam hati. Kakak dan ayahku memalingkan wajah mereka. Kami tidak tega dengan apa yang mereka lakukan. Si kecil pun menangis.

Sampai waktu maghrib tiba, kejadian mengerikan itu dihentikan. Aku dengar suara adzan, tetapi itu bukan adzan yang kudengar biasanya. Aku tidak tahu adzan apa itu. Karena di antara kami sama sekali tidak ada yang melawan, maka kami semua dikembalikan ke rumah masing-masing. Dengan bersimbah darah kami semua pulang. Ada seorang berseragam yang menjaga pada setiap satu rumah. Begitu juga rumahku. Hal itu dilakukan untuk memastikan bahwa kami melakukan apa yang mereka suruh sebagai sebuah kewajiban beribadah.

Aku lega. Sungguh aku lega. Rumah adalah tempat berlindung daripada di luar sana. Setelah mengobati luka, ayah mengatakan sesuatu pada kami dengan sangat lirih.

“Kita shalat seperti biasa. Diam-diam.” Gemetaran seluruh tubuhku. Ketakutan begitu merasuk hingga sendi-sendi tulangku.  Apakah ini salat kami yang terakhir? Sampai kepada doa setelah shalat, kami semua menangis.

“Ya Rabb, hanya kepada-Mu kami menyembah. Hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat. Bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula mereka yang sesat.”

Tiba-tiba ku dengar pintu rumah dibuka. Belum sempat aku menoleh. Aku terbangun dari tidurku dan selesai sudah mimpiku. Kusadari bahwa wajah ini basah karena mimpi itu. Aku terbayang apa yang terjadi pada saudara-saudara muslim di luar sana dan aku tidak bisa membayangkan kalau itu terjadi padaku di dunia nyata. Astaghfirullah al’adziim.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Seseorang yang ingin berjuang dalam dakwah dengan tulisan, khususnya puisi.

Lihat Juga

Sebuah Nasihat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Figure
Organization