Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Mengkritisi Fenomena Berlabel Cinta

Mengkritisi Fenomena Berlabel Cinta

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com

Cinta…
Kekasih gelap ku,
Kau ku cinta
Kau ku manja
Dan kau belahan jiwaku
Aku selalu setia menemanimu

***

Syair-syair nada penumbuh suasana hati dan pembuncah syahwat seperti inilah yang kerap kali melambungkan lamunan generasi muda Muslim saat ini. Sehingga bisa saja mengkristal dan tidak terpisahkan, menjadi bagian belahan jiwa dalam hidupnya. Oleh karenanya, telinga bagaikan tuli dan lidah terasa pahit bila sehari tak menyenandungkan bait-bait angan-angan indah. Bercerita tentang cinta pertama, binar di dua bola matamu, rona merah di pipimu, senyum kecil di bibirmu, dan ratusan pujian serupa hingga sang kekasih tampak begitu indah  dan sempurna dalam bayangannya. Hingga tak jarang daya tariknya menyeret cinta birahi diri yang telah mabuk kepayang.

Lebih konkretnya lagi, sulutan api pembangkit syahwat seperti ini, tergambar indah dalam dunia maya dan layar kaca. Dengan penyajian adegan seks yang vulgar, jorok dan menjijikkan. Tentunya diperankan oleh si cantik dan aduhai, guna membius peminatnya bagaikan panah-panah setan yang siap mencari mangsanya.

Seks yang merupakan fitrah dan karunia Allah yang indah itu, beralih fungsi menjadi ajang komoditi mencari keuntungan sebesar mungkin. Norma-norma yang berlaku dalam tata kehidupan tidak lagi menjadi rujukan apalagi pegangan hidup. Puncak eksploitasi itu terlihat dengan hadirnya segudang pendatang baru yang kian menantang dan menarik dalam dunia pertelevisian. Hadirnya PSK bahkan lokalisasi hitam yang semarak di pinggiran kota-kota besar menambah haru biru suasana batin. Targetnya bukan lagi remaja bahkan anak-anak yang belum baligh sekali pun sudah banyak melihat adegan seks, baik sengaja maupun tidak sengaja. Wajah seks saat ini hadir dalam bentuk kartun bahkan video games yang sering menemani anak sehari-harinya.

Kalau kita mau mengkritisi dan menolaknya mungkin dianggap seperti angin lalu. Memang seharusnya membuat film yang lebih bermutu walaupun sedikit, daripada membuat film banyak tapi meracuni rakyat. Ironisnya saat ini, film-film kacangan yang mengumbar nafsu dan selera rendah terus saja diproduksi. Bahkan anehnya, si bintang yang memerankan adegan itu merasa jijik melihat filmnya sendiri. Sedangkan pihak produser semakin berani, senada dengan gunting Badan Sensor Film yang terasa kian tumpul. Ketumpulan ini membuat produser semakin leluasa membuat film berbingkai kebebasan cinta dengan alasan kebutuhan pasar. Dan orangtua jualah diharapkan menjadi penjaga sekaligus suri teladan yang baik dalam tumbuh kembangnya anak.

Demikianlah perasaan yang mulia ini (dibaca: cinta) telah berada dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Sementara ide-ide atau pemikiran-pemikiran kotor tersebut telah melahirkan untuk kita generasi yang menyimpang lagi sesat. Pemikiran-pemikiran itu juga telah memperlihatkan kepada kita sepasang pemuda dan pemudi yang berperilaku gila lagi bodoh, setelah sebelumnya perasaan cinta di antara keduanya telah turun derajatnya ke derajat seksual semata seperti layaknya seekor binatang.

Dalam bidang seni dan sastra, gambaran yang seronok tentang cinta di antara sepasang laki-laki dan perempuan itu juga sering terlihat pada hasil-hasil karya yang mempropagandakan isu kebebasan dan pembelaan terhadap seni dan sastra, atau yang biasa dikenal dengan istilah al-adab al-maksyuuf (kebebasan dalam sastra), meskipun hal itu juga dinilai absurd bagi manusia yang menjunjung tinggi moral dan budi pekerti. Padahal secara etimologis (bahasa) saja, misi seperti itu sangat bertolak belakang dengan arti kata al-adab (sastra) itu sendiri yang mengisyaratkan disampaikannya dalam bingkai akhlak mulia.

Demikianlah, setan-setan berwujud manusia, baik dari kalangan penjual jasa maupun para penyebar pemikiran-pemikiran yang sesat begitu lihai dalam merajut rencana mereka yang didasarkan pada sikap yang berlebih-lebihan dalam memberikan nilai lebih kepada hasrat seksual manusia dan memfokuskan perhatian kepadanya, di mana seks dijadikan penopang bagi seluruh kegiatannya, seakan-akan manusia tidak akan bisa melakukan apa-apa, kecuali dengan membebaskan kekuatan yang tertahan itu. Caranya adalah dengan melakukan apa yang dikenal dengan istilah “making love”.

Disalin dari vivalife.com, saat menjalin hubungan dengan seseorang, tanyalah pada diri sendiri, apakah kisah yang dijalani adalah cinta atau nafsu belaka? Jawabannya, tergantung pada bagian otak yang kita gunakan. Studi itu dirilis dalam Journal of Sexual Medicine menganalisis 20 penelitian yang berbeda berkaitan dengan efek dari seks dan cinta pada tubuh. Jim Pfaus, seorang profesor psikologi di Concordia University di Montreal dan penulis utama studi mengatakan, “Kami menandai hal yang berbeda dalam mencintai, hasrat seksual dan kecanduan. Namun semuanya diproses di tempat yang sama.”

Dorongan seksual hanya bagian dari perasaan seorang pecinta, dibandingkan perasaan-perasaan indah yang menyatukannya dengan orang yang dicintainya, mengikat dengan jalinan jiwa dan ruh di antara dua orang yang saling mencintai. Bahkan ketika seks tidak lagi ada karena sebab-sebab yang tidak bisa dielakkan, sesungguhnya matahari cinta tidak akan pernah tenggelam. Barangkali ini membuktikan betapa kuat dan dalamnya cinta itu, juga begitu hebatnya menghujam di dalam jiwa. Namun jika seks tidak ada lagi, kadar dan ketulusan cinta tetap tidak berkurang. Apabila ada cinta tanpa seks, maka itu termasuk dalam bab kasih sayang yang dapat saja dibayangkan keberadaannya di antara dua makhluk, baik satu jenis maupun dengan berbeda jenis. Inilah hakikat cinta sejatinya yang timbul dalam lubuk yang terdalam. Kehadirannya menghadirkan kebahagiaan bagi siapa pun. Meskipun terkadang keberadaannya dan segala kebaikannya tak pernah diketahui oleh siapapun. Ketulusan hati dan kekuatan jiwalah yang dapat merasakan setiap getaran hati yang timbul bersamanya.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Bapak dari seorang putra yang terus menjadi pembelajar sejati, pendidik dan edupreneur. Alumnus S2 Pendidikan Bahasa UNJ. Aktif mengajar di kampus negeri dan swasta sekitar Jakarta - Bekasi. Mengisi pelatihan dan kajian bertajuk pendidikan, wirausaha serta kepemimpinan.

Lihat Juga

Falsafah Iqra’ dan Fenomena Kehidupan

Figure
Organization