dakwatuna.com – “Kehidupan Muhammad bukanlah rekonstruksi setelah wafatnya. Kehidupan Muhammad bersifat seperti sebuah buku yang terbuka. Dalam hal ini posisinya dalam sejarah spiritual adalah unik. Seorang tokoh sejarah yang mengajarkan sebuah agama dunia, dan setiap gerakan dan nasihat-nasihatnya dicatat oleh banyak saksi sepanjang hidupnya.” Demikian yang ditulis oleh Michael Wolf dalam bukunya, The Hajj : An American Pilgrimage to Mecca. Michael Wolfe adalah seorang penyair mualaf berkebangsaan Amerika.
Rujukan penulisan sejarah atau sirah Rasulullah Saw sejatinya memang bersumber dari Al Qur’an dan sunnah serta diriwayatkan oleh para sahabat dan sahabiyah. Mereka mendapat didikan langsung dari Rasulullah Saw sehingga menjadi generasi emas pertama yang menghiasi bumi. Para sahabat ini kemudian meneruskan kepada para tabiin yang kemudian menukilkan riwayat tersebut dengan mencatatnya dalam lembaran yang mereka simpan hingga generasi selanjutnya dapat menuliskan sirah nabi tersebut dalam bentuk sebuah kitab atau buku.
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.”(At Taubah: 128).
Maha Suci Allah Swt yang telah menghadirkan kekasih-Nya sebagai anugerah luar biasa bagi umat manusia. Mengingat tabiat manusia yang cenderung menyenangi sesuatu dan mengidolakan sosok atau figur seorang tokoh. Nabi Muhammad Saw hadir menjadi rasul terakhir, teladan terbaik, penebar rahmat bagi semesta serta dipuji di langit dan di bumi.
Ketika di malam Mi’raj Beliau memohon keringanan pada Allah Swt agar perintah shalat dikurangi dari 50 kali menjadi 5 kali dalam sehari. Bahkan sampai menjelang wafatnya pun masih mengkhawatirkan keselamatan umatnya. Beliau jugalah yang akan memberi syafaat kelak. Betapa besar kepeduliannya pada kita. Bahkan Rasulullah Saw telah bersabda bahwa yang mencintainya akan bersamanya di surga. Sudahkah rasa itu kita miliki?
Sebelum Rasulullah Saw memasuki gua Tsur, Abu Bakar Ra mendahului masuk. Memeriksa setiap sudut yang merupakan lubang tempat hewan gurun bersarang dan menutupnya. Setelah itu barulah Rasulullah merebahkan diri di pangkuan Abu Bakar. Perjalanan hijrah melalui jalur yang tidak biasa. Medan yang sulit di tengah kejaran orang-orang Quraisy sungguh mencekam dan melelahkan hingga Rasulullah Saw terlelap.
Tiba-tiba beberapa penghuni gua keluar dari sarangnya. Mereka merayap perlahan mendekati kedua kaki Abu Bakar Ra dan menggigitnya. Sengatan kalajengking gurun itu menimbulkan kesakitan dan kepedihan luar biasa. Nyeri tak terperi itupun dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh. Namun dengan memejamkan mata ditahannya sekuat tenaga agar tidak membangunkan Rasulullah.
Di saat bersamaan terdengar kegaduhan di mulut gua. Para pengejar semakin dekat. Tubuh Abu Bakar bergetar hebat hingga setetes air matanya jatuh menimpa pipi Rasul dan membuatnya terjaga. “Laa tahzan….jangan bersedih, Allah bersama kita” . Perkataan Rasulullah dengan tatapan teduhnya serta senyum yang menyejukkan membuat hati Abu Bakar menjadi tenteram. Tubuhnya bagai disirami tetesan embun sesejuk salju. Rasa sakitnya tiba-tiba menghilang. Bagai ibu bersalin yang kemudian lenyap kesakitannya saat sang bayi lahir ke dunia.
Di waktu sebelumnya, justru setitik air mata sang Nabi yang membasahi pipi Khadijah. Saat itu Khadijah yang sudah lebih dari lima belas tahun mendampingi Beliau tertidur dalam pangkuan Rasulullah. Pakaian yang melekat di tubuh Khadijah sangat sederhana dan pudar warnanya. Rasulullah bersedih mengingat Khadijah yang dahulunya menguasai sepertiga perniagaan di kota Mekkah dan selalu berpakaian indah kini hidup dalam kekurangan. Seluruh harta kekayaannya habis digunakan untuk kepentingan dakwah suami tercinta. Khadijah bahkan menawarkan jasadnya berupa tulang belulang untuk dijadikan jembatan atau apapun yang dapat dimanfaatkan oleh kaum muslimin.
Demikianlah para sahabat dan sahabiyah telah menunjukkan cinta sejatinya kepada Rasulullah melebihi cintanya kepada diri sendiri. Sekarang, giliran kita.
Redaktur: Ardne
Beri Nilai: