Topic
Home / Narasi Islam / Wanita / Sebuah Tanda Tanya Terhadap Propaganda Feminisme

Sebuah Tanda Tanya Terhadap Propaganda Feminisme

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Beberapa hari yang lalu saya beserta teman yang merupakan adik angkatan pergi ke Gramedia untuk hunting buku yang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari. Mumpung lagi punya banyak uang jadilah saya menampakkan sisi boros dalam membelanjakan uang. Sisi boros itu hanya akan muncul tatkala belanja buku. Kalau sudah di toko buku, sisi “feminin” saya pun turut muncul yakni betah berlama-lama di dalam toko sembari melihat-lihat buku apa saja yang dijual, meskipun sekadar membaca sinopsisnya.

Pada hari tersebut akhirnya saya memutuskan membeli dua buku yaitu Inferno karya Dan Brown dan Perempuan Berbicara Kretek karya Abmi Handayani dkk. Buku kedualah yang didahulukan untuk dibaca.

Sebenarnya dari judulnya mudah ditebak dan tebakan saya benar kala membaca halaman demi halaman. Secara tersirat tujuan lahirnya buku tersebut ialah agar penyebaran rokok di kalangan masyarakat tidak mati. Namun tetap saja saya mendapatkan banyak ilmu dari buku tersebut. Informasi yang selama ini belum saya ketahui sama sekali. Informasi mengenai dunia tembakau. Dari buku tersebut saya akhirnya mengerti perbedaan antara kretek, klobot, dan kawung. Dari buku tersebut akhirnya saya mengetahui bahwa sebenarnya ada beberapa jenis olahan tembakau yang asli ciptaan bangsa Indonesia. Dari buku tersebut akhirnya saya mengetahui bahwa propaganda anti rokok yang disamaratakan dengan gerakan anti tembakau juga tak lepas dari para kepentingan kapitalis.

Namun bukan pembahasan mengenai rokok yang menarik perhatian saya akan tetapi pandangan umum para penulisnya yang kesemuanya perempuan dan tidak anti rokok, bahkan beberapa di antaranya ternyata justru seorang perokok walaupun lebih elegan bagi mereka bila disebut sebagai seorang pengkretek. Secara umum, saya mendapati bahwa semua penulis merupakan kaum penentang kapitalisme dan neoliberalisme. Mereka sangat menentang intervensi bangsa asing, terutama negara-negara barat, dalam menentukan pola regulasi yang berlaku di Indonesia. Regulasi mengenai tembakau pun bagi mereka merupakan agenda negara-negara liberal yang akhirnya akan mematikan kedaulatan bangsa Indonesia. Pun mereka juga menolak standar yang “dibakukan” oleh media terkait citra seorang perempuan, khususnya perempuan perokok (baca: pengkretek) lantaran merokok atau tidak merupakan pilihan bagi seorang perempuan yang tidak boleh diganggu gugat selama tidak merugikan orang lain. Pada buku tersebut, secara berulang diceritakan kisah Roro Mendut yang merokok dalam rangka memberontak kepada Wiraguna yang secara semena-mena menerapkan pajak yang kelewat tinggi kepadanya karena Roro mendut menolak untuk dijadikan selir oleh Wiraguna. Artinya, bagi para penulis ini, merokok juga merupakan simbol pemberontakan terhadap nilai-nila yang dianggap menindas.

Saya jadi berpikir, bila kesemua perempuan yang menjadi penyumbang tulisan dalam buku tersebut mempunyai pola pikir demikian, seharusnya mereka juga turun tangan ketika akan diadakan perhelatan Miss World di Indonesia.  Mengapa demikian? Standar kecantikan yang diterapkan oleh panitia Miss World jelas tidak menghargai keberagaman yang ada pada para perempuan di seluruh dunia. Saya pernah dengar bahwa pada ajang tersebut, segala hal yang terdapat pada fisik peserta serba diukur seperti tinggi badan, berat badan, dan lain-lain. Padahal kalau ditelusuri lebih jauh, apa relevansinya pada segala hal yang berunsur fisik tersebut terhadap jargon yang digaung-gaungkan oleh panitia seperti beauty, brain, dan behaviour. Kalau merokok atau tidak bagi perempuan merupakan sebuah pilihan yang publik tidak boleh main vonis terhadapnya maka mengapa tinggi dan berat badan yang dialami seorang perempuan nampaknya harus patuh terhadap standar panitia Miss World. Bukankah seberapa tinggi dan seberapa berat seorang perempuan juga merupakan pilihan yang juga tidak bisa dijatuhi vonis seenaknya apakah ia layak untuk menjadi pemenang Miss World apa tidak. Ditambah lagi dengan kewajiban pesertanya untuk memamerkan tubuhnya kepada panitia dan penonton. Apakah jargon beauty hanya dinilai dari tubuh pesertanya yang proporsional apa tidak. Ketika semua ini terjadi, di manakah suara para feminis radikal yang selama ini gencar menyatakan kemerdekaan seorang perempuan terhadap dirinya?

Selama ini yang saya dengar, kebanyakan dari para perempuan yang mengaku feminis selalu mempropagandakan bahwa perempuan mempunyai hak akan dirinya sendiri yang tidak tunduk pada sistem yang dianggap mengekang, termasuk norma-norma agama (terutama Islam) yang dianggap membelenggu kebebasan perempuan. Namun mengapa mereka seolah bungkam tatkala jelas-jelas di depan mata terpampang standar baku yang ditetapkan oleh korporasi, media, dan pasar dalam menetapkan standar kecantikan seorang perempuan dan seperti apa seharusnya perempuan bersikap. Kalau boleh diambil kesimpulan, norma agama tidak berhak mengatur perempuan tapi kalau korporasi beserta media sah-sah saja untuk menentukan standar fisik pada perempuan. Artinya terdapat ketidaksinkronan dan inkonsistensi pada propaganda kaum feminis selama ini.

Atau mungkin ini hanya firasat dan prasangka saya semata yang terlalu banyak menyaksikan ketidakberesan dalam pandangan saya atau barangkali konsisten ataupun tidak juga merupakan pilihan bagi perempuan atas nama kebebasan dan kemerdekaan. Entahlah.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi S1 Fisika UGM. Staf departemen humas KAMMI daerah Sleman. Hobi membaca, menulis, dan travelling

Lihat Juga

Empat Ciri Wanita Penghuni Surga

Figure
Organization