Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Senandung Poligami

Senandung Poligami

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Malam ini dia sahabatku. Kemarin aku berlakon ‘ayah’. Esok lusa mungkin lakonku adalah ‘anak’, atau bisa juga ‘kekasih’. Tergantung situasi dan kondisi.

Bukan tanpa alasan aku memilih lakon ‘sahabat’. Ada sesuatu yang penting yang ingin kusampaikan padanya, dan tidak bisa tidak, harus malam ini, dan ‘sahabat’ adalah lakon paling tepat.

Kami duduk berhadapan. Di rumah mungil kami. Di dalam ruangan 4×5 meter. Ku tatap lurus dua bola matanya. Oh, duhai! Bola mata itu tetap seperti dulu. Mata kucing. Dan ini indah.

Senyumnya simpul. Tapi sebentar kemudian dia cekikikan. Aku mengernyitkan dahi. Bingung. Bahkan sekarang dia tertawa lepas. Apanya yang lucu? Ku sapa cermin di belakangnya. Tak ada yang ganjil.

Kemudian dia diam. Kami Saling pandang. Kalau sudah begini, dia paham akan ada sesuatu yang penting untuk didengar. Aku tidak mau terburu-buru. Kucolek hidungnya. Dia tersenyum genit. Menunduk. Ah, dia salah paham.

Kuangkat dagunya yang nyaris tanpa tulang. Mata kami beradu. Aku ragu bercampur dengan tak tega. Kepalang tanggung. Kuremas kedua tapak tangannya. Jemari kami terjalin. Kudekatkan wajahku. Matanya terpejam. Nyaris. Dan akhirnya aku tertawa, terbahak-bahak. Satu sama skornya. Pipinya bersemu merah, jemarinya lepas dari genggamanku. Merasa dipermainkan, aku dilibasnya berkali-kali. Puas melibasku, duduknya diputar membelakangiku. Malu mungkin.

Kuraih kedua bahunya. Kuputar mengarah padaku. Kugenggam erat tangannya. Diam sesaat. Sembari meremas jemarinya, aku berkata padanya:

“Malam ini aku ingin jadi sahabatmu. Dan sahabatmu ini ingin curhat. Boleh?”

Dia mengangguk setuju.

“Dulu seseorang pernah menyampaikan padaku bahwa ada seorang wanita yang sangat mengagumiku. Wanita itu shalihah, tapi teramat polos. Sampai tingkat 3 perkuliahan, tak sekalipun ia berinteraksi romantis dengan lawan jenisnya. Kepolosannya semakin tampak saat dia mulai mengagumiku. Di mana saja dia bertemu temannya, dia selalu menyebut namaku. Semua temannya bingung dibuatnya. Logikanya, seorang wanita akan menyimpan rapat kekagumannya. Andaipun ingin membukanya, pasti hanya pada seorang teman dekatnya. Rasa malu wanita jauh lebih besar untuk sekadar menutupi perasaannya. Tapi yang terjadi padanya janggal. Besarnya rasa malu seorang wanita tidak berlaku untuknya saat mengagumiku. Akhirnya semua temannya paham, ini hanya tingkah lugu dari sucinya hati.

Bukan itu saja. Pada murabbiyahnya juga ia menyebut-nyebut namaku. Tidak hanya sekali waktu saja. Hampir setiap minggu. Suatu ketika teman satu liqanya kesal dibuatnya. Temannya itu bosan dengan tingkahnya yang selalu menyebut namaku. Ditambah pula temannya itu punya pengalaman buruk denganku. Pertengkaran tak terelakkan. Mati-matian ia membelaku. Untunglah murabbiyahnya bijak. Dan diutuslah seseorang untuk menyampaikan ‘kegilaannya’.

Tentu saja aku shock mendengarnya. Sudah menjadi fakta sejarah diriku ditolak ta’aruf tiga kali. Sejarah ini juga sudah menjadi buah bibir orang sekota. Nilai jualku sebenarnya mengalami depresiasi. Apa tak malu dia? Atau dia satu-satunya yang tidak tahu?

Tentang kekagumannya, aku tidak habis pikir. Apanya yang hebat dariku? Ganteng? Aku lebih mirip Rambo. Kaya? Orang-orang lebih sering meledekku dengan gelar kebangsawanan: PNS pra-sejahtera. Shalih? Cih. Entahlah.

Duh! Pantas saja setiap status facebookku di komennya. Kadang-kadang kalimatnya bagai seorang ibu pada anaknya. Sesekali seperti teman sebaya. Pernah pula seorang gadis kecil pada ayahnya. Ternyata, oh ternyata.

Kukatakan pada seseorang itu: aku bersedia menikah dengannya! Maka diaturlah semuanya. Untuk menjaga perasaannya, akulah yang memintanya ta’aruf denganku. Kamipun menikah.

Tahukah kau alasanku untuk semua itu?”

Yang ditanya menggeleng, dan bibirnya terkatup.

“Pertaruhan iman. Hanya itu. Saat itu keinginanku untuk menikah membuncah. Aku punya kriteria sendiri. Dan dia sebenarnya tidak sesuai standartku. Dia hadir tanpa kuundang. Ujiannya, adakah aku bersyukur atau masih menuntut lebih. Rasulku pernah berujar, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain”. Aku ingin bermanfaat untuknya. Rasulku yang baik hatinya, juga berkata, ” Tidak ada yang lebih baik bagi 2 orang yang mencintai kecuali pernikahan.” Aku memang belum mencintainya, tapi akan baik baginya menikah denganku. Satu yang terpenting, Islam melarangku untuk memanjangkan angan-angan. Iman itu tanpa syarat, dan aku menikahinya tanpa syarat.”

Aku memutuskan untuk diam sesaat. Di depanku dia menunduk dan tersenyum manja.

“Lalu?”, akhirnya dia bersuara.

Tatapku menerawang. Sejenak aku ragu. Tapi tidak kemudian.

“Saat dia hadir tanpa undangan, sebenarnya saat itu pula ada seorang gadis berjilbab biru yang menari-nari dalam hatiku. Hanya saja aku tidak sepolos dia. Aku selalu menakar peluang. Bermimpi mampu melakukan rekayasa sosial agar aku dapat menikah dengan gadis berjilbab biru. Namun untuk pertama kalinya, seperti yang kau tahu, Tuhan tidak memeluk mimpiku.”

Kurasakan tangannya dingin. Tangan itu juga mendistribusikan getaran hebat tubuhnya. Wajahnya menunduk pucat.

“Dia hebat. Punya prestasi segudang. Pernah pula dia mewakili kampusnya dalam ajang kajian ilmiah mahasiswa tingkat nasional. Rekam jejak dakwahnya memuaskan. Dia teladan di mushalla kampus. Buah pikirannya sering dijadikan rujukan juniornya. Di atas semua itu, dia piawai menulis! Sama, aku juga suka menulis. Dia benar-benar pas dengan kriteriaku.

“Lalu?”

“Satu lagi, dia cantik. Semakin cantik karena kecerdasannya.”

Kalimat terakhir ini membekukan segalanya. Air mulai menggenangi matanya. Ya Rabbi! Semoga tidak jatuh. Sungguh, aku menyesal dengan ucapan terakhirku ini.

“E.., e.. Kamu cantik juga kok. Bola matamu bagai mata kucing. Aku suka itu. Tidak ada kutemukan bola mata seperti itu pada orang lain.”

Dia tersenyum datar. Air matanya tertahan sementara. Cukup melegakan bagiku.

“Apa maksud semua ini?” tanya dia

Aku menarik napas sepanjang yang kubisa. Kemudian melepasnya perlahan.

“Dulu dengan menikahi pengagumku, aku berpikir semuanya akan berakhir. Aku yakin dalam pernikahan kami Allah akan membingkainya dengan cinta. Cinta itu hadir, tumbuh dan berkembang memang. Tapi lubang galian di hatiku tetap menganga. Aku bahagia menikah dengan sang pengagum. Tak ada kekurangan sedikit pun. Janji Allah benar adanya. Lalu aku berhusnudzhon, mungkin Allah sedang mengujiku dengan lubang hati.

Semaksimal mungkin aku berusaha menutupnya. Sekian kali sudah gadis berjilbab biru kupromosikan pada banyak ikhwah. Nihil. Justru godaan nakal yang kudapatkan. “Kalau memang bagus, kenapa ga dijadikan istri kedua bang?”, ejek mereka.”

Air matanya jatuh setetes. Hangat menerpa punggung tanganku. Kukuatkan hatiku. Inilah konsekuensinya. Aku sudah melangkah sejauh ini. Tanggung. Air mata kedua menetes. Menyusul yang ketiga. Keempat, kelima dan seterusnya. Kucoba mengalihkan pandanganku. Aku takut wajah sendunya membobol pertahananku. Setelah beberapa saat,

“Sebulan yang lalu dia kecelakaan. Kedua kakinya diamputasi hingga selutut. Ayahnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Ibunya selamat, tapi ingatannya terganggu karena benturan. Adiknya masih koma.”

Lawan bicaraku tersedak. Bukan hanya air matanya saja yang menganak sungai, hidungnya juga basah. Tapi ia masih setia mendengarku.

“Selasa kemarin, aku bertemu abangnya. Kami bercerita tentangnya. Ada beban berat di pundak abangnya. Dengan kondisinya yang seperti itu sangat sulit mencari pemuda yang siap menikahinya. Abangnya sudah mencoba menawarkan ke beberapa temannya. Mereka semua menolak. Dadaku seakan dihimpit dua truk kontainer mendengar cerita abangnya. Sesak. Dulu teman-temanku tidak siap karena dia terlalu ‘wah’. Sekarang teman-teman abangnya menolak karena dia ‘tak sempurna’. Abangnya memang tidak menawarkannya padaku secara terang-terangan, tapi substansi pembicaraan kami mengarah ke situ. Bola panas ada padaku sekarang. Hasil istikharahku aku harus menikah dengannya.”

Tangisnya semakin deras. Bahkan ia sudah terisak. Sesenggukan. Tenggorokannya bagai tersumbat. Aku hampir kalah. Kupejam mataku. Aku tidak kuat menikmati pemandangan di depanku.

“Cinta jiwa menyatu dengan cinta misi. Itu temanya. Jangan salah menafsirkan cinta jiwaku. Aku mencintaimu utuh! Bahkan teramat mencintaimu. Sangkin cintanya aku padamu, aku selalu berdoa bila aku mati semoga kau memutuskan untuk tidak menikah lagi, agar aku tetap menjadi suamimu di surga. Aku benar-benar takut kehilanganmu, tidak hanya di dunia ini, namun juga di akhirat nanti. Tapi beginilah kami laki-laki. Jiwa kami terlalu besar untuk diisi satu cinta. Perhatikanlah orang-orang shalih terdahulu. Cinta jiwa mereka lebih dari satu, tapi sama kuatnya untuk setiap cinta jiwa yang mereka ukir. Lihatlah bagaimana kitab suci menyuruh kami untuk menikahi dua orang sebelum memerintahkan menikah hanya dengan satu wanita. Itu adalah bentuk deklarasi Tuhan akan fitrah kami. Sebuah pernyataan saklek bahwa jiwa kami dapat menyemai hingga empat cinta. Maka hanya kesesatan berpikirlah yang memandang cinta lelaki mutlak hanya satu. Wanita yang galau pemahamannya, sampai kapan pun takkan pernah ikhlas dimadu. Bila egonya sudah diduduki setan maka terjadilah penyanderaan terhadap suaminya. Naifnya, banyak wanita yang menyangka jantung cinta suaminya sama dengan jantung cintanya. Jantung cinta wanita benar adanya hanya satu dan sangat sederhana! Bila ia sudah membukanya untuk seorang lelaki maka dengan sendirinya takkan ada bilik yang terbuka untuk lelaki lain, idealnya. Allah sudah mengatur demikian, sebab wanitalah yang akan mengandung. Andai cinta mereka sama seperti lelaki, maka akan terjadi kesimpangsiuran dalam nasab. Bila seperti itu dunia ini akan runtuh.”

Hening. Air matanya surut. Tapi ia masih sesenggukan. Aku mengusap bahunya. Mencoba mengalirkan rasa nyaman. Aku berhasil. Dia lebih damai sekarang.

“Bila ada lelaki yang belum menikah untuk yang kedua kalinya, hanya ada dua gendangnya. Pertama, itu murni keputusannya. Inilah yang terjadi saat Rasulullah mencinta Khadijah. Gendang kedua, karena ia gagal mentarbiyah pemahaman istrinya sekaligus karena istrinya bengalnya bukan main. Satu yang pasti dari keduanya, seorang lelaki tetap punya cinta jiwa yang teramat besar untuk lebih dari satu orang istri.”

“Mari berkaca pada Umar bin Abdul ‘Aziz. Masa mudanya ia mendambakan seorang gadis jelita. Tapi istrinya tak mau dimadu. Cinta jiwanya akhirnya tertahan. Saat ia menjadi khalifah, sang istri justru menawarkan si gadis jelita untuk ia nikahi. Umar menolak. Sang khalifah justru menikahkan si gadis dengan pemuda lain. Tahukah kau alasannya? Cinta misi jauh menghunjam dalam dadanya. Ke mana cinta jiwanya? Menguat dan melebur bersama cinta misi. Tanggung jawabnya sebagai pemimpin umat menghendakinya untuk menomorduakan cinta jiwanya. Dengan menikahkan si gadis dengan pemuda, misi seorang khalifah kokoh dengan jiwanya.”

“Tidak seperti sang khalifah, keputusan awalku adalah menutup lubang galian di hatiku, seperti ceritaku barusan. Kenyataannya gagal. Sekarang aku ingin cinta jiwaku menyatu dengan cinta misi. Dulu aku menyukainya karena semua yang ada padanya. Sekarang aku semakin mencintainya karena ada misi yang harus kutunaikan. Menikahinya bukan hanya sekadar menggenapkan jiwaku, tapi juga tanggung jawab sebagai saudara seiman. Aku ingin kau bertanya pada dirimu, apa yang diharapkan kelak dari seorang istri yang cacat? Hanya pahala!

Dia diam. Aku menunggu reaksinya. Sepuluh detik berlalu. Masih belum ada tanda ia akan bicara. Mungkin ia masih butuh waktu. Aku memecah kebisuan kami,

“Bola sekarang ada padamu. Kaulah yang membuat keputusan. Aku terima apapun itu, tanpa interupsi. Perlu kau tahu, keutuhan rumah tangga kita adalah harga mati buatku”

Dia menarik nafas. Panjang. Kepalanya terangkat. Ia buang pandangannya, untuk kemudian menunduk lagi.

Lama aku menunggu. Laiknya pesakitan yang menanti vonis persidangan, seribu pikiran berkecamuk di kepalaku. Bagaimana selanjutnya? Akankah kisah cintaku menjadi dua seperti “Ayat-Ayat Cinta”, atau jangan-jangan hanya menambah deretan panjang “Catatan Hati Seorang Istri”? Duh, malam ini, semoga tidak ada malam seperti ini lagi!

Tiba-tiba wajahnya terangkat, refleks aku pun mengangkat kepalaku. Bersamaan, dua mata kami tertaut. Ekspresi wajahnya datar. Matanya sayu menatapku. Jantungku berdetak dua kali lipat dari yang seharusnya. Ia jumpakan jemarinya dengan jemariku. Ia belum bersuara. Matanya memandang jemari kami yang terkait. Ia remas kuat! Aku meringis. Sekarang matanya lekat menatap wajahku yang tak tentu bentuknya karena menahan sakit. Dia dekatkan wajahnya ke wajahku, bagai singa betina dengan lantang ia cetuskan, “Tidak! Titik!”

Redaktur: Lurita Putri Permatasari

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (28 votes, average: 6.54 out of 5)
Loading...

Tentang

Seorang PNS yang mengabdi di Pemko Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Saat ini sedang ditugaskan untuk melanjutkan pendidikan di STIA LAN RI Bandung. Untuk mengembangkan potensi diri, mencoba meningkatkan kemampuan dalam menulis.

Lihat Juga

UNICEF: Di Yaman, Satu Anak Meninggal Setiap 10 Detik

Figure
Organization